"Dengan menjaga ritme dan pola makan kita, akan sungguh membantu jantung lebih sehat dan kuat"
Ketika membaca topil (topik pilihan) ini, saya teringat kembali akan dua ungkapan yang kurang tepat, tetapi pernah saya yakini memiliki nilai kebenaran. Ungkapan itu ada dalam bahasa Batak Toba.
Ungkapan pertama adalah"Godang-godang ma allangi, binsan poso dope ho!". Kurang lebih artinya adalah "Banyak-banyaklah kamu makan, selagi kamu masih muda!"
Kemudian, ungkapan satu lagi adalah "Pantang na i do na gabe ubat!". Lebih kurang artinya adalah "Makanan yang dilarang untuk dimakan itu sebenarnya yang akan menjadi obat bagi penyakit (yang sedang diderita)!"
Efek dari meyakini ungkapan pertama adalah saya banyak makan. Nasi, lauk, sayur, dan buah-buahan saya makan sampai habis, tak ada yang terbuang kecuali tulang-belulang dari lauk. Sebab, saya penganut paham tidak boleh menyisakan dan membuang makanan barang sebutir nasi.
Sementara itu, efek dari meyakini ungkapan kedua adalah saya tetap memakan makanan yang dilarang oleh tim kesehatan.Â
Pengendalian diri kurang, karena kerabat pun selalu menggoda saya dengan ungkapan tadi. Memang, terkadang hal tersebut mujarab, tetapi kadang gagal - malah sakit makin parah.
Kenali tubuh
Efek terakhir yang saya rasakan dan memiliki dampak yang kurang baik terhadap tubuh adalah berat badan naik, lemak di lingkaran perut makin besar, pipi makin tembam, pergerakan tubuh menjadi makin terbatas. Dengan kata lain, saya mengalami obesitas.
Tentu keadaan obesitas tidak asyik. Banyak kendala yang terjadi jika tubuh memiliki bentuk dan berat yang berlebihan: lutut tak sanggup menopang berat badan, perut buncit, analisis menjadi kurang tajam, sering mengantuk, malas, dan indera pengecap ingin makan terus, sesak saat bernafas, dan ada rasa nyeri di jantung.
Praktisnya, malah penyakit yang datang ketika self control terhadap ritme dan pola makan yang tidak teratur.Â
Memang, terkadang muncul rasa iri kepada teman yang memiliki ritme dan pola makan tinggi tetapi tidak mengalami peningkatan berat badan. Artinya, tubuhnya bisa tetap normal, berat badannya tetap standar, dan perutnya tidak buncit.
Sementara saya, makan sedikit saja - walau sudah dengan pola dan jenis diet yang cukup ketat - tubuh sudah melar dan bengkak. Kata orang kayak pemeran film Boboho. Leher pun tidak kelihatan. He he he.
Yah, meski demikian, setelah mengalami pertobatan serius karena cinta pada si jantung, saya kembali pertama sekali ingin mengenal kebutuhan tubuh, bukan kebutuhan mata.
Tubuh akan memberikan peringatan kepada saraf kontrol agar berhenti makan ketika perut sudah terisi. Sementara mata, tidak. Selagi masih bisa dilihat, semua makanan dan atau minuman ingin dinikmati sekaligus tanpa tahu berkata cukup.
Hal ini menjadi alarm keras bagi saya untuk merubah mindset atas dua ungkapan yang kurang pas di atas. Saya ingin tubuh sehat dan terlebih jantung fit. Selain itu, saya ingin agar bisa bergerak dan beraktivitas dengan lincah, giat, dan tanpa beban berat.
Kontrol diri penentunya
Tubuh bisa menjadi sehat dan bugar, tanpa obesitas karena adanya kontrol diri. Bukan pertama-tama jenis dan pola diet yang ketat.
Saya pernah membaca satu biografi singkat dari seorang biarawan yang memiliki pola hidup yang sehat, terutama dalam makanan.
Pada dasarnya, dia tetap memakan makanan yang berminyak dan daging. Hanya saja dia tahu mengatur porsi agar tidak berlebihan mengonsumsi jenis makanan tadi.
Walau enak, dia akan berkata cukup agar tidak tergoda lebih lanjut. Untuk itu, baik menarik atau tidak menu makanan, ia akan mencukupkan porsi makannya dengan hanya satu piring. Demikian berlanjut hingga usia tuanya.
