Ketika sedang menjamu tamu, anak-anak janganlah disuruh untuk pergi ke tempat lain. Sebab, ada beberapa hal edukatif yang cukup berpengaruh dalam perkembangannya (kelak).
"Hehh... sana... sana dulu!"
"Bang, kakak ke kamar dulu bentar ya, mama papa sedang punya tamu!"
"Nanti giliran anak-anak makan!"
"Ahhh... sudah makan kok mereka (anak-anak). Harus berapa kali rupanya mereka makan sehari?"
Saya masih ingat ungkapan di atas, selalu diucapkan oleh ibu atau bapak dahulu, ketika ada keluarga/tamu yang berkunjung ke rumah.
Adik-adik dan saya biasanya akan di suruh pindah tempat dari ruang tamu, walau awalnya kami belajar di sana.
Buku-buku dibereskan, meja dibersihkan, lalu kami diminta untuk membuatkan minuman dengan makanan ringan untuk para tamu.
Selekas semua telah rapi dan selesai dihidang, kami disuruh untuk masuk kamar atau bermain ke tempat lain.
Memang, ketika masih kecil, muncul pertanyaan mendasar, "Mengapa ketika ada tamu, saya dan adik-adik tidak boleh ikut serta dalam pembicaraan mereka? Mengapa dahulu kami selalu disuruh masuk ke kamar atau bermain atau bertandang ke rumah tetangga?"
Rasanya, kurang fair. Sebab, saya merupakan anak dari si pemilik rumah. Selain itu, saya juga ingin mendengar cerita-cerita orang dewasa.
Alasan "mengusir"
Pernah saya bertanya kepada ibu/bapak, "Mengapa setiap kali ada tamu, kami diusir untuk tidak ikut dalam pembicaraan kalian?"
Lalu, mereka menjawab bahwa mereka tidak mengusir kami. Sebenarnya, tidak ada juga hal mendasar. Mereka (ibu/bapak) hanya ingin agar tamu merasa nyaman di rumah tanpa terusik oleh keributan atau tingkah anak-anak.
Karena, kalau tidak merasa nyaman, mereka mungkin akan jera ke rumah. Selain itu, mereka ingin anak-anak tidak cepat dewasa. Artinya, pembicaraan-bahasa-gesture-sekop bahasan yang terjadi saat ada tamu berwarna orang dewasa. Belum cocok untuk anak-anak. "Nanti kalian cepat dewasa, ngak baik loh!" ujar mama.
Selanjutnya, terutama jika sedang makan, orang tua takut akan menjadi malu melihat tingkah anak-anak yang belum bersih dalam makan. Takut tamu merasa jijik dan segan untuk makan. Maka, mereka akan berusaha berkata, "Ahhhhh... sudah makan kok mereka (anak-anak). Harus berapa kali rupanya mereka makan sehari?"
Kemudian, orang tua takut kami akan membeberkan cerita yang kami dengar kepada teman-teman sehingga bisa saja dipahami secara keliru atau terdengar tidak baik ke telinga tetangga. Apalagi, anak-anak biasanya membumbui cerita secara berlebihan karena ingin mendapat apresiasi yang tinggi.
Hal edukatif
Padahal, pada dasarnya ada rasa bahagia dalam diri saya ketika masih anak-anak dikunjungi oleh keluarga dan tamu. Mengapa?
Pertama, saya senang dengan hal, orang, wajah, dan suasana baru yang hadir lewat tamu. Pengalaman hidup mereka bisa dipelajari untuk memperkaya diri.
Kedua, anak-anak sedang dalam tahap pencarian jati diri yang lebih kompleks. Apalagi, kalau ada tamu tentu hal ini akan terbantu untuk terwujud.
Ketiga, anak-anak senang ketika tamu datang, biasanya ada uang yang disalam atau dimasukkan dalam kantongnya. Entah itu uang receh, seribu, dua ribu, lima ribu, apalagi seratus ribu: "Bukan main bahagianya!"
Selain alasan sederhana di atas, ada beberapa hal edukatif yang dapat dipelajari ketika mempersilakan anak-anak turut menjamu tamu.
