Akan tetapi, perhatikan beberapa hal, khususnya apa yang termuat dalam Efesus tadi. Pertama, ungkapkan kemarahan itu dengan cara yang wajar dan sesuai. Apa maksudnya? Silakan kunjungi tulisan-tulisan saya di paragraf awal tulisan ini.
Kemudian, jangan karena kemarahan itu, kita berbuat dosa. Barangkali kutipan kalimat bijak sana dari William Paley dapat membantu:
Semua kemarahan bukanlah dosa, tetapi kemarahan yang berkepanjangan yang akhirnya menjadi dosa dan bertentangan dengan Injil
Kemarahan yang berujung pada dosa bukan hanya bertentangan dengan Injil, tetapi bertentangan dengan aturan-aturan, dogma-dogma, dan nasihat-nasihat suci dalam Kitab Suci dan ketentuan hidup bersama.
Kedua, kemarahan itu harus dituntaskan dengan sesegera mungkin. Kemarahan yang tidak dituntaskan akan memberi dampak pada diri dan tubuh kita seperti masalah pencernaan, nyeri otot, sakit kepala, gangguan jantung, infeksi, dan sebagainya.Â
Akibatnya, kita lebih cepat lelah dan depresi. Toleransi daya fisik terhadap emosi akan semakin menurun.
Selain itu, kemarahan yang dipendam dapat merusak keadaan emosional kita. Kebencian akan berkembang dalam diri. Kita cenderung merasa sepi dan terasing atau mengasingkan diri dari yang lain. Kita juga akan mencari cara dan kesempatan membalas perlakuan orang lain yang tidak baik terhadap kita.
Kenali hambatan
Agar dapat menuntaskan atau menyelesaikan kemarahan dengan bijak sana, marilah pertama sekali kita mengenali faktor-faktor yang menghambat.
Beberapa faktor berikut cukup cenderung terjadi sebagai penghambat bagi kita untuk menuntaskan kemarahan.
Kita menyimpan kemarahan sebagai bentuk balas dendam. Ini terjadi apabila ejekan atau sentilan dari orang terasa sangat menyakitkan. Di sisi lain, kita tidak terima. Sehingga, kemarahan itu tidak tuntas disampaikan. Disimpan saja dahulu, lalu cara kesempatan yang pas untuk menyerang orang yang membuat kita marah.
Kita merasa cemas dan takut. Ini terjadi jika figur orang yang membuat marah kita memiliki kuasa atau kekuatan yang justru membuat kita takut mengungkapkan kemarahan di depannya. Maka, kita cenderung menarik diri, "Jangan membuat masalah!" atau "Damai-damai sajalah!". Ungkapan ini membuat kita menghindar serta membiarkan perasaan terbakar.