Mohon tunggu...
Suaviter
Suaviter Mohon Tunggu... Lainnya - Sedang dalam proses latihan menulis

Akun yang memuat refleksi, ide, dan opini sederhana. Terbiasa dengan ungkapan "sic fiat!"

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Medan Sulit pun Dilalui, Asal Penyuluhan tentang Kesehatan Sampai di Sana!

5 Februari 2022   23:03 Diperbarui: 22 Maret 2022   18:35 603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petugas kesehatan menyuntikkan vaksin Covid-19 kepada warga lansia di Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Selasa (22/6/2021). (KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG)

Mereka yang tinggal di daerah pelosok pun perlu diberikan penyuluhan tentang hidup sehat. Tidak peduli seberapa sulit medan perjalanan, selagi masih ada jalan setapak yang bisa dipijak kedua kaki, kami siap 'mengejar bola' asal mereka memiliki pemahaman dan kebiasaan tentang hidup sehat.

Sehat, merupakan hak setiap orang. Yang sehat pasti dapat melakukan banyak kegiatan fisik, karena tubuhnya tidak sedang menderita sakit. Sementara yang sakit akan sangat sulit dapat melakukan aktivitas fisik. Hanya bisa terduduk lemah, terbaring tak berdaya, atau malah melamun meratapi nasib.

Tidak peduli orang itu kaya atau miskin secara materi, terkenal atau tidak, terdidik atau tidak, memiliki jabatan atau manusia biasa, tinggal di kota atau pedalaman; kesehatan itu menjadi hak sekaligus kebutuhan primer.

Mereka juga memiliki hak untuk dapat mengakses informasi seputar dunia kesehatan. Agar, mereka dapat mengatasi penyakit/rasa sakit yang diderita dengan obat yang tepat; menjaga kebugaran fisik; memelihara kesehatan psikis; dan sebagainya.

Sementara itu, mereka yang bekerja di tempat atau bidang kesehatan perlu memberikan pelayanan yang bersahabat kepada orang yang berkonsultasi tentang kesehatan. 

Tim atau tenaga kesehatan juga harus dengan terbuka memberi informasi akurat tentang sakit, obat, dan penanggulangan yang cocok.

Selain itu, karena sudah menjadi janji atau sumpah, pelayanan dilakukan dengan sistem "menjemput bola". Artinya, tim kesehatan datang secara langsung untuk bertemu dan berkonsultasi dengan masyarakat awam di tempat mereka tinggal. Ini baru namanya cap main.

Kisah nyata

Apa yang hendak saya ceritakan ini merupakan satu kisah nyata, bukan fiksi atau pun imajinasi demi keperluan topik pilihan.

Saya memiliki seorang kenalan sekaligus teman yang bekerja sebagai perawat di salah satu poliklinik (selanjutnya klinik) di Kecamatan Parlilitan, Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara.

Dia seorang biarawati (suster Katolik dari keluarga fransiskanes). Sudah cukup lama ia mengabdi di klinik untuk menyambut umat Katolik dan masyarakat sekitar yang mau berobat atau berkonsultasi tentang kesehatan. Ditemani beberapa saudarinya (salah seorang ada suster yang menjadi dokter), suster itu stand by 24 jam (full timer) di klinik.

Sebelum pandemi Covid-19, cukup banyak umat dan masyarakat yang datang; mulai dari anak kecil hingga orang tua (Batak Toba: ompung-ompung). 

Pelayanan yang diberikan cukup memuaskan dan bersahabat. Obat-obat cukup lengkap. Peralatan ala kadarnya, karena memang klinik berada di tengah kampung.

Hanya saja, setelah badai pandemi menerpa, makin sedikit umat dan masyarakat yang datang untuk berobat. Ada beberapa alasan yang saya dengar dari suster tersebut.

Pertama, mereka takut nanti bertemu orang-orang yang tidak diketahui apakah bersih dari virus Covid-19 atau tidak. 

Kedua, mereka takut jika hanya karena pilek, batuk, atau demam biasa, mereka dinyatakan terinfeksi Covid-19. 

Ketiga, dengan tawaran obat-obat herbal di tengah pandemi, mereka lebih yakin khasiat obat berlaku umum untuk segala penyakit daripada konsultasi ke pelayan kesehatan.

