"Salah satu bentuk cinta yang harus dikembangkan sejak dini adalah cinta pada lingkungan hidup"
Hari ini, 14 Februari 2022 telah dikenal sebagai hari khusus untuk kasih sayang. Biasanya, orang akan mengungkapkan rasa cinta kepada orang lain (bisa orang tua, anggota keluarga, teman sekelas, pacar, anak, istri, suami, dan sebagainya) yang dicintai dengan berbagai bentuk.
Ada yang memberikan cokelat, bunga mawar, lukisan, atau benda yang disukai oleh mereka yang dicinta. Ada yang meluangkan waktunya untuk jalan-jalan bersama dengan yang spesial baginya. Ada pula yang karena situasi pandemi Covid-19 harus ber-video call untuk memuaskan rasa rindu karena terpisah.
Akan tetapi, di hari kasih sayang ini, ada satu pengalaman menarik bagi saya. Pengalaman tersebut tidak berasal dan berorientasi pada kasih sayang manusia-manusia, melainkan manusia-lingkungan hidup.
Pada pertemuan
Di hari cinta kasih ini, saya diminta untuk memberikan materi seminar tentang cinta pada lingkungan hidup kepada beberapa orang mahasiswa via daring. Sebab, varian Omicron cukup 'ganas' di daerah kami.
Pertemuan via daring dimulai pada pukul 08.30 WIB dan berakhir pada 11.00 WIB. Jumlah mahasiswa yang ikut pertemuan ada delapan orang. Mereka adalah para pecinta lingkungan hidup yang ingin menambah wawasan dan pengalaman dari beberapa narasumber baik dari sisi akademik, teori, maupun praktiknya.
Materi yang diminta dari saya adalah sisi akademik dan praktiknya. Namun, saya bingung mau memaparkan materi apa kepada delapan calon pahlawan lingkungan hidup bangsa Indonesia.
Untuk itu, saya tidak mau ambil pusing dengan materi yang berat-berat. Saya pilih saja beberapa tulisan saya tentang lingkungan hidup yang ini, ini, ini, dan ini. Saya taksir, bahwa bahan tersebut cukup untuk durasi sesi yang harus saya isi.
Sekaligus saya ingin memotivasi mereka untuk mengambil satu cara mengungkapkan isi hati tentang krisis lingkungan hidup lewat dunia literatur. Karena, orang lain perlu diberikan edukasi ekologis lewat tulisan di samping aksi.
Cinta
Sesekali, saya bergurau. Sesekali pula saya menyinggung hubungan cinta (valentine) dengan materi lingkungan hidup.Â
Mencintai lingkungan hidup sama dengan mencintai Sang Pencipta, yang di agama masing-masing dikenal sebagai Tuhan yang Mahakuasa. Sebab, oleh karena kuasa-Nya, Ia menciptakan bumi dan segala isinya termasuk manusia dari ex nihilo menjadi apa yang ada sekarang ini di dalam pelbagai proses (revolusi dan evolusi).
Terlebih, saya sampaikan bahwa ada cinta di dalam proses penciptaan, karena Tuhan pada akhirnya memandang bahwa segala yang diciptakan-Nya adalah baik dan sungguh amat baik. Tuhan sendiri ingin agar hal baik yang diberikan-Nya kepada bumi dan isinya tetap terpelihara.
Mencintai bumi tampak dari bagaimana seseorang bisa dekat dan erat bersatu dengannya. Selain itu, ungkapan cinta pada bumi mengandung nilai kepekaan pada apa yang sedang dirasakan dan diinginkan bumi.
Manusia tidak boleh tutup mata, berpangku tangan, dan menutup telinga atas realita yang tengah dirasakan oleh bumi. Bahwa, dewasa ini cinta manusia pada bumi sudah tidak berbobot lagi. Tampak, dari beberapa keprihatinan aktivis dan pejuang lingkungan hidup yang menampilkan pelbagai derita yang dialami bumi.
Cinta itu sudah berkurang dan mengalami erosi yang rawan menciptakan longsor. Jika tidak segera diperbaiki, relasi cinta manusia-bumi akan putus dan ada gap yang memisahkan.
Berpikir global - bertindak lokal
Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah bertindak secara lokal atas kejadian global.Â
Dari manusia saat ini, diharapkan daya analisis dan praktik hidup yang bisa merajut kembali relasi harmonis yang sudah sempat rusak karena berbagai faktor.Â
Untuk menyelamatkan bumi, manusia bisa berpikir dan bertindak global dalam lingkungan hidup yang ada di dekatnya. Ini akan menumbuhkan cita rasa ekologis (ecological sense).
Cita rasa demikian, selanjutnya, akan menggiring manusia untuk menaruh hati pada aksi-aksi ekologis dan menolak aksi-aksi tidak ekologis. Maka, relasi yang tercipta adalah relasi yang manis dan indah, bukan toksik.
Hubungan toksik sungguh merusak. Sebab, di dalamnya ada egoisme; yang satu ingin mendapat untung sementara yang lain mendapat sialnya. Hubungan toksik yang sama sungguh telah merusak banyak hal di lingkungan hidup, sebab manusia ingin mendapat banyak hal dari lingkungan hidup, sementara yang diberikan kepada lingkungan hidup adalah sisa, polusi, dan racun.Â
Atau bahkan, kepada lingkungan hidup, manusia tidak memberikan apa-apa yang bisa mengobati tubuh lingkungan hidup yang sudah diambil oleh manusia.
Untuk itu, hal-hal sederhana dan partikular seperti tidak membuang sampah sembarangan, mengurangi penggunaan plastik, mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dengan emisi karbon yang tinggi, menanam dan merawat tanaman, dan hidup hemat energi bisa menjadi aksi-aksi ekologis yang akan sangat membantu perjuangan global - bersama.
Usaha berkesinambungan
Sama seperti menjaga relasi cinta dengan orang yang dicintai, harus ada perjuangan yang berkesinambungan. Demikian juga manusia dalam membangun relasi cinta dengan lingkungan hidup, harus ada perjuangan.
Di dalam perjuangan tersebut, tentu ada proses, evaluasi, dan pemurnian motivasi. Terjadi berkali-kali hingga menjadi satu habitus yang tentunya menjadi DNA/gen pengenal.
Tantangan terbesar manusia zaman ini dalam merawat dan memupuk cinta dengan lingkungan hidup adalah sikap permisif yang melihat bahwa segala risiko dan efek yang timbul dari perbuatan toksik manusia saat ini toh muncul di masa mendatang, bukan sekarang (hic).Â
Untuk itu, selagi belum mendapat efek, masih bisa berbuat lagi, lagi, dan lagi. Sampai segala kebutuhan betul-betuul terpenuhi. Padahal, kebutuhan dan tingkat kepuasan manusia tidak akan pernah sampai pada titik cukup dan puas.
Sikap demikian harus dikikis dan diubah dengan mindset baru. Bahwa, lingkungan hidup adalah bagian dari belahan jiwa manusia yang darinya segala kebutuhan didapat. Lingkungan hidup suatu waktu akan tua, sakit, dan tidak bisa memberi lagi pada manusia. Untuk itu, manusia perlu care.Â
Care dalam arti, manusia berani berkata: "Cukup!", "Hidup ekologis!", "Selamatkan bumi!", dan "Tolak pola hidup konsumtif/hedonis!".
Walau orang akan berpikir konyol tentang sikap ini, kita harus tetap semangat dan optimis. Hal ini adalah sungguh wajar, sebab tidak ada satu hal pun di dunia ini yang 100% diminati orang dan 100% ditolak (a.k.a ada pro dan kontra).
Untuk itu, rasa cinta pada lingkungan hidup sudah harus ditanamkan dan dijadikan way of life sejak sekarang. Tidak ada kata terlambat untuk memulai dan melanjutkan.Â
Salam dan selamat hari Valentine.
Mari mencintai lingkungan hidup, bukan merusak.
Hindari hubungan toksik dengan lingkungan hidup.
Suaviter (AGPS).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H