Sejak dini, anak harus diajari untuk menghargai nilai-nilai mulia yang tersimpan dalam makanan, agar mereka tidak dengan rasa tak bersalah membuangnya.
Ada dua fenomena (bagi saya) yang lazim dihadapi orang tua ketika hendak memberi anaknya makan. Fenomena pertama adalah anak (-anak) sangat sulit untuk diminta makan.Â
Bayangkan, diminta makan saja sulit; tinggal memakan, tanpa harus memasak atau membeli atau menghidangkan! Si anak harus diberi iming-iming lebih dahulu, entah berupa uang, izin bermain handphone, diajak jalan-jalan, atau yang lainnya.
Ketika si anak merasa yakin bahwa iming-iming yang menggiurkan baginya akan terwujud, barulah ia mau makan. Bisa pula terjadi bahwa makanan yang diberikan padanya tidak dihabiskan, masih tersisa dalam jumlah yang banyak.
Fenomena kedua adalah anak dengan mudah makan, baik sesuai jadwal maupun tidak, tanpa harus disuruh. Ia makan dengan lahap, lalu tambah.
Orang tua akan merasa senang dengan sikap anaknya. Akan tetapi, orang tua harus tetap teliti: apakah makanan yang sedang dimakan akan habis seluruhnya atau tetap ada yang tersisa, kecuali tulang-belulang lauk atau bungkus makanan.
Menghargai makanan
Menghabiskan makanan, tanpa menyisakan sedikit pun bagian yang dapat dimakan dari makanan dapat dikatakan sebagai satu tindakan luhur, terpuji, dan harus dipertahankan.
Dalam mengolah satu bentuk atau jenis makanan ibu atau juru masak membutuhkan satu proses. Ia lebih dahulu menimbang kuantitas, kualitas, dan jenis masakan yang hendak dimasak.
Agar, setelah dimasak dan dihidang, makanan dapat dinikmati dengan penuh suka cita dan rasa puas. Begitu biasanya konsep yang ada di benak seorang juru masak.
Kalau memesan makanan pun di warung, kedai, kafe, atau restoran biasanya kepada kita diberikan daftar menu makanan. Kita tinggal pilih menu mana yang menarik, ingin dicoba, atau menu kesukaan. Si juru masak akan mengolahnya dengan segera.Â
Atau kalau yang dipesan adalah makanan yang sudah dikemas, pihak yang bertugas akan mengantar makanan kepada kita atau ke meja tempat kita duduk. Kita tinggal menikmati makanan tersebut.
Salah satu tanggung jawab moral kita adalah menghabiskan makanan yang telah diolah. Dengan menghabiskan makanan tersebut, kita sebenarnya memberikan penghargaan terhadap makanan dan sekaligus kepada pihak yang memproduksi.
Bukan dengan membayar kita menghargai. Memang, adalah kewajiban kita untuk membayar makanan yang dipesan. Tapi, bukan itu yang saya maksud dengan harga makanan.Â
Tidak menyisakan, membuang, atau tidak mengabaikan, atau bahkan menghina makanan adalah cara menghormati elemen-elemen bumi yang diambil untuk membentuk makanan tersebut. Kita juga tentu akan menghargai waktu dan tenaga juru masak yang mengolahnya.
Trend yang tak layak ditiru
Bukan hanya kali ini terjadi seseorang memesan makanan namun tidak menghabiskannya. Sudah lama ada dan cukup marak terjadi, terutama di tempat kaum muda nongkrong bersama teman sejawat.
Beberapa kali saya menyaksikan ada anak muda yang memesan makanan namun tidak mampu menghabiskannya. Saya cukup sedih melihat makanan itu disisakan. Apakah keliru jika saya protes dalam hati, "Dasar, orang yang tak bertanggung jawab!".
Jujur, saya tidak sanggup melihat makanan itu terbuang begitu saja. Bahkan, bisa jadi makanan tersisa setengah dari porsi yang dipesan.
Untuk itu, jika saya mengajak atau diajak oleh teman menikmati rasa makanan di luar rumah, saya lebih dahulu memberi syarat bahwa kami harus bertanggung jawab atas pesanan; entah makanan atau minuman. Harus habis, tak boleh disisakan atau dibuang.
Jangan malu
Mungkin ada yang merasa malu jika di suatu tempat makan publik menghabiskan makanan dan atau minuman yang dipesannya. Barangkali ia akan berpikiran, "Ahhh, nanti orang-orang itu menduga aku rakus dan tak pernah diberi makan!".
Saya akan berkata, "Buang isi pikiran yang demikian! Jangan malu, tetapi bertanggung jawablah!". Jangan biarkan pikiran sendiri menguasai, namun kuasai pikiran. Belum tentu orang lain berpikiran demikian. Bisa jadi isi pikiran demikian muncul sebagai kekeliruan.
Kepada teman, anak didik, mahasiswa yang saya ajari, dan para senior, saya selalu menekankan hal tersebut. Bertanggung jawablah untuk menghabiskan makanan yang mereka masak atau pesan atau diberikan kepada mereka. Itu adalah tanggung jawab moral yang tak bisa dilupakan.
Tidak melulu soal rasa
Perkara makan, tidak melulu soal tepat di lidah. Artinya, rasa makanan itu sungguh cocok untuk diri sendiri.
Ada kalanya, makanan yang dimasak, disajikan, dipesan, atau diberikan tidak sesuai dengan selera lidah. Akan tetapi, kita tetap bertanggung jawab untuk memakan dan menghabiskannya. Kalau sejak awal, dirasa makanan tidak akan habis, silakan berbagi atau menyisikan untuk orang lain sebelum memakannya.
Walau sebenarnya, kita harus melihat tujuan dasar makan yakni memenuhi kebutuhan jasmani agar tahan/mampu/sanggup beraktivitas/bergerak/hidup, bukan terutama untuk memenuhi selera lidah, mana yang enak mana yang tidak. Karena, terkadang soal rasa tidak dapat diperdebatkan (de gustibus non disputandum est). Bisa saja bagi saya satu makanan enak, tetapi bagi yang lain tidak dan begitu sebaliknya.
Di-habitus-kan
Sejak kecil, edukasi kedua orang tua untuk menghargai makanan sudah menjadi suatu kurikulum dalam keluarga. Saya dan saudara-i tidak akan pernah lupakan didikan keras, tegas, dan disiplin orang untuk menghargai makanan.
Ketika nasi, lauk, sayur, dan camilan sudah dimasak dan disajikan, kami bertanggung jawab menghabiskan semuanya. Dengan catatan, menghabiskan apa yang telah kami buat ke atas piring.
Artinya, ambil makanan yang secukupnya sesuai dengan kebutuhan dan daya tampung perut. Jangan mengambil banyak-banyak, tetapi kami tidak bertanggung jawab menghabiskannya.
Untuk itu, bagi saya nilai penguasaan diri ada di dalam didikan mereka. Kami diajari agar nafsu mata tidak lebih besar dari kebutuhan perut. Bisa saja, perut memberi isyarat bahwa sudah cukup, tetapi mata mengatakan: ayo, tambah lagi karena makanan itu enak. Jangan beri ampun dan jangan beri untuk yang lain.
Selanjutnya, saya mendapat nilai bahwa sangat penting menghargai saudara-i yang sulit mendapat makanan. Tidak sedikit orang yang ingin mendapat sesuap makanan, tetapi tidak bisa. Begitu hina mereka, apabila makanan sendiri yang ada di depan kita tidak kita habiskan.Â
Untuk menyentuh hati kami akan nilai ini, orang tua akan menunjukkan video-video yang inspiratif bagaimana banyak orang yang lebih sederhana mengais tempat sampah, memakan makanan basi/busuk dari suatu perusahaan, atau memakan dedaunan untuk bertahan hidup.
Nilai berikutnya adalah menyampaikan luapan rasa syukur pada Sang Pencipta. Ia sungguh baik hati dengan memberi kesempatan keluarga kami menikmati makanan dan itu patut disyukuri. Lewat alam semesta dan elemen-elemen di dalamnya, orang tua khususnya ibu mengolah makanan yang sehat dan bergizi untuk kami nikmati.Â
Jika makanan tidak dihabiskan, maka sama halnya dengan mengambil unsur-unsur alam semesta bukan untuk kebutuhan hidup, melainkan kepuasan dan foya-foya. Karena, unsur tersebut diambil untuk dibuang.
Nilai terakhir adalah teori perputaran roda pedati. Saat ini, saya masih dapat menikmati makanan tanpa merasa kesulitan. Akan tetapi, di masa mendatang saya tidak tahu apakah masih bisa menikmatinya. Jika sepele terhadap makanan, saya yakin makanan itu pun suatu saat akan menjauh dari saya.
Bagi saya edukasi seperti ini sudah menjadi satu habitus yang tidak sekali jadi, tetapi berlangsung dalam proses yang panjang. Awalnya, saya tidak menanggapi didikan orang tua dengan serius.
Namun, seiring berjalannya waktu dan perkembangan jasmani, intelektual, dan sosial-religius-moral, didikan tersebut menjadi pegangan bagi saya untuk tidak merendahkan makanan apa saja yang disajikan atau saya pesan sendiri.
Saya tidak malu menghabiskannya, malahan saya malu jika membuang-buang makanan begitu saja. Batin saya menjerit.
***
Edukasi semacam ini, tampaknya perlu disebarluaskan. Mengingat - bagi saya - fenomena atau trend membuang-buang makanan dianggap hal wajar dengan berbagai alasan, yang sebenarnya semua terarah kepada kesadaran yang tidak kuat akan nilai luhur makanan.
Terutama, di masa-masa sulit seperti ini (pandemi Covid-19), untuk mencari uang memenuhi kebutuhan perut saja sudah sulit. Apalagi jika menyia-nyiakan makanan yang ada begitu saja, tanpa perasaan bersalah.
Siapa saja bisa menjadi model bagi anak-anak (muda) dewasa ini agar sense of morality terutama dalam menghargai nilai makanan penyokong kehidupan tumbuh kuat dan mengakar dalam dirinya. Hingga, pada akhirnya cita rasa demikian menjadi habitus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H