Ilustrasi seorang tenaga kesehatan harus melalui jembatan untuk sampai di perkampungan masyarakat. Gambar diambil dari health.detik.com
Ilustrasi seorang tenaga kesehatan harus melalui jembatan untuk sampai di perkampungan masyarakat. Gambar diambil dari health.detik.com

Mendengar berita tersebut, suster dan teman-temannya mencoba membuat pendekatan dan sosialisasi yang tepat. Agar, mereka tidak terpengaruh oleh hoaks tentang pelayanan kesehatan di tengah pandemi. Tetapi sebaliknya, mereka dengan sadar mau datang ke klinik untuk berkonsultasi dan berobat.

Kunjungan ke Bungus

Selain menanti di klinik, para suster ternyata melakukan penyuluhan tentang kesehatan ke satu stasi (gereja kecil yang berada dalam satu paroki Gereja Katolik) terpencil di paroki Parlilitan jika ada pelayanan pastoral oleh pastor paroki atau rekan ke stasi tersebut. Stasi itu bernama Bungus.

Mereka mengadakan perjalanan ke Bungus biasanya pada Sabtu pagi hingga Minggu malam.

Stasi ini terletak cukup jauh dari Paroki Parlilitan. Jalan untuk dapat sampai ke stasi itu pun tidak mulus. Memang, ada jalanan yang beraspal. Itu pun hanya perjalanan satu jam. Setelah itu, mereka harus menitipkan mobil atau sepeda motor di rumah umat yang ada di stasi terdekat.

Dari situ, mereka harus berjalan kaki. Mereka selalu mengusahakan agar tiba di stasi terdekat sekitar pukul 09.00 WIB dan kemudian berjalan kaki. Dengan alasan, agar mereka bisa menempuh jarak yang cukup jauh, sebelum terik matahari. 

Oh ya. Saya cukup terkejut mendengar, bahwa mereka biasanya berangkat pukul 09.00 WIB dan tiba di Bungus pada sekitar 16.00 WIB (jika perjalanan lancar dan minim istirahat). Wah, sungguh luar biasa mereka berjalan kaki selama lebih kurang tujuh (7) jam. 

Mereka harus melalui medan yang tidak mudah di tengah hutan. Ada jalan yang licin, datar, tertutup oleh dedaunan, terjal, curam, dan berbahaya. Ada pula jembatan, sungai, dan jalan tempat pacet bersarang. Maka, mereka sungguh sangat berhati-hati.

Biasanya, mereka berangkat bersama dengan pastor, frater, beberapa orang muda, dan seorang penuntun jalan yang berasal dari stasi tetangga dan dia sudah paham betul rute perjalanan ke Bungus.

Membawa obat dan penyuluhan

Beban yang mereka bawa pun cukup banyak. Selain membawa jubah dan pakaian ganti, mereka membawa persediaan obat seperti paracetamol, sakit perut, flu, batuk, vitamin, dan jenis lainnya. 

Menariknya, menurut penuturan suster, akan ada laki-laki yang siap membantu membawa persediaan obat. Tidak tega mereka membiarkan suster yang membawanya di tengah medan yang sulit.

Ketika setengah perjalanan sudah dilalui, sekitar jam 1 siang, mereka akan berteduh sejenak di satu kedai tengah hutan. Kedai itu bernama kedai kejujuran. Kedai ini didirikan oleh seorang mantan voorhanger (pemimpin umat di stasi setempat). Kedai ini tidak dijaga, tidak dikunci, dan tidak memakai CCTV.

Di kedai tersebut ada air minum, mi instan, teh, kopi, gula, dan snack. Bapak voorhanger dengan kesadaran yang sungguh mendirikannya sebagai tempat istirahat sejenak bagi mereka yang mau datang ke Bungus atau sebaliknya, umat Bungus yang mau bepergian ke luar.

Sudah puluhan tahun kedai itu berdiri dan hingga kini masih eksis. Kedai kejujuran di tengah belantara hutan.

Setelah istirahat, mereka melanjutkan perjalanan hingga tiba di perkampungan setempat: Bungus. Mereka butuh istirahat lagi untuk sekitar satu hingga satu setengah jam.

Lalu, mulai sore hingga malam para suster akan mengumpulkan umat setempat untuk mengadakan penyuluhan tentang kesehatan. Mereka juga akan membagi obat-obat kepada setiap masyarakat. 

Jika ada umat yang kebetulan sakit pada saat kunjungan, para suster akan memberikan pengobatan sekaligus mengunjungi rumah mereka.

