Sama seperti menjaga relasi cinta dengan orang yang dicintai, harus ada perjuangan yang berkesinambungan. Demikian juga manusia dalam membangun relasi cinta dengan lingkungan hidup, harus ada perjuangan.
Di dalam perjuangan tersebut, tentu ada proses, evaluasi, dan pemurnian motivasi. Terjadi berkali-kali hingga menjadi satu habitus yang tentunya menjadi DNA/gen pengenal.
Tantangan terbesar manusia zaman ini dalam merawat dan memupuk cinta dengan lingkungan hidup adalah sikap permisif yang melihat bahwa segala risiko dan efek yang timbul dari perbuatan toksik manusia saat ini toh muncul di masa mendatang, bukan sekarang (hic).Â
Untuk itu, selagi belum mendapat efek, masih bisa berbuat lagi, lagi, dan lagi. Sampai segala kebutuhan betul-betuul terpenuhi. Padahal, kebutuhan dan tingkat kepuasan manusia tidak akan pernah sampai pada titik cukup dan puas.
Sikap demikian harus dikikis dan diubah dengan mindset baru. Bahwa, lingkungan hidup adalah bagian dari belahan jiwa manusia yang darinya segala kebutuhan didapat. Lingkungan hidup suatu waktu akan tua, sakit, dan tidak bisa memberi lagi pada manusia. Untuk itu, manusia perlu care.Â
Care dalam arti, manusia berani berkata: "Cukup!", "Hidup ekologis!", "Selamatkan bumi!", dan "Tolak pola hidup konsumtif/hedonis!".
Walau orang akan berpikir konyol tentang sikap ini, kita harus tetap semangat dan optimis. Hal ini adalah sungguh wajar, sebab tidak ada satu hal pun di dunia ini yang 100% diminati orang dan 100% ditolak (a.k.a ada pro dan kontra).
Untuk itu, rasa cinta pada lingkungan hidup sudah harus ditanamkan dan dijadikan way of life sejak sekarang. Tidak ada kata terlambat untuk memulai dan melanjutkan.Â
Salam dan selamat hari Valentine.
Mari mencintai lingkungan hidup, bukan merusak.
Hindari hubungan toksik dengan lingkungan hidup.