Sementara untuk si korban, ada siksaan yang tentu akan diingatnya seumur hidup. Siksaan itu dapat berupa:
Harga diri yang hilang
Bagi perempuan, keperawanan merupakan mahkota yang amat berharga, sekaligus entitas harga dirinya. Jika hal ini direnggut secara tidak normal dan resmi, ia akan merasa bahwa harga dirinya sudah tidak ada lagi. Si perempuan akan tidak percaya diri, malu, dan merasa tabu untuk bergabung dengan keluarga dan masyarakat setempat.
Tekanan psikologis
Kekerasan seksual dapat menyebabkan korban mengalami gangguan psikologi yang berbahaya sulit untuk disembuhkan. Ia akan berada pada zona trauma setelah penyelewengan seksual (sexual abuse), sulit percaya dengan orang lain, depresi, dan bahkan ingin bunuh diri.
Masa depan hilang
Cenderung korban kekerasan seksual melihat bahwa masa depannya sudah rusak dan dirusaki. Apalagi, bila kekerasan seksual terjadi pada kaum pelajar dan mahasiswa.
Kelompok ini biasanya sudah merancang masa depan yang indah. Eh... tau-tau, semua rusak. Harapan pupus, rasa percaya diri sirna, dan akhirnya putus asa. "Untuk apa bermimpi lagi, toh semuanya sudah rusak!" demikian ungkapan kalimat yang lahir dari batin yang sungguh tersiksa.
Menjadi pelaku dan penyimpangan seksual
Perempuan yang mendapat kekerasan seksual berpotensial menjadi pelaku untuk yang lain. Ada rasa adiktif terhadap kegiatan seksual dan ia ingin itu tersalurkan.Â
Maka, kepada sesama jenis - asal gejolak seksualnya terpenuhi - akan ia lakukan. Terjadilah kasus lesbian. Kalau ini tidak diobati, maka kasus demi kasus akan bertambah. Generasi muda bangsa, aliran agama, dan masyarakat akan rusak.
Siksaan demi siksaan di atas bisa sangat membahayakan bagi diri si korban dan terutama orang lain yang berpotensial menjadi korban. Untuk itu, perlu dilakukan pendekataan, terapi, dan edukasi yang tepat tentang seksualitas.
Edukasi seksualitas
Barangkali, selama ini di Indonesia, edukasi seksualitas masih dianggap tabu untuk diajarkan sejak dini kepada anak.Â
Terutama, di zaman yang makin bebas ini. Keluarga, pihak sekolah, dan lembaga agama menghadapi distorsi kebudayaan, dimana budaya luar semuanya dapat dipraktikkan di lingkungan sekitarnya tanpa penyaringan, termasuk pergaulan bebas dan hubungan seks yang bebas.
Jika pendampingan dan edukasi tidak dimulai dari sekarang, kasus akan makin marak terjadi. Jangan sampai kekerasan demikian makin marak terjadi.