Mohon tunggu...
Suaviter
Suaviter Mohon Tunggu... Lainnya - Sedang dalam proses latihan menulis

Akun yang memuat refleksi, ide, dan opini sederhana. Terbiasa dengan ungkapan "sic fiat!"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kekerasan Seksual: Nikmatnya Singkat, Siksanya Kekal

11 Desember 2021   17:44 Diperbarui: 15 Desember 2021   11:09 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat ini, Indonesia tengah diguncang dengan mencuatnya berita tentang kekerasan seksual; satu dilakukan oleh seorang dosen dan satu lagi dilakukan oleh seorang pemuka agama.

Kita perlu berefleksi atas kejadian ini. Dimana dua kekerasan seksual ini dilakukan oleh seorang akademisi yang mengajarkan ilmu pengetahuan dan seorang pengajar hukum/dakwah/ajaran keagamaan. Kedua sosok tersebut seharusnya menjadi defender apa yang baik dan benar.

Akan tetapi, yang terjadi sebaliknya. Mereka justru memainkan peran utama sebagai pelaku kekerasan seksual. Betapa lagi, kaum awam di bidang dunia akademisi dan agama. Bisa saja terjerumus lebih jauh di dalam tindakan amoral tersebut.

Nikmat singkat

Ketika melakukan hubungan seksual (genital), tentu ada tingkat kepuasan atau kenikmatan yang diperoleh. Apalagi jika hubungan seksual terjadi di antara dua insan yang saling mencinta. Terlebih lagi, apabila hubungan yang terjalin sudah diikat secara resmi oleh agama, adat, dan sipil.

Akan tetapi, bagaimana jika hubungan seksual itu dilakukan dengan kekerasan atau paksaan?

Tetap ada kepuasan atau kenikmatan yang dirasakan. Hanya saja, yang merasakan kenikmatan itu satu pihak, yakni pelaku. 

Sementara korban dari tindakan kekerasan seksual hanya mendapat aibnya, sialnya, dan malunya. Terutama, jika si korban berasal dari kelompok yang lemah dan telah menggantungkan hidupnya kepada pelaku. 

Ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi, hanya pasrah dan berani menanggung akibat dari kejadian tersebut. Demikianlah yang terjadi pada dua kasus pelecehan/kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang dosen dan pemuka agama tadi.

Siksanya kekal

Akan tetapi, entah senikmat apa pun perbuatan maksiat dari si pelaku, tentu ada hukumannya. Bisa berupa hukuman secara sipil (dipenjara dan atau didenda) dan hukum dari ajaran moral-agama.

Tentu, setiap agama telah mengaturkan hukuman yang tepat - menurut pertimbangan moral dan agama - atas pelaku dan perbuatan maksiatnya. Orang tersebut akan menderita jiwanya di dunia akhir(at). Siksaan bersifat kekal, terutama bila perbuatan dilakukan secara sadar, tahu, mau, dan mampu, serta dilakukan berulang-ulang tanpa ada pertobatan yang keras.

Sementara untuk si korban, ada siksaan yang tentu akan diingatnya seumur hidup. Siksaan itu dapat berupa:

Harga diri yang hilang

Bagi perempuan, keperawanan merupakan mahkota yang amat berharga, sekaligus entitas harga dirinya. Jika hal ini direnggut secara tidak normal dan resmi, ia akan merasa bahwa harga dirinya sudah tidak ada lagi. Si perempuan akan tidak percaya diri, malu, dan merasa tabu untuk bergabung dengan keluarga dan masyarakat setempat.

Tekanan psikologis

Kekerasan seksual dapat menyebabkan korban mengalami gangguan psikologi yang berbahaya sulit untuk disembuhkan. Ia akan berada pada zona trauma setelah penyelewengan seksual (sexual abuse), sulit percaya dengan orang lain, depresi, dan bahkan ingin bunuh diri.

Masa depan hilang

Cenderung korban kekerasan seksual melihat bahwa masa depannya sudah rusak dan dirusaki. Apalagi, bila kekerasan seksual terjadi pada kaum pelajar dan mahasiswa.

Kelompok ini biasanya sudah merancang masa depan yang indah. Eh... tau-tau, semua rusak. Harapan pupus, rasa percaya diri sirna, dan akhirnya putus asa. "Untuk apa bermimpi lagi, toh semuanya sudah rusak!" demikian ungkapan kalimat yang lahir dari batin yang sungguh tersiksa.

Menjadi pelaku dan penyimpangan seksual

Perempuan yang mendapat kekerasan seksual berpotensial menjadi pelaku untuk yang lain. Ada rasa adiktif terhadap kegiatan seksual dan ia ingin itu tersalurkan. 

Maka, kepada sesama jenis - asal gejolak seksualnya terpenuhi - akan ia lakukan. Terjadilah kasus lesbian. Kalau ini tidak diobati, maka kasus demi kasus akan bertambah. Generasi muda bangsa, aliran agama, dan masyarakat akan rusak.

Siksaan demi siksaan di atas bisa sangat membahayakan bagi diri si korban dan terutama orang lain yang berpotensial menjadi korban. Untuk itu, perlu dilakukan pendekataan, terapi, dan edukasi yang tepat tentang seksualitas.

Edukasi seksualitas

Barangkali, selama ini di Indonesia, edukasi seksualitas masih dianggap tabu untuk diajarkan sejak dini kepada anak. 

Terutama, di zaman yang makin bebas ini. Keluarga, pihak sekolah, dan lembaga agama menghadapi distorsi kebudayaan, dimana budaya luar semuanya dapat dipraktikkan di lingkungan sekitarnya tanpa penyaringan, termasuk pergaulan bebas dan hubungan seks yang bebas.

Jika pendampingan dan edukasi tidak dimulai dari sekarang, kasus akan makin marak terjadi. Jangan sampai kekerasan demikian makin marak terjadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun