Mohon tunggu...
Suaviter
Suaviter Mohon Tunggu... Lainnya - Sedang dalam proses latihan menulis

Akun yang memuat refleksi, ide, dan opini sederhana. Terbiasa dengan ungkapan "sic fiat!"

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Lebih Penting Menyelamatkan daripada Menyenangkan!

8 Mei 2022   22:49 Diperbarui: 8 Mei 2022   22:52 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang ibu menegur anak. Gambar diambil dari parenting.dream.co.id

Kerap orang tua terjebak pada prinsip "membuat senang" daripada "menyelamatkan" anak. Padahal prinsip ini cukup berbahaya dan akan berisiko ke (masa) depan si anak.

Dua hari yang lalu, saya berkunjung ke rumah seorang sahabat. Saya disambut dengan baik oleh dia dan istrinya. Mereka telah menikah dan dianugerahi (hanya) seorang anak laki-laki. 

Mereka begitu menyayangi si anak. Saya bisa merasakan itu saat bertukar cerita selama kurang lebih satu setengah jam.

Namun, ada beberapa hal yang cukup mengganjal di hati dan pikiran. Pasalnya, si anak kurang bersikap ramah terhadap orang lain (tamu), cuek minta ampun, berpakaian tidak rapi, dan selalu minta dibeli ini dan itu.

Dari pihak orang tua, mereka sepertinya tidak tega untuk menegur atau memarahi si anak; maklum secara tidak logis, meng-iya-kan permintaan-permintaan si anak.

"Maklumlah, dia anak kami satu-satunya. Jadi, tak tega kami mau menegur atau bersikap keras padanya." ucap si istri. Sementara, sahabat saya itu hanya senyum dan memberi gestur setuju atas pernyataan istrinya.

Saya kurang setuju dengan pernyataan mereka. Karena, bagi saya mereka tengah menuntun anak itu ke jalan yang tidak baik. Mengapa?

Hanya membuat senang

Memang, ada perasaan dari dalam diri orang tua untuk memberikan yang terbaik bagi anaknya. Apalagi jika hal-hal yang diberikan sungguh dibutuhkan; baik dalam pendidikan, pengembangan bakat, kerja tangan, dan sebagainya. Maka, otomatis, orang tua akan bekerja lebih gigih mendapatkan uang untuk membeli apa yang dibutuhkan.

Hanya, orang tua harus sungguh berhati-hati untuk tidak sampai pada pemahaman yang dangkal bahwa, "Asalkan mereka (anak-anak) senang, kami pun senang!". Logis saja, belum tentu rasa senang anak sungguh menjadi rasa senang orang tua.

Selain itu, "senang" itu masih sungguh dangkal soal suka atau tidak; belum sampai pada kesadaran menerima sesuatu baik positif maupun negatif sebagai hal atau keadaan yang dapat menghantar dia pada nilai yang baik dan benar secara moral.

Nah, maka orang tua akan condong untuk membuat anak senang saja! Maka, orang tua tidak memberikan edukasi yang tepat lagi untuk anak agar sampai pada sikap mandiri, kritis, selektif, dan daya juang yang tinggi.

Anak merasa bahwa ada orang tua yang tiap saat bisa memenuhi rasa senang mereka. Orang tua pun hanya sampai pada titik membuat anak menjadi senang.

Apakah salah jika orang tua ingin anaknya senang? Tentu tidak! Malahan, anak senang adalah tanggung jawab orang tua. Namun, alangkah lebih baik jika anak terarah pada kebahagiaan yang logis, dalam, dan tajam.

Ada yang di-nina-bobok-kan

Saya mau menyinggung lagi pengalaman berkunjung di atas. Bagi saya, sikap dua sahabat saya kurang tepat. Mereka "terlalu" memanjakan anak, meskipun dia anak satu-satunya.

Mereka ingin, si anak senang padahal tidak mendapat didikan yang berisi. Membuat si anak senang dengan ketidak-sopanan, suka merengek, dan lain-lain sama saja membuat dia terlelap dalam hal-hal jelek (ke depannya).

Karena, si anak sudah di-nina-bobok-kan oleh orang tua. Secara tak langsung, dia dilatih oleh orang tua untuk bersikap demikian.

Maka, sungguh berbahaya. Karakter anak akan mudah menyerah, terlalu mengandalkan orang tua, dan kurang gentleman. Syukur-syukur dia dapat berubah kelak oleh satu atau beberapa pengalaman hidup. Bagaimana kalau tidak?

Si anak tidak dapat disalahkan secara total, karena ada pihak yang pertama sekali harus bertanggung jawab atas itu, yakni kedua orang tua. Mereka tahu dan sadar bahwa tindakan sekadar membuat anak senang tidak baik. Hanya mereka mau dan mampu melakukannya.

Lebih baik menyelamatkan

Untuk itu, kedua orang tua harus mengambil langkah dan sikap yang benar. Saya masih ingat, bagaimana dulu orang tua mendidik saya dan adik-adik dengan aturan yang tegas. Mereka sungguh disiplin.

