Mohon tunggu...
Francisca S
Francisca S Mohon Tunggu... Guru - Amicus Plato, sed magis amica veritas

Pengajar bahasa, Penulis novel: Bisikan Angin Kota Kecil (One Peach Media, 2021)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Bisikan Angin Kota Kecil

16 Juli 2020   18:58 Diperbarui: 16 Juli 2020   20:12 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bab 1

Italia, pada suatu musim panas..

Cuaca sangat terik siang ini. Langit terlihat biru terang di atas sana dengan kumpulan awan-awan putih bersih menghiasinya. Dari balik kaca jendela bening di sampingku, aku terus memandang ke arah langit luas, walau telah sedari tadi aku melakukannya. Entah mengapa, seakan hanya biru langit itu yang mampu menemaniku saat ini. Seakan hanya biru langit itu yang dapat menghibur perasaanku saat ini.

Sinar mentari tajam menerobos kaca jendela, jatuh tepat di atas pangkuanku. Panasnya terasa menggigit permukaan kulit, menembus celana panjang jeans yang kukenakan. Namun aku tak mempedulikannya, aku tak bergeser sedikit pun untuk menghindarinya. Sengaja aku memilih duduk di bagian tepi jendela agar tak ada sesuatu pun yang mampu menghalangiku untuk menyaksikan pemandangan luar dengan leluasa.

Sebuah gulungan awan kecil tampak bergerak sangat perlahan, nyaris tak terlihat gerakannya bila aku tak mengamatinya dengan seksama. Posisinya bergeser dengan sangat halus, ia tak lagi berada di tempatnya semula. Beberapa gulungan awan putih lain kemudian mengalami hal serupa. Bergerak, berpindah tempat, mengikuti dorongan angin tanpa dapat menolaknya, entah hingga ke mana.. Tapi tentu hal itu tak menjadi masalah bagi awan-awan tersebut. Tak masalah di mana mereka kemudian akan berada. Tak ada kesedihan ataupun kebahagiaan yang menyertai perpindahan mereka. Tak ada preferensi tempat keberadaan bagi mereka. Semua tempat adalah sama. Entahlah, bila mereka juga memiliki perasaan yang sama seperti yang dimiliki oleh manusia yang hidup di bumi ini.

Kurasakan bis yang kutumpangi mulai bergerak. Dengan cepat aku melirik ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Ah ya.. sudah waktunya berangkat! Sudah tepat pukul tiga! Angka yang sama kulihat pada layar jam digital yang tergantung pada langit-langit bus di belakang kursi pengemudi.

Perlahan kendaraan besar ini mulai meninggalkan pelataran terminal yang tak terlalu ramai pada siang hari ini, meninggalkan beberapa gelintir pengantar penumpang yang masih setia menunggu hingga bus berangkat. Tampak diantaranya seorang wanita bertubuh kurus yang masih terus berdiri tegak di anjungan pengantar. 

Matanya menatap lurus ke arah sisi kanan jendela bus. Sempat kulihat sesaat tadi, wanita itu menyeka air matanya dengan sapu tangan yang kini berada dalam genggamannya. Siapakah orang yang diantarnya? seorang temankah? keluarga? atau kekasih hati? Tapi siapa pun itu, pastilah ia adalah seseorang yang dikasihinya, sebab sebuah raut kesedihan terlihat jelas ada di sana. Kesedihan karena sebuah perpisahan, sebuah ketakbersamaan, untuk waktu yang lama atau untuk selamanya.

Bus bergerak menuju pintu gerbang keluar terminal, melintasinya, lalu sejenak berhenti kembali untuk menanti jalur jalan raya di hadapannya cukup kosong untuk dilalui, sebelum kemudian berbelok ke kanan menuju ke arah luar kota.

Tanpa berubah sedikit pun dari posisi dudukku semula, kembali kulayangkan pandangan mataku keluar jendela. Kuamati dengan lekat semua yang tampak, yang dilalui secara perlahan oleh bus antar kota ini. Ingin rasanya semua kuraih dan kubawa serta, sebanyak mungkin mataku dapat menjangkaunya. Seolah ada ketakutan semua itu akan segera lenyap dari ingatanku setelah diriku tak bersamanya lagi. 

Aku tak ingin kehilangan ini semua. Aku mau mereka selalu bersamaku. Sehingga kapan pun aku merindukannya, aku dapat memanggilnya kembali, dan akan kurasakan kembali kehadirannya, akan kucium lagi aromanya, akan kurasakan  lagi kehangatannya  menyentuh seluruh permukaan kulitku...

Masih dalam kecepatan yang lambat, bus melintasi jalan-jalan kota yang lengang. Selengang suasana dalam bus, selengang suasana dalam hatiku yang mulai disusupi rasa sepi. Perlahan tapi pasti, hari ini aku akan segera meninggalkan kota tua dari abad pertengahan yang indah ini. Momen yang selama ini selalu kuhindari untuk kubayangkan.

Deretan bangunan antik yang kokoh berseling dengan bangunan modern di kanan kiri jalan terlewati, kumpulan pepohonan rimbun, taman-taman dengan hamparan rumput hijaunya, patung para pahlawan dan orang kudus yang tegak berdiri sebagai monumen kota.  Ah.. kapan aku akan bersamamu lagi semua? Dalam diam kusampaikan dalam  hati,  'Ci vediamo la prossima volta..'1) .  Kata-kata  yang  sama yang telah  kuucapkan  dalam keheningan  tengah malam tadi  saat  aku  hanya  sendiri bersamanya. Tak ingin kuucapkan kata perpisahan pada semua yang selama ini telah begitu lekat bersamaku.

Batas kota telah terlewati. Dengan tenang bus berjalan meliuk-liuk menuruni daerah bukit-bukit berpepohonan. Sekali lagi kuarahkan pandangan mataku ke belakang, keluar jendela bus yang besar ini, berharap aku masih dapat menangkap sekilas bayangan  kota kecil itu. Namun ia telah lenyap, hanya kumpulan pohon-pohon tinggi tak beraturan yang terlihat. Kota kecil yang tenang itu telah lenyap dari pandangan mataku. Dengan perasaan berat di hati, kubisikkan sekali lagi, "Ciao ciao Perugia.. Ci vediamo!!"2)     

Kini engkau telah berada di belakang, tak terlihat. Demikian pula cinta itu. Sisanya tak kubawa serta. Aku telah menyerahkannya pada  hembusan  anginmu  yang kuat dan ia telah membawanya terbang tinggi. Engkau berjanji untuk  menyembunyikannya, entah di mana.. Mungkin di balik bukit-bukitmu, atau di antara dedaunan pepohonanmu yang  rimbun, atau di lembah-lembahmu yang dalam. Agar aku tak melihatnya lagi, agar aku tak menangis lagi, begitu  katamu menghiburku saat  aku mengadu  kepadamu  di sudut Giardini Carducci, tamanmu yang teduh itu, sambil kau belai rambutku dengan angin kecilmu, dan kau usap pipiku dengan hangat mentari soremu.

Bagai dalam sebuah wadah yang indah, sebuah luka hati telah dibasuh dan dikeringkan di dalamnya oleh tangan-tangan sang penolong. Engkau telah melakukannya untukku.

Tak berapa lama bus telah berada di auto strada 3), lajunya berubah semakin  cepat, menyaingi  laju kendaraan-kendaraan lain menuju kota Roma.

                                                                                              ***

    ________

      1 Sampai kita bertemu di waktu yang akan datang..

      2 Selamat tinggal Perugia.. Sampai kita bertemu!!

      3 Jalan bebas hambat

Oleh: Francisca S

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun