"Hemm.. Kalau sudah terus-terusan dibohongi seperti itu, kenapa dia masih berharap dan percaya dengan janji laki-laki itu?" tanyaku.
"Ya itulah, aku juga tidak tahu," kata Sandra sambil tersenyum kecil.
"Menurutku dua atau tiga kali saja cowok itu membatalkan janjinya, tentunya cukup untuk paham bahwa dia tidak perlu berharap lagi pada orang itu."
"Ya, menurutku juga begitu," kata Sandra menanggapi pendapatku.
"Dan apakah itu juga masih bisa dibilang pacar?" tanyaku.
Sandra hanya mengangkat bahunya.
"Sebelumnya dia juga bercerita kepadaku. Bulan lalu dia khusus pergi ke Pisa untuk menemui pacarnya itu yang memang tinggal di sana, tapi laki-laki itu tidak muncul di tempat mereka berjanji untuk bertemu. Mae lalu mencoba meneleponnya. Namun, ternyata bukan si cowok yang menjawab teleponnya melainkan ibu laki-laki itu, yang kemudian memarahinya dengan keras karena Mae mendesak untuk bertemu dengan anak laki-lakinya. Ibu itu lalu mengatakan anaknya tidak mau lagi bertemu dengan Mae. Mereka kemudian bertengkar di telepon." Sandra bercerita panjang lebar. Â
"Wah.. itu pasti menyakitkan hati Mae. Lagipula Pisa juga cukup jauh dari sini," kataku.
"Ya, setelah itu dia hanya berjalan berputar-putar seorang diri di kota itu tanpa tujuan."
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku mendengar cerita itu semua. Antara merasa kasihan dan juga heran terhadap Mae.
Aku dan Sandra berpisah di seberang Piazza Fortebraccio, pulang menuju ke apartemen kami masing-masing. Dan dalam perjalanan kembali ke apartemenku, aku teringat akan sebuah percakapanku dengan Mae jauh sebelum ini.