Pertama, menumbuhkan rasa sosial anak. Saya melihat perbedaan ini dalam budaya Indonesia dengan luar negeri. Di luar, anak-anak akan diajak menjamu tamu dan pada saatnya akan diminta memberi pendapat. Sehingga sensus sosialnya tumbuh.
Dengan mempersilakan anak ikut menjamu tamu, orang tua memberi kesempatan padanya untuk mengenal orang-orang: gaya bicara, karakter, postur tubuh, dan kasih sayang dari mereka.
Bisa dimaklumi ada anak yang anti-sosial karena sejak kecil tidak diizinkan bertemu dengan orang lain di luar keluarga, termasuk tamu yang datang ke rumah. Apalagi di zaman sekarang ini, banyak anak "terlatih" untuk tidak peka secara sosial. Baik itu karena situasi pandemi, keasyikan bermain smartphone, game online, dan sibuk sendiri tapi tidak jelas arahnya.
Kedua, mental anak akan terlatih ketika berhadapan dengan orang lain. Sejalan dengan anti sosial, anak yang gampang ciut ketika berhadapan dengan orang baru disebabkan minimnya latihan bersosial sejk dini.
Ketika anak terlatih berhadapan, menyambut tamu, dan berbicara dengan tamu, saya yakin ia dapat dengan tenang memposisikan diri di hadapan orang lain. Sehingga, suatu waktu ketika orang tua tidak di rumah, si anak dapat menjamu tamu dengan sopan dan baik.
Ketiga, melatih anak untuk bertanya. Pasti seorang anak akan bertanya-tanya tentang siapa tamu dan apa maksud gerangan datang ke rumah. Kalau tidak terungkap kan, ia akan terlatih untuk berspekulasi tentang hal yang belum jelas baginya.
Ketika ia diberi ruang dan kesempatan bertanya, pastilah pertanyaan akan mengalir. Biasanya, pertanyaan anak-anak itu beranak cucu. Ada pertanyaan yang ringan bahkan ada pertanyaan yang sulit dijawab oleh si anak.
Keempat, sarana pengenalan karakter anak. Orang tua mesti jeli memanfaatkan kesempatan ini untuk melihat karakter (sopan santun, etika, dan sebagainya) anaknya. Agar, orang tua terbantu mendampingi anak di rumah, juga memberi catatan kepada guru kelas untuk memperhatikan karakter anaknya.
Kelima, sarana mengembangkan kebijaksanaan anak. Semakin banyak bertanya dan bersosial, semakin anak akan bijak sana. Ia akan mengerti arti hidup dan cara mengelola hidup dari sudut pandang yang amat kaya.
Atau setidaknya, ia pernah mendengar cara menyelesaikan suatu perkara hidup dari pengalaman orang lain (tamu).
Keenam, orang tua belajar dari tamu cara memperlakukan anak seperti yang diharapkannya. Bisa saja, selama memiliki anak, orang tua belum mampu mengenal kepribadian anak. Tetapi, ketika ada tamu - dengan spontan - ada aksi yang cukup menarik perhatian anak dan patut diaplikasikan di rumah.
Memanfaatkan kesempatan
Saya ingin mengajak bapak/ibu yang memiliki anak agar memberi kesempatan kepada anaknya untuk turut belajar banyak hal edukatif dari menjamu tamu.
Ya, memang ada kalanya tamu yang dijamu sangat penting dan privat. Kalau berurusan dengan tamu seperti ini, anak pasti tidak akan dipersilakan untuk ikut.
Tapi, kalau tamu yang datang di luar dua sifat di atas, janganlah "mengusir" anak dari pembicaraan. Mari melibatkan mereka; mari melatih pelbagai dimensi dalam diri mereka untuk berkembang; dan mari "paksa" mereka latihan karakter tangguh, sopan, santun, peduli, peka, dan punya inisiatif dalam menjamu tamu.
Hal ini tampaknya sepele, namun yakinlah pengaruhnya ke depan akan sangat tampak dengan jelas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H