Namun, kesehatan umat yang ada di sana masih baik. Karena, tempat mereka tinggal masih natural, bersih, dan bebas dari polusi. Makanan sehari-hari mereka masih sungguh alami. Mereka juga lebih senang memilih membuat ramuan obat-obat alami yang bahannya ada di hutan.

Pada hari Minggu, setelah diadakan Misa, para suster akan mengunjungi rumah-rumah umat yang belum sempat dikunjungi pada Sabtu malam. Mereka menyapa dan bertanya tentang kesehatan keluarga. 

Setelah itu, karena di sana ada sekolah yang dibuat dari tanah liat, para suster dibantu frater dan orang muda akan mengusahakan agar diadakan penyuluhan tentang pendidikan sampai sore hari.

Itulah kegiatan yang mereka lakukan sekaligus memberikan penyuluhan tentang kesehatan, menyapa umat, dan sekaligus memberikan penyuluhan tentang pendidikan.

Perasaan mereka

Pertama, saya sangat kagum, tersentuh, dan salut pada perjuangan dan pelayanan mereka hingga ke pelosok bahkan ke tengah hutan untuk menyapa dan memberikan pelayanan kesehatan kepada umat yang ada di Bungus. Perasaan tersebut dengan rendah hati, saya sampaikan kepada teman saya, suster itu.

Namun, saya juga ingin mengetahui apa dan bagaimana perasaan sekaligus pengalaman mereka dengan pelayanan yang telah mereka lakukan. Saya tanyakan itu kepadanya.

Dia menjawab bahwa, pertama pelayanan yang dilakukan itu belum ada apa-apanya dibanding dengan pelayanan tenaga kesehatan ke daerah yang lebih terpencil lagi. "Bisa juga betul" menurut saya.

Kedua, pelayanan dan penyuluhan itu sudah menjadi bagian dari tugas baik sebagai seorang suster, perawat, dan tenaga kesehatan. Bahkan, bisa dikatakan pelayanan itu menjadi bagian dari kaul hidup biara dan janji sebagai tenaga kesehatan.

Dengan kata lain dan kandungan makna religius dengan pelayanan itu, mereka ingin meniru teladan Yesus Kristus yang berkeliling menjumpai dan menyembuhkan orang-orang sakit yang sungguh butuh diobati dengan segera.

Ketiga, selagi masih ada jalan yang bisa dilalui oleh telapak kaki, dia akan siap menjumpai umat atau masyarakat yang butuh pelayanan kesehatan. Medan sulit pun akan dilalui, asalkan mereka punya pemahaman dan kebiasaan tentang hidup sehat.

Keempat, mereka yang hidup di pelosok juga perlu mendapat pencerahan insight tentang tenaga medis dan obat-obat yang diolah dan diuji secara klinis. Agar, kelak ketika berobat ke luar perkampungan mereka tidak pasrah-pasrah saja.

Kelima, sistem penyuluhan sekarang ini bisa dilakukan dengan sistem "kejar bola". Di sinilah terdapat kebahagiaan dari pelayanan itu. Tidak menunggu orang datang, tetapi mengejar.

Selanjutnya, selain melakukan pelayanan medis, dia merasa kunjungan seperti itu bagian dari back to nature untuk merasakan kesegaran, keindahan, dan kekuatan alamiah dari alam.

Serentak, tumbuh pula rasa tremendum et fascinosum (rasa menggetarkan dan sekaligus mengagumkan) terhadap Tuhan Sang Pencipta alam semesta.

Dia pun bersaksi bahwa hal itu menjadi wisata alam yang jauh lebih menyentuh dan memberi kesegaran batin. 

Wah, sungguh luar biasa saya rasa. Perjuangan itu tidak tanggung-tanggung. Walau tentatif, tapi pelayanan yang mereka berikan cukup kompleks.

---

Maka, saya ingin menyampaikan rasa salut kepada para petugas kesehatan yang sungguh ingin melayani hingga ke pelosok untuk bertemu dan berdialog dengan para pasien.

Saya kagum kepada dokter yang bersedia dengan hati penuh sukacita ditugaskan di pelosok atau perkampungan. Umat atau masyarakat akan mengukir nama kalian. 

Mereka tentu akan membawa kalian dalam untaian doa-doa. Mereka juga pasti mendoakan kalian agar tetap sehat dan banyak orang sehat lewat sentuhan tangan, sapaan hangat, senyum bersaudara, dan terlebih ketulusan hati kalian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun