Dunia digital belakangan ini menjadi sangat populer dikalangan masyarakat, tidak hanya di Indonesia tapi hampir diseluruh penjuru dunia. Perkembangan dunia informasi khususnya dunia digital begitu pesat, ribuan informasi dari berbagai penjuru dunia hanya hitungan detik sudah menyebar ke penjuru dunia lainnya. Pulang kampungnya Ronaldo ke Manchester United, pergi nya Messi dari catalan ke paris menjadi contohnya. Meski terdapat perbedaan waktu antara asia dan eropa yang cukup jauh namun berita itu tidak membutuhkan banyak waktu untuk sampai ditelinga para pendukung MU (Manchester United) atau PSG (Paris Saint German) di Indonesia. Sorak sorai yang terjadi di Manchester dan Paris nyaris bersamaan dengan sorak sorai di Indonesia. Betapa hebatnya dunia digital kita saat ini.
      Dunia digital dan segala perkembangannya juga tidak dapat dipungkiri telah banyak memberi sumbangsih bagi negara kepulauan seperti negara kita ini, bagaimana tidak kini jakarta -- flores yang biasanya ditempuh selama 5hari perjalanan laut kini cukup dengan ibu jari yang lincah kita sudah dapat bertemu dengan saudara-saudara di flores secara real time. Sebut saja beberapa aplikasi seperti whatsapp, line, google hangout hingga zoom dapat menjadi saluran mendekatkan yang jauh dan mengakrabkan yang dekat.
      Zoom salah satu aplikasi teleconference call yang belakangan ini ramai digunakan di kalangan masyarakat kita. Umumnya masyarakat kita menggunakan aplikasi ini untuk pertemuan-pertemuan, pelajaran sekolah dan kampus yang hingga saat ini masih belum memungkinkan untuk sistem pembelajaran tatap muka. Namun bagi sebagian orang lainnya yang memiliki keluarga berbeda pulau, aplikasi ini juga dimanfaatkan untuk mereka saling bertemu kangen melepas rindu yang terhalang oleh jarak dan biaya perjalanan yang tidak sedikit. Dengan satu kali klik kita dapat bertemu dengan banyak orang dalam waktu yang sama.
      Bagi para seminaris aplikasi ini juga digunakan sebagai saluran menimba ilmu pun sebagai saluran berpastoral mereka. Mereka dapat berkumpul dalam satu waktu untuk belajar bersama meski mereka berada di rumah pembinaan masing-masing, menciptakan suasana seolah-olah mereka berada di ruang kelas kampus namun dengan pengawasan yang minim dari para dosen. Beberapa orang berpandangan aplikasi-aplikasi semacam ini cukup efektif dan cukup membantu proses belajar mengajar namun tak sedikit pula yang merasa sistem perkuliahan seperti ini sangat membatasi sikap kritis para pelajar. Pertemuan di ruang digital seperti ini memiliki terlalu banyak hambatan dan sekat antara pengajar dan pelajar.
      Hambatan dan sekat itu tidak hanya didapat saat diruang belajar para seminaris saja karena ternyata itu juga ada saat mereka harus berpastoral di sekolah, di lingkungan maupun di kampus-kampus dengan menggunakan sistem daring ini. Pastoral sejatinya adalah sarana untuk membangun hubungan antar pribadi, menjalin relasi dan menjalin komunikasi demi kemajuan umat Allah dan Gereja. Para seminaris Seminari Tinggi atau yang biasa disapa dengan sebutan frater memiliki tugas dan tanggung jawab berpastoral pada setiap tingkatan mereka. Tingkat 2 diberi tanggung jawab berpastoral bagi murid-murid sekolah menengah pertama ataupun sekolah menengah atas, tingkat 3 mendapat bagian berpastoral di lingkungan-lingkungan yang ada di paroki, tingkat 4 pastoral mahasiswa serta tingkat 5 pastoral paroki atau kategorial. Namun karena situasi pandemi yang tak urung usai ini mereka terpaksa harus berpastoral daring yang tentu saja banyak perbedaan dengan pastoral luring.
      Pastoral yang juga merupakan sarana pengenalan dan pembelajaran para frater untuk mengenal dan membangun sebuah komunitas Gerejawi dengan umat Allah memang sejak dini harus dibiasakan bagi para frater seminari tinggi agar mereka mampu dan siap kelak ketika mereka ditahbiskan menjadi seorang imam. Namun dengan situasi dan kondisi saat ini apakah pastoral daring atau pastoral dengan media sosial menjadi efektif bagi kemajuan para frater maupun kemajuan Gereja dan umat Allah?. Ini merupakan pertanyaan yang harus kita jawab bersama dan sekaligus menjadi tantangan tidak hanya bagi para frater dan formator tetapi juga bagi umat Allah itu sendiri.
