Pernah saya bertanya kepada ibu/bapak, "Mengapa setiap kali ada tamu, kami diusir untuk tidak ikut dalam pembicaraan kalian?"
Lalu, mereka menjawab bahwa mereka tidak mengusir kami. Sebenarnya, tidak ada juga hal mendasar. Mereka (ibu/bapak) hanya ingin agar tamu merasa nyaman di rumah tanpa terusik oleh keributan atau tingkah anak-anak.
Karena, kalau tidak merasa nyaman, mereka mungkin akan jera ke rumah. Selain itu, mereka ingin anak-anak tidak cepat dewasa. Artinya, pembicaraan-bahasa-gesture-sekop bahasan yang terjadi saat ada tamu berwarna orang dewasa. Belum cocok untuk anak-anak. "Nanti kalian cepat dewasa, ngak baik loh!" ujar mama.
Selanjutnya, terutama jika sedang makan, orang tua takut akan menjadi malu melihat tingkah anak-anak yang belum bersih dalam makan. Takut tamu merasa jijik dan segan untuk makan. Maka, mereka akan berusaha berkata, "Ahhhhh... sudah makan kok mereka (anak-anak). Harus berapa kali rupanya mereka makan sehari?"
Kemudian, orang tua takut kami akan membeberkan cerita yang kami dengar kepada teman-teman sehingga bisa saja dipahami secara keliru atau terdengar tidak baik ke telinga tetangga. Apalagi, anak-anak biasanya membumbui cerita secara berlebihan karena ingin mendapat apresiasi yang tinggi.
Hal edukatif
Padahal, pada dasarnya ada rasa bahagia dalam diri saya ketika masih anak-anak dikunjungi oleh keluarga dan tamu. Mengapa?
Pertama, saya senang dengan hal, orang, wajah, dan suasana baru yang hadir lewat tamu. Pengalaman hidup mereka bisa dipelajari untuk memperkaya diri.
Kedua, anak-anak sedang dalam tahap pencarian jati diri yang lebih kompleks. Apalagi, kalau ada tamu tentu hal ini akan terbantu untuk terwujud.
Ketiga, anak-anak senang ketika tamu datang, biasanya ada uang yang disalam atau dimasukkan dalam kantongnya. Entah itu uang receh, seribu, dua ribu, lima ribu, apalagi seratus ribu: "Bukan main bahagianya!"
Selain alasan sederhana di atas, ada beberapa hal edukatif yang dapat dipelajari ketika mempersilakan anak-anak turut menjamu tamu.