Kami segan dan takut untuk bertindak yang macam-macam. Sehingga, apa yang disampaikan orang tua sungguh kami kerjakan dan laksanakan. Kalau tidak, hukuman akan menanti jika kami melawan atau melanggar.

Itu dulu! Sistem demikian sudah tidak berlaku zaman sekarang karena aturan di sana-sini. Saya bukan berkata sistem demikian paling tepat. Sebab, sistem pendidikan dan pendampingan anak akan selalu berubah dan berkembang.

Hanya, satu yang diharapkan dari orang tua adalah agar anaknya ditempa menjadi manusia yang berbobot dan tangguh. Bagaimana mereka dapat mewujud-nyatakan harapan itu? Jawabannya ada pada kebijaksanaan mereka mendidik anak-anak.

Maka, hal pertama yang harus diperbaiki adalah dari membuat senang kepada menyelamatkan.

Maksud dari "menyelamatkan" anak adalah menuntun anak untuk memiliki pemahaman yang benar dan tepat tentang hidup. Bahwa nilai yang harus ditanamkan adalah takwa pada Tuhan, beradab terhadap sesama, cerdas menanggapi dunia sosial, dan sanggup mengambil keputusan atas pergumulan hidup.

Dasarnya harus diajari sejak dini, agar anak terlatih dan se-minimal mungkin terkontaminasi oleh paham-paham pesimis, manja, malas, dan sebagainya.

Selain menuntun, orang tua harus berani menegur anak bila mereka telah terkontaminasi hal-hal yang tidak baik. Orang tua pun harus mengarahkan anak-anak ke nilai yang harus ditanamkan.

Memang sulit untuk menyelamatkan anak yang telah terpapar konsep hidup yang keliru. Akan ada konflik dalam keluarga, terutama bila anak sudah "tenggelam begitu dalam".

Bagaimana pun juga, orang tua harus berani untuk itu; entah membutuhkan bantuan teman atau pakar pendidikan atau secara mandiri. Orang tua harus bertindak. Agar anak tidak nyaman dan merasa betul pada jalan hidup yang tidak baik dan benar.

Untuk itu, selagi masih dapat dibina dan belum terlalu terpengaruh oleh masyarakat sosial, orang tua harus memberikan edukasi akan nilai yang diharapkan tadi.

Wibawa orang tua

Dapat dimengerti, mengapa ada anak yang tak hormat pada orang tua. Dapat dipahami mengapa wibawa orang tua tidak kuat di hadapan anak-anaknya. Ya, salah satu penyebabnya adalah fenomena di atas, dimana orang tua hanya ingin menyenangkan atau membuat senang anak.

Anak dapat mengontrol kedua orang tua. Permintaan mereka selalu dikabulkan. Keadaan mereka selalu dimaklumi. Kesalahan mereka tidak ditegur atau dikoreksi. Orang tua enggan membuat anak sakit hati, apalagi depresi. Maka, whatever-lah, asal anak senang.

Padahal, orang tua mesti punya wibawa dalam mendidik anak dan dalam keluarga. Untuk itu, tak salah jika dalam mendidik, orang tua menerapkan ketegasan, kedisiplinan, dan kejelasan dalam aturan rumah.

Orang tua dapat membuat daftar aturan di rumah; mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan, kadar toleransi untuk melanggar satu aturan (dengan pertimbangan logis dan nyata), dan bila perlu membuat daftar hukuman yang diterima kalau melanggar.

Itu contoh! Orang tua dapat melihat langkah mana yang harus dilakukan, seturut budaya, lingkungan sosial, tingkat kematangan anak, dan tingkat ekonomi keluarga, serta konteks perkembangan zaman.

Ilustrasi mendidik anak dalam keluarga. Gambar diambil dari diadona.id
Ilustrasi mendidik anak dalam keluarga. Gambar diambil dari diadona.id

Melatih anak

Intinya, orang tua perlu melatih anak untuk tidak manja, malas, cengeng, dan tidak mau bekerja keras dalam hidup. Ada pepatah klasik berbunyi, "Ala bisa karena biasa" atau "Kecil teranjak-anjak, besar terbawa-bawa!".

Tujuan menyelamatkan dari membuat senang anak bukan semata-mata didapat saat itu (pendidikan berlangsung). Namun, efek ke depan juga perlu diantisipasi.

Jika sejak kecil si anak terbiasa dan parahnya dibiasakan seperti pengalaman yang saya dapat di keluarga kedua sahabat itu, ke depannya, si anak akan memiliki jati diri yang sungguh lemah.

Akan tetapi, jika sejak kecil anak dilatih untuk tangguh, cerdas, dan memiliki filosofi hidup, ke depannya ia pasti sanggup bertanggung jawab terhadap hidupnya dengan penuh kesadaran dan perhitungan yang matang.

Untuk itu, latihan itu perlu sejak dini. Inilah namanya initial formation (pembinaan dasar) dalam keluarga untuk mempersiapkan si anak memasuki ongoing formation (pembinaan lanjutan) di masa depan. Dia sendiri akan menjadi pembina bagi dirinya sendiri. 

Jika sejak dasar ia sudah kuat dan kokoh, di depan ia akan kuat dan makin kokoh lagi. Sic fiat!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun