Mohon tunggu...
Fransiskus Nong Budi
Fransiskus Nong Budi Mohon Tunggu... Penulis - Franceisco Nonk

Budi merupakan seorang penulis dan pencinta Filsafat. Saat ini tinggal di Melbourne, Australia. Ia melakukan sejumlah riset di bidang Filsafat dan Teologi.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Lima Dasar Keindonesiaan

26 Januari 2019   23:43 Diperbarui: 27 Januari 2019   00:04 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pertama, Indonesia bukan ateis.

Indonesia mendasarkan diri pada ketuhanan yang unitas. Perlu kejelian di sini. Di abad ke-20, di Indonesia telah berkembang pengaruh agama mondial, termasuk monoteisme. Para bapa pendiri bangsa Indonesia kala merumuskan fondasi pertama ini tentu sudah terpengaruh paham monoteisme. Ketuhanan mana yang dirujuk. Perkara itu tak dikatakan. Kita dapat menduga atau menilainya.

Menurut penilaian saya, Indonesia, perkara ketuhanannya, tak dapat dirujuk pada salah satu agama mondial yang ada di Indonesia. Bila tidak, itu akan menimbulkan kesulitan. Bukan hanya monoteisme yang ada dalam agama mondial. Lagi pula indonesia, pada hakikatnya punya kepercayaan tradisional, khas tanahair nusantara, yang beraneka ragam itu.

Bila diterima yang satu, jelas mengabaikan yang lain. Oleh sebab itu, ketuhanan dirujuk pada nilai asli kultural bumi nusantara, yakni Realitas Transendental. Secara ontologis, unitasnya dapat diterima semua pihak. Problem ketuhanan menjadi ringan di satu sisi, secara konseptual. Namun, secara praktis akan rumit bahkan akan amat berat, yaitu soal hukum. Kita dalam kerangka agama mondial.

Kriteria hukum kita pun terpola di situ. Padahal, ini tak asali nusantara. Yang asali ialah kita di mana-mana di bumi nusantara ini berkeyakinan atau percaya, dan menghidupi dengan sunggu-sungguh, akan Realitas Nan Transendental. Bermacam nama dan cara menghormatinya. Itu tak soal karena pengalaman akan Yang Nan Transendental itu unik bagi manusia atau kelompok manusia. 

Perihal ketuhanan, dalam pengamatan dan penilaian saya, sepanjang sejarah keindonesiaan kita, terlalu dangkal bahkan terapung. Banyak orang dalam tata hidup bersama sibuk dengan ketuhanannya. Ini sebenarnya tak soal. Soalnya itu ialah keyakinan yang mati, yang tak dihidupi secara sungguh-sungguh dalam hidup sehari-hari. 

Tampaknya berkeyakinan, dalam kartu identitas, dalam cara sembahyang, dalam cara berbusana, namun di atas semua itu sikap hidupnya amat jauh atau berseberangan dengan keyakinannya. Tak ada Kebaikan-kebenaran yang ditunjukkan dalam praktek hidup sama sekali. Apalagi hanya mematikan dan mencelakakan sesama, merancang jerat bagi sesama, memanipulasi, mengorupsi, dan banyak keburukan atau kejahatan lainnya.

Pada titik ini adalah tak pantas menyebut diri berkeyakinan atau beragama. Itu hanya menodai citra dan kesucian agama atau kepercayaan tertentu. Itu yang saya sebut keterapungan religiositas.

Bila itu yang terjadi, lebih pantas seorang yang tak mengakui Tuhan tapi berbuat kemanusiaan dan kebaikan serta kebenaran dengan sungguh dalam keseharian hidupnya dalam tata hidup bersama. Bila keterapungan religius terus terjadi, dasar pertama keindonesiaan kita adalah tak bermakna.

Kedua, peradaban humanis yang adil.

Manusia karena peradabannyalah mengungguli mahkluk hidup lain. Apa itu peradaban? Peradaban itu ialah budaya, yakni hasil terap olah pikiran-hati dalam menjalani kehidupan sebagai manusia. Manusia disebut beradab kala mewujudkan peradaban tersebut. Banyak aspek atau segi kehidupan yang dapat dijadikan kriteria peradaban. Kriterium dasar dari peradaban ialah kemanusiaan atau humanis.

Humanisme itu aktualisasi yang khas manusia, di antaranya seperti berbahasa atau kemampuan mengolah kata. Jenis ini belum pernah ditemukan sejauh ini dalam dunia tumbuhan dan binatang, yaitu memakai kata dalam berkomunikasi. Mereka masing-masing punya cara berkomunikasinya, yang unik. Itu pun dapat dipelajari manusia. Orang sudah dapat berkomunikasi dengan mereka setelah cukup cakap mempelajarinya.

Dalam peradaban kemanusiaan di tanahair nusantara dikembangkan juga salah satu dimensi inherennya, yakni berkeadilan. Prinsip ini adalah suatu humanisme. Prinsip ini lahir dari peradaban. Teori terbentukya negara membicarakannya. Teori itu populer di Eropa abad ke-19 dan ke-20. Banyak tokoh sudah membicarakannya, seperti Thomas Hobbes, John Locke, J. J. Rousseau, Monterquieu, Voltaire, hingga Niccolo Machiavelli menyoal tema itu. Karena perkara keadilan dalam tata hidup bersama lahirlah peraturan yang disebut konstitusi.

Para pendiri terpengaruh juga perkara itu. Di sisi lain, dari pengalaman dan pembelajaran, aneka dialog dan perjumpaan, menyadari dari proses jatuh-bangun membentuk tatanan hidup bersama di tanahair nusantara ini yang beragam, bahwa keadilan (yang tertuang atau teraplikasi lewat konstitusi) mutlak diperlukan. 

Fondasi yang dipakai untuk tanahair kepulauan nusantara ini problematis hebat kala itu, hingga diredam dalam "kesepakatan" perwakilan kepemimpinan dalam konstitusi fundamen Indonesia 1945 beserta lima silanya (Pancasila).

Humanisme peradaban yang berkeadilan masih menjadi cita-cita bagi Indonesia saat ini. Kemerdekaan sama sekali tidak menuntaskan perkara itu. Ia senantiasa ada di jalan, terus bergerak. Ia dikejar dalam peziarahan memperjuangkan kemerdekaan sejati sampai pada kesudahannya. Banyak kenyataan membuktikan itu tanpa harus disebut. Karenanya, prinsip itu perlu terus-menerus diperjuangkan. Prioritas keadilan harus mengatasi aneka pilihan lain. 

Meskipun begitu, tak boleh dengan tergesa-gesa menindaknya. Siapa Indonesia harus dijadikan titik berangkat pembuatan kebijakan. Ini demi merawat Indonesia atau memperjuangkan (mempertahankan perjuangan) kemerdekaan seterusnya. Bahaya besar bila itu diabaikan. Selain itu, perlu dipahami dengan sungguh perihal keadilan. Keadilan itu ialah menjaga hak setiap orang agar tetap utuh. Tambahan pula, yang jelas berkaitan dengannya ialah karakteristik dan kapasitasnya.

Ketiga, Indonesia satu.

Indonesia satu yaitu Indonesia. Satu dalam keberagaman. Keindonesiaan jenis ini tiada duannya di dunia. Hanya "Indonesia" yang menyatukan keberagaman tanahair kepulauan nusantara. Apanya Indonesia yang menyatukan itu? Historisitas bersama adalah penentunya. Keserupaan sejarah peradabanlah yang menyatukan. Kebulatan tekad untuk merdeka perwujudannya.

Setelahnya, mengikuti ketentuan internasional, memiliki wilayah negara, penduduk, dan konstitusinya. Dari kriteria itu keragaman Indonesia disatukan oleh historia bersama, sebuah memoria Indonesia.

Belakangan diformulasikan kesatuan itu secara lebih rasional, lewat tanah perjuangan, bangsa, dan bahasa, yakni Indonesia. Ketiganya dapat diterima, meskipun tak mudah pada poin bangsa. Kebangsaan Indonesia ada dalam keberagamannya, dari utara ke selatan, dari timur ke barat, yang dinaungi dengan "Indonesia". Ini seharusnya dibatinkan dengan baik, bahwa kebangsaan kita disatukan bukan karena kebangsaan an-sich kita, tetapi keberagaman bangsa di bawah jiwa kebangsaan Indonesia.

Sekalipun sulit di jalan kesatuan Indonesia masih berdiri tegap sampai saat ini. Berbagai hadangan kesatuan Indonesia. Bermacam cara dikerjakan untuk meruntuhkan kesatuan Indonesia. Beberapa cela, terutama pada poin kebangsaan, dipakai untuk meruntuhkan kesatuan Indonesia. Sudah sejak formulasi permulaannya, beberapa orang bijak yang mendekati Kebijaksanaan, memperjuangkan fondasi keindonesiaan kita.

Soekarno, awalnya tak memprioritaskan negara berketuhanan. Ini, dalam penilaian saya dianggap beliau sebagai yang tak mudah. Catatan penting beliau dalam forum perdebatan perihal fondasi keindonesiaan ialah Indonesia bukan negara agama. Ini pendapat yang sangat berdasar. Bila tidak, kesulitan yang super hebat terjadi, atau malah Indonesia tak kunjung dibentuk kala itu.

Perihal kesatuan, NKRI menjadi sebuah corong seruan di jalan kesatuan. Padahal dalam kenyataannya "harga mati" yang sering digonggongkan itu hanya tinggal sebagai omongan manis. Banyak seruan di mulut tapi sangat sedikit aktualisasinya dalam kehidupan konkret.

Ngomongin satu, tapi melakukan aksi pemecahbelahan di mana-mana dengan berbagai cara, dari yang gampang hingga yang sedikit berat. Itukah cara memperjuangkan kesatuan.  Biar berbeda, tapi tetap satu, Indonesia. Itu yang menjadi pijakan Pancasila, yang disimbolisasi lewat Garuda.

Keempat, kebijaksanaan yang terwakilkan.

Perkara ini adalah paling sulit. Kesulitannya terletak pada pemahaman atasnya. Apa itu kebijaksanaan. Ini bahan diskusi yang panjang dan rumit. Misal, di dunia Yunani kuno, pada Sokrates, Aristokles (dijuluki Platon), Aristoteles dan rekan diskursus mereka, tema kebijaksanaan dibincang dengan amat menarik dan variatif. Kebijaksanaan itu perkara membawa Idea dalam Pragma.

Sederhananya, upaya terus menerus tanpa henti mencari cara terbaik mencapai Kebahagiaan. Praktisnya, upaya coba terap idea terbaik perihal kebaikan dalam tatanan hidup bersama. Mustahil menemukan manusia bijak sebagai perwakilan kebijaksanaan di dunia ini, maka sikap realistis dipilih. Yang terbaik dari kondisi absennya manusia bijak. Untuk itu, yang paling mendekati kebijaksanaan ialah yang mampu melihat dan bertindak secara tepat dalam segi-segi pokok kehidupan dengan penglihatan yang komprehensif atas prioritas tatanan hidup bersama menuju Kebahagiaan.

Indonesia masih sangat jauh dari semuanya itu. Orang seperti Soekarno itu langka, yang punya kapasitas mendekati kebijaksanaan. Beberapa yang pernah menjadi wakil orang bijaksana Indonesia cukup mengarah ke Kebijaksanaan, namun ada juga yang semakin mundur darinya.

Bukan Indonesia tak punya orang-orang yang punya kedekatan dengan Kebijaksanaan, tetapi belum punya cara yang tepat menemukannya. Demokrasi Pancasila yang paling mutakhir dikembangkan belakangan adalah sebuah kemungkinan dari yang beragam.

Kelima, sosialitas berkeadilan.

Hal yang terakhir ini erat relasinya dengan kemanusiaan. Seperti telah dikatakan bahwa keadilan itu inheren dalam kemanusiaan yang manusiawi. Pada poin ini penekanannya terletak pada sebuah dimensi lain dari kemanusiawian manusia, yakni kekariban. Belarasa lebih tepatnya. Intinya, bersama sebagai saudara. 

Dalam konteks Keindonesiaan, kekariban itu terletak pada sepengalaman. Menjadi Indonesia dari pengalaman bersama. Bersama dalam suka-duka, jatuh-bangun, perjuangan-kemerdekaan menjadi Indonesia. Ini yang harus melampaui segala kepentingan lain. Solidaritas yang diwujudkan dalam subsidiaritas. Bukan kelompok tertentu. Jalan berat melintasi perkara ini. Indonesia perlu trans untuk sampai ke sana. Perlu upaya melampaui keterbatasannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun