Nilai terakhir adalah teori perputaran roda pedati. Saat ini, saya masih dapat menikmati makanan tanpa merasa kesulitan. Akan tetapi, di masa mendatang saya tidak tahu apakah masih bisa menikmatinya. Jika sepele terhadap makanan, saya yakin makanan itu pun suatu saat akan menjauh dari saya.
Bagi saya edukasi seperti ini sudah menjadi satu habitus yang tidak sekali jadi, tetapi berlangsung dalam proses yang panjang. Awalnya, saya tidak menanggapi didikan orang tua dengan serius.
Namun, seiring berjalannya waktu dan perkembangan jasmani, intelektual, dan sosial-religius-moral, didikan tersebut menjadi pegangan bagi saya untuk tidak merendahkan makanan apa saja yang disajikan atau saya pesan sendiri.
Saya tidak malu menghabiskannya, malahan saya malu jika membuang-buang makanan begitu saja. Batin saya menjerit.
***
Edukasi semacam ini, tampaknya perlu disebarluaskan. Mengingat - bagi saya - fenomena atau trend membuang-buang makanan dianggap hal wajar dengan berbagai alasan, yang sebenarnya semua terarah kepada kesadaran yang tidak kuat akan nilai luhur makanan.
Terutama, di masa-masa sulit seperti ini (pandemi Covid-19), untuk mencari uang memenuhi kebutuhan perut saja sudah sulit. Apalagi jika menyia-nyiakan makanan yang ada begitu saja, tanpa perasaan bersalah.
Siapa saja bisa menjadi model bagi anak-anak (muda) dewasa ini agar sense of morality terutama dalam menghargai nilai makanan penyokong kehidupan tumbuh kuat dan mengakar dalam dirinya. Hingga, pada akhirnya cita rasa demikian menjadi habitus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H