Hal ini perlahan-lahan saya tiru: entah menarik atau tidak menu makanan, saya akan mencukupkan porsi makanan dengan hanya satu piring. Selebihnya saya akan mengonsumsi buah-buahan.
Berlatih puasa
Hal kemudian yang saya lakukan untuk keluar dari obesitas yang tak karuan adalah berpuasa.Â
Memang, akan ada masanya sebagai bagian dari religiusitas saya harus berpuasa selama 40 hari. Namun, di luar itu pun saya tetap berpuasa.
Dalam seminggu, saya akan berpuasa dengan mengurangi porsi makanan dari satu piring menjadi tiga per empat.Â
Hal ini saya lakukan pada Senin malam, Kamis malam, dan Sabtu malam. Sebagai pelengkap puasa, saya selalu minum air yang hangat sebelum dan setelah makan.
Setia pada jadwal
Ini adalah penting. Membuat jadwal rutin dan normal untuk makan tiap bagian hari.Â
Saya sarapan pada pukul 07.00 WIB, makan siang pada 12.30 WIB, dan makan malam pukul 19.15 WIB.
Saya akan setia pada jadwal yang telah saya buat. Ini adalah ritme makan saya dan cukup membantu untuk mengurangi berat badan yang berlebihan. Tentu ritme ini harus sejalan dengan ukuran porsi makan yang sudah saya tentukan di atas.
Miliki paham baru
Dua paham di atas sudah saya geser. [Paham] yang pertama, jika sejak saat usia muda saya banyak makan tanpa tahu kontrol dan batasan diri, justru saya sedang membuat di badan saya bank penyakit. Saya sedang menimbun potensi-potensi penyakit yang suatu waktu akan kumat dan menyiksa diri.
[Paham] yang kedua, jika saya mengonsumsi makanan yang dilarang oleh tim kesehatan, sama saja saya tengah memicu penyakit itu untuk kumat. Atau setidaknya, saya memicu penyakit lain yang berhubungan dengan penyakit yang tengah diderita untuk kumat. Sikap demikian adalah konyol.
Oleh sebab itu, saya saat ini memiliki paham baru, yakni "Lebih baik mengonsumsi suatu jenis makanan sedikit saja tetapi saya bisa menikmatinya hingga tua, daripada mengomsumsinya dalam ritme dan porsi besar tetapi suatu waktu saya dilarang untuk mengonsumsinya".
Maka, ketika ada jenis makanan yang begitu menggoda rasa, saya akan menikmatinya tapi sekadar untuk mencicipi saja. Saya ingin betul-betul menjaga kesehatan si jantung saya.
Sayangi jantung
Penyakit jantung adalah jenis penyakit menakutkan dan sekaligus mematikan karena langsung menyerang alat vital (kehidupan). Kapan saja dan dimana saja.Â
Untuk itu, amat penting untuk mengontrol ritme dan pola makanan, agar tidak terjadi penimbunan lemak di pembuluh darah, jantung mengalami disfungsi, dan tubuh betul-betul fit dan bugar.
Untuk itu, saya tetap merawat si jantung bukan hanya lewat pola makan, tetapi lewat olahraga yang rutin dan dalam porsi yang tidak memaksa, karena justru akan sangat berbahaya bagi jantung (collapse).Â
Paham baru bahwa olahraga bukan untuk sakit, tetapi untuk sehat. Maka, saya pun harus menahan diri agar tidak mencederai tubuh sendiri.
Dan, satu lagi saya melakukan meditasi untuk merasakan detak dan kesehatan jantung, stamina tubuh, dan terlebih mengontrol diri dari godaan-godaan yang bisa membuat saya obesitas kembali. Sungguh, meditasi ada manfaatnya. Dalam sehari, saya meditasi minimal 45 menit, tetapi dengan sungguh-sungguh.
Oleh sebab itu, saya pun mengajak teman-teman yang budiman untuk tetap kontrol diri dan menyayangi kehidupan ini.Â
Janganlah kiranya kehidupan yang berharga ini cepat rusak dan putus hanya karena kita kurang bisa mengatur ritme dan pola hidup yang tidak sehat.Â
Mari jaga diri dari obesitas dan menyayangi si jantung Anda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H