      Sebagai frater tingkat 1 yang belum mengalami pastoral ke luar lingkungan seminari, saya memang tidak begitu banyak merasakan kesulitan ataupun hambatan yang dihadapi. Namun berdasarkan cerita pengalaman dari para frater yang sedang maupun yang telah merasakan pastoral khususnya pastoral daring ini banyak yang merasa kesulitan, baik itu sulit membangun komunikasi yang efektif hingga sulit untuk benar-benar merasakan kegelisahan umat dan hadir ditengah-tengah mereka. Kehadiran secara fisik mau tidak mau memang menjadi kebutuhan umat apalagi setelah sekian lama mereka tidak dapat merayakan Ekaristi bersama-sama di gereja dan kurangnya tenaga imam untuk menjangkau mereka maka kehadiran para frater pastoral menjadi salah satu solusi untuk mengatasi nya karena ternyata sosial media saja tidak cukup untuk memuaskan kebutuhan mereka itu.
      Sosial media dan perkembangan dunia digital nyatanya memiliki dampak negatif juga bagi kita, konten-konten atau tayangan-tayangan seputar hal-hal duniawi lebih menarik minat umat daripada kehadiran para tenaga pastoral. Seorang frater pastoral pernah membagikan cerita ketika ia berpastoral pada murid-murid sekolah menengah atas dimana para murid tidak fokus mengikuti pertemuan yang diadakan melalui aplikasi zoom, banyak dari mereka yang mengikutinya hanya sekedarnya saja, seperti misalnya hanya join kedalam pertemuan itu namun mereka sambil melakukan aktifitas lainnya. Hal ini dirasa menjadi tidak efektif bagi frater tersebut karena apa yang hendak disampaikan menjadi tidak sampai kepada semua siswa. Keadaan ini menjadi dilema bagi para frater di satu sisi ia berhak meminta perhatian mereka misalnya dengan cara yang agak tegas namun di sisi lain para frater justru takut apabila terlalu tegas dan terkesan memaksa malah membuat para murid/pelajar tersebut menjadi semakin tidak tertarik/membosankan dan enggan untuk bergabung kembali dan pada akhirnya keadaan ini dapat berdampak dalam jangka panjang kurangnya minat umat Allah untuk kembali ke Gereja padahal salah satu tujuan pastoral adalah agar umat Allah tetap mau dan semakin dekat dengan Gereja.
      Bulan september adalah bulan kitab suci nasional, ini sebenarnya momen yang tepat bagi para frater untuk dapat menarik kembali umat Allah yang 'tercerai berai', dengan cara-cara yang kreatif namun tidak menghilangkan esensi pendalaman kitab suci, para frater dapat memanfaatkan media sosial ataupun aplikasi-aplikasi teleconference call tersebut diatas. Namun ada sisi yang yang harus kita lihat dan kita akui bersama bahwa sejak virus corona ini melanda dunia dan memakan banyak korban jiwa, manusia atau umat Allah pada khususnya menjadi/memiliki pola pikir yang lebih logis. Pandemi yang berlangsung satu lebih ini telah membuat kita semua lebih mengedepankan daya logis kita daripada daya rohani/iman kita. Saya pribadi menakutkan hal ini karena dengan semakin logisnya pola pikir manusia maka bukan tidak mungkin daya rohani/kepercayaan mereka terhadap Tuhan juga melemah, semakin terkikis, dan itu artinya gaya pastoral dengan banyak katekese sepertinya tidak terlalu memiliki dampak bagi kehidupan iman umat Allah.
      Pertanyaan pun muncul, bagaimana kita (para calon imam) mengatasi ketakutan-ketakutan itu? Bila dijawab cepat solusi nampaknya ada pada pengoptimalan penggunaan jejaring sosial, namun bagaimana caranya? Saya jadi teringat sebuah cerita tentang serigala berbulu domba. Mungkin kita dapat mengambil inspirasi dari cerita ini. Dunia digital sedang dibanjiri dengan video-video para selebritas yang membuat podcast, mulai dari podcast audio hingga podcast video yang kini bertebaran di kanal youtube. Meski ada efek negatif dari penggunaan sosial media namun kita dapat mengambil kesempatan itu, misal dengan membuat channel toutube yang berisi video-video podcast dengan tema-tema yang terjadi disekitar kita kemudian dikemas dengan bentuk semenarik mungkin. Menggunakan teori serigala berbulu domba tadi, mungkin kita bisa sejenak 'meninggalkan' atribut-atribut kerohanian kita, atribut-atribut khas frater ataupun imam. Membahas sebuah tema yang relevan dengan situasi terkini dengan tampilan yang lebih memasyarakat dan lebih santai namun tetap diselipkan pesan-pesan injili.
      Akhir-akhir ini saya sedang tertarik menonton podcast dari seorang komika(standup comedyan) yang merupakan mantan penganut aliran satanic, dia dikenal dengan nama Mongol stress. Dalam konten-konten youtube nya mongol membahas dan menguak/mengungkapkan tabir kegelapan, aliran satanic yang pernah dianutnya hingga ia diangkat menjadi salah satu jenderal dari tujuh jenderal utama dari komunitas itu. Mongol tampil santai, gaya bicaranya pun tidak berubah dan tidak ada yang berbeda ia tetap seperti mongol yang sedang open mic (standup). Ia membeberkan dengan detail semua yang ia alami dan ketahui tentang dunia itu namun di sela-sela penjelasan dan cerita-ceritanya ia selalu menyelipkan pesan-pesan moral dan pesan-pesan rohani/pesan-pesan injili. Tema yang ia angkat (tentang dunia satanic) sudah pasti banyak diminati oleh masyarakat Indonesia oleh sebab itu chanell youtube nya tidak sepi penonton bahkan ia juga diundang ke podcast-podcast lain sebagai bintang tamu. Dan hampr disetiap videonya ia selalu mengatakan bahwa Tuhan yang kita imani itu MAHA sedangkan setan/iblis itu tidak MAHA jadi untuk apa kita menyembah dia. Ia juga pintar karena meskipun dia seorang kristen tapi ia tidak diskriminatif, seperti misalnya ia selalu mengatakan buat kalian yang muslim jangan lupa untuk selalu mendoakan Al-Fateha karena doa itu doa dua arah, untuk Tuhan dan untuk diri sendiri, ia juga selalu mengingatkan agar teman-teman yang muslim untuk rajin tadarusan di malam jumat sedangkan untuk yang beragama kristen ia selalu bilang doakanlah doa Bapa Kami dengan demikian bila kita melakukan dan rajin berdoa setan tidak akan dapat menyentuh kita.
      Mongol telah berpastoral dengan baik melalu sosial media. Menghilangkan efek-efek negatif dari sosial media dan kemudian mengajak semua orang untuk rajin berdoa menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Namun jika ditelaah lagi sebenarnya Mongol sedang menyebarkan Injil Tuhan, kita atau bahkan mongol sendiri mungkin tidak menyadari bahwa apa yang dilakukannya merupakan salah satu teknik komunikasi yang sangat baik. Ia mampu 'mempengaruhi' orang lain tanpa orang lain sadari bahwa mereka sedang dipengaruhi olehnya dengan cara komunikasinya tersebut.
      Saya memiliki keyakinan bahwa penonton-penonton mongol bukan hanya dipengaruhi faktor tema yang diangkat dalam setiap podcast ataupun  ia sebagai komika(standup comedyan), atau ia sebagai mantan penganut/jenderal satanic atau bahkan karena pesona/citranya saja yang sudah dikenal lucu dan menghibur tapi juga karena pesan-pesan yang ia bawa dalam setiap konten tersebut. Inilah yang harus kita tiru, membawa pesan dengan cara yang tidak membosankan dan menarik. Saya dan para frater seminari tinggi dapat belajar dari mongol bukan hanya tentang membawakan pesan dengan lebih menarik tapi juga belajar bagaimana mengikis  dampak negatif penggunaan media sosial sehingga sosial media benar-benar dapat menjadi salah satu alat mempersatukan umat Allah yang 'tercerai berai' karena pandemi ini.
      Marilah bijak menggunakan sosial media, manfaatkanlah perkembangan dunia digital untuk hal-hal yang positif, manfaatkanlah sosial media untuk memuliakan Allah dan menyebarkan kasih karena saya rasa dalam dunia digital juga terkandung sistem tabur tuai, apa yang engkau tabur itulah yang engkau tuai.
      Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H