Mohon tunggu...
Suaviter
Suaviter Mohon Tunggu... Lainnya - Sedang dalam proses latihan menulis

Akun yang memuat refleksi, ide, dan opini sederhana. Terbiasa dengan ungkapan "sic fiat!"

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

4 Hal Mendasar yang Harus Dihindari dalam Menulis Opini

30 April 2022   22:28 Diperbarui: 3 Mei 2022   15:20 1456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menulis opini itu menarik. Akan tetapi, ada beberapa hal yang patut dihindari dalam proses penulisan. Agar, tulisan yang dihasilkan orisinal dan menarik.

Para Sahabat yang terkasih, dalam tulisan "ini", saya telah membagikan pengalaman dalam menulis opini. Pengalaman tersebut bersumber dari refleksi mendalam, bahwa tulisan dapat menjadi sarana penyampaian ide dan wawasan.

Dan, bagi saya, sungguh amat penting menulis terlebih melatih diri untuk menulis opini. Mengapa? Alasannya sudah saya uraikan dalam tulisan tersebut. 

Kali ini, saya ingin kembali membagikan nilai sederhana dari pengalaman menulis, terutama berkaitan dengan hal-hal yang harus dihindari oleh seorang penulis opini pemula dan atau amatir (seperti saya).

Hal-hal tersebut perlu dicermati bersama, sehingga suatu waktu dapat menjadi referensi atau panduan bagi para Sahabat dalam menulis.

Perlu dicatat, bahwa saya bukanlah seorang penulis profesional. Saya pakai predikat "amatir" seperti tertera di atas. Sebab, belum pernah saya mendapat kursus, pengajaran, dan pelatihan menulis opini secara serius dari satu lembaga dengan sertifikat resmi. Selain itu, gelar akademik pun tidak tinggi.

Namun, saya belajar secara informal; bertanya ke sana ke mari, buka video di youtube, dan terlebih mempelajari kriteria suatu tulisan opini. Karena sudah merasa (sedikit) percaya diri, saya beranikan mengirim tulisan-tulisan ke kolom opini harian Kompas dan beberapa situs berita.

Saya melatih diri terus-menerus sampai pada akhirnya tulisan opini dimuat. Saya gembira, bukan main rasanya. Kegembiraan itu lantas memacu saya untuk berlatih dan berlatih hingga, saat ini saya dapat berbagi ilmu kepada teman-teman.

Nah, dalam konteks membantu teman dalam menulis opini, ada empat hal yang sangat saya tekankan untuk [harus] dihindari.

Plagiarisme

Saya selalu meng-awas-kan agar teman tidak CoPas (copy paste) tulisan orang lain secara bulat-bulat. Hal ini merupakan satu bentuk penipuan diri dan khalayak umum. Penipuan ini juga menjadi satu bentuk dosa berat, walau dalam tulisan.

Memang betul, bahwa kita selalu butuh buku, artikel, atau tulisan orang lain sebagai sumber/pembanding/pendukung tulisan opini yang kita anggit. Namun, ide orang lain yang tertuang dalam sumber tersebut perlu diolah dengan "bahasa pikiran" orisinal kita.

Di sinilah, kita berjuang untuk membuat satu tulisan yang orisinal, bukan hasil plagiarisme. Apalagi, ketika tulisan tersebut hendak dikirim ke satu warta berita. Tentu pelbagai risiko berat menanti di depan.

Tulisan kita bisa ditolak. Nama kita bisa saja masuk dalam blacklist perusahaan berita yang bersangkutan. Sebab, teknologi sekarang sudah canggih, dengan aplikasi yang dapat mengenali suatu tulisan itu mengandung sekian persen tulisan orang lain (a.k.a. plagiarisme).

Ilustrasi tulisan opini. Gambar diambil dari thedubrovniktimes.com
Ilustrasi tulisan opini. Gambar diambil dari thedubrovniktimes.com

Lebih baik ditolak berkali-kali, namun ide dalam tulisan orisinal daripada menanggung derita yang lebih berat seperti yang saya ungkapkan dalam satu paragraf di atas.

Dalam dunia tulis-menulis, menghargai hak cipta orang lain pun perlu dan utama. Karena, kita pun mengharapkan orang lain berbuat demikian terhadap tulisan kita.

Malas membaca

Logis saja, "Bagaimana mungkin seseorang dapat merangkai satu tulisan, apabila ia tidak terlebih dahulu [banyak] membaca?!".

Semakin banyak membaca, semakin seorang penulis dapat menulis dengan mengalir. Gagasan yang tercipta hasil gerakan tangan dan kinerja otak akan terus muncul dengan sendirinya. Malah, si penulis harus sanggup me-rem diri untuk tidak menuliskan hal-hal yang tak perlu dalam tulisannya.

Semakin banyak membaca, semakin seorang penulis mendapatkan jati diri dan gayanya dalam menulis, sehingga sungguh autentik dan artikel yang ditulis bagus dan menarik.

Jika malas membaca, argumentasi dalam opini sangat lemah dan dengan mudah dipatahkan oleh orang lain. Sebaliknya, dengan banyak membaca, opini kita akan sangat dinikmati dan dapat dijadikan sebagai catatan referensi bagi tulisan orang lain.

Malas membaca adalah penyakit kedua yang harus dijauhi. Agar, kita tidak mendongeng dalam tulisan opini. Selain itu, kita tidak ingin tulisan opini itu sangat subjektif, terlalu melebar, dan tidak berbobot.

Sehingga, orang lain menjadi bosan ketika membaca tulisan itu. Atau lebih parahnya, orang lain menjadi skeptis dengan nama kita. Jika sudah skeptis dengan nama, saya yakin dengan tulisan opini itu dia sudah skeptis juga.

Terlalu memperlebar ide

Ada satu penyakit-yang juga saya alami-dalam menulis opini yakni konsentrasi melemah karena tak mampu membatasi sekop tulisan. Hal ini juga sungguh terasa dalam diri seorang penulis pemula.

Memberi batas pada tulisan itu penting. Agar, seorang penulis opini memberikan opini yang tidak panjang-lebar, tak menentu. Semua hal masuk begitu saja dalam tulisannya. Apa yang dipikirkan secara spontan dimasukkan juga dalam opini.

Ada kesan bahwa, semakin lebar ide satu tulisan, semakin baik tulisan yang dihasilkan. Bukan! Keliru! Justru, dalam tulisan opini, seorang penulis harus memperhatikan bidang apa dan mana saja yang sungguh dikuasai. Agar opini yang dituliskan ringkas, padat, dan tajam.

Dalam menuangkan ide dalam opini, ia (penulis) fokus dan konsentrasi ke bidang itu. Semisal, fokus tulisan adalah bidang sosial, antropologi, hukum, lingkungan hidup, rumah tangga, kepemudaan, atau moral, dan sebagainya. Maka, tentukan fokus/sudut pandang yang hendak ditinjau oleh penulis. 

Sekali lagi, tak mesti si penulis memiliki gelar akademik yang tinggi. Seorang ibu rumah tangga yang sungguh menguasai hakikat rumah tangga, memiliki pengalaman-daya refleksi tinggi, dan tata bahasa yang baik dapat menulis satu artikel opini yang bagus. Karena, dia menguasai bidang tersebut.

Seorang mahasiswa dapat membuat satu tulisan opini tentang ke-mahasiswa-an, asal sungguh menguasai bidang tersebut; punya minat ke situ; referensi mencukupi, dan ingin menyampaikan gagasan baru tentang ke-mahasiswa-an.

Maka, harus ada frame suatu tulisan opini. Agar, tulisan yang dihasilkan sungguh tajam, kuat (padukan opini dengan sumber yang telah diolah), berisi wawasan baru bagi pembaca, dan menjadi identitas si penulis.

Rasa puas diri

Nah, inilah yang sungguh harus dihindari oleh seorang penulis opini. Merasa sudah amat puas dengan tulisan yang dibuat.

Efeknya, tulisan dibiarkan begitu saja tanpa ada proses editing. Tulisan tidak memiliki roh dan kering. Orang tertawa membaca opini itu.

Si penulis tidak berkembang. Karena, sudah merasa yakin dengan kemampuan yang belum apa-apa dibanding para pakar dan akademisi yang selalu berlatih dan belajar.

Selain itu, rasa puas diri membawa penulis untuk tidak mau membaca tulisan orang lain, tidak ikut isu-isu terkini dan menarik untuk dijadikan topik tulisan, dan tak mau up date dan up grade diri. Parahnya, ia sampai pada plagiarisme.

Saya perlu akui, bahwa dari sekian tulisan yang telah dimuat dalam kolom Opini, belum ada satu tulisan yang sungguh membuat saya puas. Karena, setelah membaca dan merefleksikan opini itu, saya melihat masih kurang.

Untuk itu, saya berlatih lagi dan lagi. Penolakan dari tim redaktur menjadi pelajaran berharga bagi saya untuk mengoreksi pelbagai hal dalam menulis dan menguraikan ide.

Latihan tanpa batas

Saya selalu tekankan kata tekun dalam menulis opini. Ya, walau sebenarnya dalam pelbagai nilai baik dan benar dalam hidup penting ketekunan.

Tak seorang pun berhasil dan menjadi matang, jika tidak terus berlatih. Jika suatu waktu, satu tulisan opini yang baik telah berhasil dikerjakan dan dimuat dalam media warta berita, boleh bahagia tetapi jangan menjadi puas diri apalagi sombong.

Tentu akan ada efek ketika kita dapat menjadi penulis yang namanya tertera di kertas atau situs harian yang bersangkutan. Namun, bagi saya hal mendasar dari menuliskan opini adalah berbagi ilmu dari sudut pandang saya.

Saya juga tekankan kepada teman yang saya ajari dalam menulis opini: 

"Terbukalah menerima evaluasi, kritik, saran, dan perbaikan dari orang lain dengan latar belakang yang variatif! Semakin banyak orang yang memberi masukan, itu artinya tulisan kita sungguh dibaca banyak orang dan orang(-orang) tersebut ingin agar kita lebih berkembang ke depan! Sedangkan para penulis ahli dan pakar saja punya editor, apalagilah kita ini yang masih belajar menulis!".

Demikianlah pengalaman ini saya bagikan. Terutama, saya bagikan kepada teman-teman yang sedang saya ajari. Sekali lagi, saya bukan seorang pakar dalam menulis tapi saya menaruh minat dalam menulis dan ingin berkembang hari demi hari. Sic fiat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun