Saya perlu akui, bahwa dari sekian tulisan yang telah dimuat dalam kolom Opini, belum ada satu tulisan yang sungguh membuat saya puas. Karena, setelah membaca dan merefleksikan opini itu, saya melihat masih kurang.
Untuk itu, saya berlatih lagi dan lagi. Penolakan dari tim redaktur menjadi pelajaran berharga bagi saya untuk mengoreksi pelbagai hal dalam menulis dan menguraikan ide.
Latihan tanpa batas
Saya selalu tekankan kata tekun dalam menulis opini. Ya, walau sebenarnya dalam pelbagai nilai baik dan benar dalam hidup penting ketekunan.
Tak seorang pun berhasil dan menjadi matang, jika tidak terus berlatih. Jika suatu waktu, satu tulisan opini yang baik telah berhasil dikerjakan dan dimuat dalam media warta berita, boleh bahagia tetapi jangan menjadi puas diri apalagi sombong.
Tentu akan ada efek ketika kita dapat menjadi penulis yang namanya tertera di kertas atau situs harian yang bersangkutan. Namun, bagi saya hal mendasar dari menuliskan opini adalah berbagi ilmu dari sudut pandang saya.
Saya juga tekankan kepada teman yang saya ajari dalam menulis opini:Â
"Terbukalah menerima evaluasi, kritik, saran, dan perbaikan dari orang lain dengan latar belakang yang variatif! Semakin banyak orang yang memberi masukan, itu artinya tulisan kita sungguh dibaca banyak orang dan orang(-orang) tersebut ingin agar kita lebih berkembang ke depan! Sedangkan para penulis ahli dan pakar saja punya editor, apalagilah kita ini yang masih belajar menulis!".
Demikianlah pengalaman ini saya bagikan. Terutama, saya bagikan kepada teman-teman yang sedang saya ajari. Sekali lagi, saya bukan seorang pakar dalam menulis tapi saya menaruh minat dalam menulis dan ingin berkembang hari demi hari. Sic fiat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H