Mohon tunggu...
Fransiskus Nong Budi
Fransiskus Nong Budi Mohon Tunggu... Penulis - Franceisco Nonk

Budi merupakan seorang penulis dan pencinta Filsafat. Saat ini tinggal di Melbourne, Australia. Ia melakukan sejumlah riset di bidang Filsafat dan Teologi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perubahan Sang Koruptor

20 November 2018   09:23 Diperbarui: 20 November 2018   09:51 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu hari, kompleks hunian elit dihebohkan dengan kedatang seorang "Gila". Hampir semua warga keluar dari huniannya. Mereka memadati gang hunian mereka. Mereka semua hendak melihat aksi orang "Gila" tadi.

Orang "Gila" itu amat tak populer. Ia juga tampak seperti orang waras pada umumnya. Nyaris jauh dari kesan orang gila bila dilihat dari penampilannya. Ia tak seperti orang gila yang berpakaian compang-camping pada umumnya yang berkeliaran di jalanan. Tipe  ini jelas mustahil bisa menembus perumahan elit. Sangat tak mungkin karena pos-pos penjagaan terdapat hampir di setiap pojok jalan, lengkap dengan petugas keamanan ganda dua puluh empat jam non stop, belum lagi CCTV berhamburan di mana-mana. Tak seorang asing pun yang dapat masung seenaknya ke hunian super elit itu. Meskipun begitu, orang gila tadi tak sedang menunjukkan aksi penyamaran, apalagi spionase atau sejenis aksi intelijen. Orang gila itu jauh dari semua itu, ia masuk ke hunian itu dengan terang-terangan seperti terang siang hari. Ia gila karena pamornya yang amat tak populer. Ia gila karena omongannya, klaim-klaimnya, daya pikat, dan sejumlah aksinya.

Aksinya dimulai di pos jaga pertama, yang terletak di ujung gang. Adu cakap terjadi dengan sangat heboh, hingga membuat sejumlah penghuni terdekat sekitar gerbang keluar dari huniannya. Orang gila itu sama sekali tak membawa senjata tajam, sama sekali tak ada. Apalagi sejenis bahan peledak. Ia juga tak sedang menjual 'obat', apalagi obat-obatan terlarang sekelas narkotika. 

Ia mengenakan stelan jeans dan kameja. Mode pakaiannya sangat kekinian. Seolah mempromosikan gaya berpakaian super terbaru. Namun ia bukan sedang pameran pakaian, alias fashion show.

Adu cakapnya dengan dua petugas keamanan yang tampak gagah perkasa semakin memikat para penghuni perumahan super elit itu. Hampir semua warga turun ke tempat mereka beradu pendapat. Retorikanya sangat luar biasa, tak satu pun negarawan yang mampu menandinginya, juga para guru retorika di universitas ternama sekalipun. Mereka jelas kalah set dengannya. Namun ia bukan seorang ahli retorika. Ia tak punya gelar akademis atau gelar penghargaan akademis. Ia memang tak pernah membeli gelar dengan amplop. Ia tak pernah merasakan ruang kelas dan ceramah, apalagi presentasi dan seminar. 

Yang disoaljawabkannya jelas bukan suatu kebohongan. Ia jelas bukan seorang pembawa dan penyebar kebohongan. Hoax tentu absen darinya. Ia juga bukan seorang pengumbar kebencian. Ia juga bukan pengucap kata yang berusaha mempengaruhi orang apalagi yang viral. Ia hanya seorang sederhana. Salah satu dari warga negara. Meskipun ia belum memiliki e-ktp, yang proses pembuatannya njelimet banget, ruwet abis! Yang dananya raup dilenyapkan sang koruptor. Ia juga tak punya hunian. Bahkan ia tak punya tempat untuk meletakkan kepala! Masih jauh lebih untung orang-orang di pinggir kali dan di kolong jembatan sana daripada orang gila itu. Dalam hal hunian tentunya, bukan dalam perkara lainnya. Ia seorang tunawisma, yang secara legal berhak dilindungi dan dipelihara Negara! Negara bukan Negarawan! Negarawan mungkin tahu tapi tak mau berurusan dengannya, apalagi menolong dari kelebihannya. Meskipun Nagarawan punya hak untuk menolongnya secara pribadi. Tapi itu tak cocok diimajinasikan di sini. Itu hanya sekedar intermezo.

Saking hebohnya adu kata, tak seorang pun yang tinggal di huniannya. Seorang negarawan tinggal di ujung jalan, sisih yang satu dari kerumunan orang itu. Ini yang jarang atau nyaris tak pernah ada, yaitu sikap peduli pada keramaian. Orang di hunian elit itu biasanya hanya mengurusi urusannya, bukan mencampuri perkara orang. Sekalipun itu orang di sebelah rumah. Jangankan sebelah rumah, sebelah kamar dalam rumah pun tak dihiraukan. Tetapi kali ini lain. Di situlah letak daya pikat orang "Gila" tadi. Kata mereka dari balik matahari, dia menang besar.

Omongannya sederhana. Ia bukan ngajari yang muluk-muluk. Ia tak PHP-in (pemberi harapan palsu). Tak ada iming-iming dan janji palsu. Ia tak gombalin warga. Entah dengan bidadari atau proyek pembangunan dan aneka tawaran harian, sekelas harga jengkol dan tempe. Ia juga tak menjanjikan stabilitas harga minyak sawit dan harga karet. Ia tak membius warga dengan obat candu. Warga tak dininabobokan untuk menerima kenikmatan sehari-hari tanpa usaha keras, tanpa menanggung beban setiap hari. Ia juga bukan penghibur, apalagi penceramah atau motivator. Sejenis kejutan, uang terkejut, kata orang di dekat pohon sawit uang tekanyat. Tak ada gratis-gratisan seperti mode gratis. Tak ada bonus dan yang sejenisnya. Apalagi tunjangan-tunjangan! Ia punya perhatian dan aksi yang nyata terhadap "ruang kerja keseharian". Ia mengerti dengan baik waktu untuk bekerja dan waktu untuk beristirahat karena ia tahu segala sesuatu ada waktunya. Ia bukan seorang Negarawan. Tak ada orang yang dipekerjakan di rumahnya! Yang ini jelas. Gimana mau pekerjakan orang, dia tak punya hunian. Jangankan hunian, bantal saja tidak punya.

Karena kehebohan besar yang menggemparkan itu tak seorangpun yang masih di dalam rumah. Kecuali itu, sang negarawan yang masih seorang diri, hendak ke kantor. Sudah hampir tengah hari masih bersiap hendak ngantor. Keluar pula ia, hendak melihat orang "Gila" yang tengah heboh di ujung jalan itu. Karena saking banyaknya orang, ia tak dapat menembus kerumunan itu. Rasa penasarannya begitu besar dan semakin besar ketika pertanyaannya kepada orang di situ tak dijawab tuntas. Memang orang tak sanggup menjawabnya karena ia bertanya siapa orang itu. 

Ketika ia berusaha dengan susah payah untuk menembus kerumunan itu demi mencapai sosok orang yang sedang heboh. Tiba-tiba, ia malah dihampiri oleh orang "Gila" itu. Semua orang tertegun. Seketika itu juga suasana menjadi senyap bak tak seorangpun yang ada. Di tengah keheningan itu, pecahlah karena ucapan si orang "Gila" kepada negarawan itu. Katanya, "Sahabat, hari ini aku mau mampir dan makan di rumahmu."

Kata-kata itu sangat mengejutkan. Seketika itu juga orang mulai ribut mempersoalkan kata "sahabat" yang diucapkan oleh orang "Gila". Banyak pertanyaan dalam benak semua orang, siapakah sesungguhnya dia. Akhirnya keramaian pun mulai pecah dan berkurang hingga bubar. Orang-orang kembali ke hunian masing-masing.

Beberapa tetangga dan ketua Rukun Tetangga dan Warga diudang oleh negarawan untuk menemani makan siang mereka. Penjaga keamanan pun diajakya. Istri dan anak-anaknya juga diWA-nya agar makan siang di rumah. Ini tak pernah terjadi, untuk yang kedua kali setelah mereka menikah, makan bersama di meja makan di ruang makan rumah mereka. Orang-orang yang bekerja di rumahnya pun diajaknya. Sekitar 20an orang, laki dan perempuan yang bekerja di rumahnya. Menu terbaik diperintahnya untuk disediakan di jamuan siang itu. 

Saat makan bersama, ia mulai berkisah tentang tugasnya dan kerjaannya sebagai negarawan. Banyak proyek ditanganinya. Bisnisnya yang tersebar di sejumlah kawasan dituturkannya. Sampai pada cerita kunjungannya yang terakhir ke perusahaan sawit dan karet miliknya di dua pulau terbesar di negeri itu. Ia sedang pusing tujuh kali tujuh keliling mikirkan harga sawit dan karet. Aneka strategi sudah dicobanya, tapi belum berhasil. Lobi-lobi diusahakannya, hingga keberanian membanting amplop untuk kelancaran usaha dan bisnisnya. 

Tak kalah menarik, keluh padatnya agenda kantornya juga keluar dari mulutnya. Pertemuan ini itu, meeting sana sini, terbang sana sini, wakili sana sini, dan seterusnya. Istri anak tak pernah diurusnya, keluhnya dengan sedikit gurauan. Bukan soal uang, tapai kebersamaannya, katanya saat itu. 

Lantas, saat makan siang bersama orang "Gila" itu ia berkomitmen dengan dirinya kalau ia ingin mengurangi kepadatan agenda hariannya, yang kadang sengaja dipadatkan. Jajan-jajan di mana-mana. Banting amplop ingin ditiadakannya. Bisnis kotornya dan aneka trik dan akrobatik politis ingin dilenyapkannya.

Mendengar semua itu, berkatalah si orang "Gila" kepada mereka menyudahi kehadirannya, "Hari ini, sesungguhnya, telah terjadi perubahan di rumah ini!" Setelah berkata demikian, ia pun berpamitan sambil menyalami tuan rumah dan tamu undangan, lalu pergi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun