Aku melihatnya berjalan memasuki ruang kelas dengan langkah yang tergesa-gesa, raut wajahnya menyiratkan sedikit ketegangan. Ia berjalan dengan pandangan mata menatap lurus ke depan tanpa sama sekali mau menoleh ke arah teman-teman yang sedang dilewatinya. Sikap dan ekspresi wajahnya tidak seperti biasanya. Dan yang lebih menarik perhatianku, ada sebuah pot kecil berisi bunga hidup berwarna merah muda dalam genggaman tangannya. Untuk apa dia membawa tanaman hidup ke dalam aula ini?
Sudah hampir setahun aku mengenal Mae, teman kelasku di universitas ini, dan hampir setiap hari pula aku bertemu dengannya. Seperti hari ini, aku mempunyai jadwal kelas yang sama dengannya untuk mata kuliah Fonetik dan Fonologi selepas istirahat makan siang. Biasanya begitu muncul di pintu kelas, sapaan Mae langsung terdengar dibarengi dengan tarikan bibir yang membentuk sebuah senyuman lebar di wajahnya, dilanjutkan dengan  celotehannya yang ramai. Namun, itu semua tidak terlihat kali ini. Aku dapat menangkap dengan mudah perbedaan itu. Ada apa dengannya?
"Bunga untuk siapa itu, Mae?" kudengar suara Professoressa Ricci bertanya kepadanya dari arah mimbar pengajar di depan sana. Ibu dosen yang satu ini memang mempunyai pribadi yang ramah dan hangat. Dia kerap mengajak mahasiswa dan mahasiswinya mengobrol ringan sebelum kuliah mulai, dan mampu mengingat cukup banyak nama mereka. Rupanya bunga di tangan Mae itu juga menarik perhatiannya hingga dia sejenak berhenti merapikan materi ajarnya di atas meja.
"Saya membelinya untuk diri saya sendiri, untuk menghibur saya," Â jawab Mae sambil terus berjalan cepat melintasi aula yang luas ini, tanpa menoleh sedikit pun ke arah Professoressa Ricci yang tengah melihat ke arahnya.
Aku dan Astrid, yang duduk berdekatan di deretan bangku terdepan saling berpandang-pandangan begitu mendengar jawaban dan cara menjawab Mae. Tumben dia menjawab seperti itu. Kami yang mengenalnya merasa heran karena biasanya dia selalu menanggapi pertanyaan dengan antusias, dari siapa pun pertanyaan itu datang, apalagi bila yang bertanya adalah seorang dosen, biasanya dia pasti akan menjawab dengan sopan dan berpanjang-panjang.
Professoressa Ricci hanya tersenyum kecil melihat reaksi Mae. Dia tidak bertanya lebih lanjut, dan kembali sibuk dengan tumpukan-tumpukan kertas yang akan dibagikannya pada kuliah siang ini.
Sementara Mae sudah duduk di bangku paling ujung di dekat jendela. Dia memilih area tempat duduk yang tidak terlalu diminati murid di kelas ini, tidak ada yang duduk di sebelah atau di belakangnya. Sepertinya dia ingin menyendiri.Â
Dalam keseharian di kampus, Mae dikenal sebagai orang yang sangat rajin menyapa siapa saja, mulai dari teman-teman kelasnya hingga petugas kebersihan universitas, penjaga di area lobi, bahkan orang-orang yang tidak terlalu dikenalnya. Pada pagi hari suaranya sering terdengar di koridor, di anak tangga kampus, atau di dalam lift, menyapa orang-orang yang berpapasan dengannya. "Buongiornoooo.. " begitu yang selalu terdengar saat dia mengucapkan selamat pagi dengan suara yang keras dan bunyi huruf O yang panjang, jauh lebih panjang daripada bunyi yang diucapkan oleh orang lain pada umumnya, sambil sedikit membungkukkan badan, memiringkan kepalanya dan tersenyum lebar. Berusaha menampilkan sikap sebagai seorang gadis yang ramah dan imut. Setelah itu dia akan mencoba membuka percakapan kecil.
Mae ingin menunjukkan keramahannya kepada semua orang yang dijumpainya, berharap orang-orang akan menyukai itu, dan membalasnya dengan hal yang sama. Namun, entah dia menyadarinya atau tidak, seringkali reaksi orang-orang itu tidak mencerminkan apa yang diharapkannya. Banyak orang yang malah tersenyum geli melihat gaya menyapanya yang tidak biasa itu, atau tidak merespons keramahannya dan segera berlalu dari hadapannya. Â Â
Sementara banyak teman kelasnya yang menilai sikapnya itu terlalu berlebihan dan sedikit aneh. "Esagerata! Un pó strana!" komentar mereka terhadap gayanya yang kelewat ramah itu. Tidak terkecuali teman-teman yang berasal dari negara dan kultur yang sama dengannya. "Tidak perlu sampai seperti itu," kata mereka.
Aku masih penasaran dengan sikap Mae siang tadi, dan bertanya-tanya kenapa dia sampai harus membawa bunga yang katanya untuk menghibur dirinya itu. Sehingga selepas kuliah sore ini, aku mencoba bertanya kepada Sandra tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Mae.
Sandra mempunyai hubungan yang cukup dekat dengan Mae. Selain itu, teman kelas yang satu ini tahu banyak kisah pribadi teman-teman yang lain, bak seorang jurnalis infotainment. Â Entah kapan dan bagaimana dia mendapatkan info itu semua. Â Aku bertanya kepadanya saat kami berjalan ke luar kampus bersama. Mungkin dia tahu apa yang terjadi pada Mae, pikirku.
"Dia tidak berhasil lagi bertemu dengan pacarnya hari ini," katanya setelah kutanya.
"Dan ini sudah yang kesepuluh kalinya!" sambungnya.
"Apa?? Sepuluh kali?? Kamu serius?" tanyaku heran.
"Ya, sudah sepuluh kali cowok itu membatalkan janjinya untuk bertemu dengannya."
"Waoow..!! Kenapa?"
"Entahlah.." Â Â
"Padahal Mae bilang, dia sudah menyiapkan banyak makanan di rumah sejak kemarin untuk menyambut cowoknya itu hari ini," jelasnya lagi.
"Karena itu dia terlihat marah dan hanya berdiam diri di kelas siang tadi?"
"Ya.."
"Hemm.. Kalau sudah terus-terusan dibohongi seperti itu, kenapa dia masih berharap dan percaya dengan janji laki-laki itu?" tanyaku.
"Ya itulah, aku juga tidak tahu," kata Sandra sambil tersenyum kecil.
"Menurutku dua atau tiga kali saja cowok itu membatalkan janjinya, tentunya cukup untuk paham bahwa dia tidak perlu berharap lagi pada orang itu."
"Ya, menurutku juga begitu," kata Sandra menanggapi pendapatku.
"Dan apakah itu juga masih bisa dibilang pacar?" tanyaku.
Sandra hanya mengangkat bahunya.
"Sebelumnya dia juga bercerita kepadaku. Bulan lalu dia khusus pergi ke Pisa untuk menemui pacarnya itu yang memang tinggal di sana, tapi laki-laki itu tidak muncul di tempat mereka berjanji untuk bertemu. Mae lalu mencoba meneleponnya. Namun, ternyata bukan si cowok yang menjawab teleponnya melainkan ibu laki-laki itu, yang kemudian memarahinya dengan keras karena Mae mendesak untuk bertemu dengan anak laki-lakinya. Ibu itu lalu mengatakan anaknya tidak mau lagi bertemu dengan Mae. Mereka kemudian bertengkar di telepon." Sandra bercerita panjang lebar. Â
"Wah.. itu pasti menyakitkan hati Mae. Lagipula Pisa juga cukup jauh dari sini," kataku.
"Ya, setelah itu dia hanya berjalan berputar-putar seorang diri di kota itu tanpa tujuan."
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku mendengar cerita itu semua. Antara merasa kasihan dan juga heran terhadap Mae.
Aku dan Sandra berpisah di seberang Piazza Fortebraccio, pulang menuju ke apartemen kami masing-masing. Dan dalam perjalanan kembali ke apartemenku, aku teringat akan sebuah percakapanku dengan Mae jauh sebelum ini.
Waktu itu kami sedang makan siang bersama, dan Mae bercerita kepadaku tentang keluarganya di negaranya sana. Aku tidak tahu apa yang kala itu mendorongnya untuk menceritakan keadaan keluarganya kepadaku.
"Ibuku sudah lama kabur dari rumah. Dia pergi dengan laki-laki lain," katanya. Aku sempat terkejut pada awalnya karena dia tiba-tiba berbicara dengan sangat terbuka tentang masalah keluarganya. Hal yang sangat pribadi. Namun, aku mencoba menanggapinya sebagai seorang teman.
"Sekarang ibumu di mana?" tanyaku.
"Aku tidak tahu di mana dia sekarang. Aku tidak pernah bertemu dengannya lagi sejak dia pergi." jawabnya. Â
"Oh, lalu kamu tinggal dengan siapa sebelum kamu pergi belajar ke sini?" lanjutku bertanya.
"Dengan ayahku, tapi ayahku punya kekasih yang tinggal di rumah bersama dengan kami. Aku tidak suka dengan wanita itu. Aku tidak tahan dengan sikapnya. Ayahku hanya peduli padanya."
"Kamu punya saudara?" tanyaku lagi.
Aku berharap dia masih mempunyai saudara atau anggota keluarga lain yang peduli padanya.
"Aku punya seorang kakak laki-laki, tapi dia tinggal di kota lain. Kami jarang bertemu dan berkomunikasi."
"Sudah lama aku ingin ke luar dari rumah itu," lanjutnya. "Aku tidak ingin kembali ke negaraku lagi," katanya mengutarakan harapannya.
Aku melihat dia seperti sedang ingin menumpahkan kegetiran yang dialaminya dalam keluarganya saat itu.
Mae mungkin sedang berjuang di sini untuk mendapatkan cinta yang dia harapkan bisa membuatnya bahagia, membuat dirinya diterima dan dipandang ada, yang tidak ditemukannya dalam keluarganya. Sehingga dia tidak peduli harus berapa kali menerima penolakan dan dibohongi, menghadapi penilaian orang yang menganggap sikap ramahnya sebagai sesuatu yang berlebihan dan aneh.
 Semoga bunga di tangannya itu bisa menghibur hatinya yang tengah terluka.
Oleh: Francisca S
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H