Perpaduan warna merah pada kain, dan emas pada tempat baring sang Pertiwi menambah kesan megah, ditambah dengan warna dingin di bajunya serta pada bunga-bunga di pangkuannya, membuat balance antara warna panas dan warna dingin, Â mengesankan sebuah kemakmuran dalam diri si Pertiwi . Â Perpaduan warna merah dan coklat pada opera, seperti api merah di tengah dan di samping kiri dari hamparan Pulau bertanah coklat menambah kesan kolot, Â dengan capaian sugesti rasa cemas di tambah dengan objek-objek yang semrawut tadi, terkesan sangat keos. Perpaduan warna dikemas secara apik di dalam pertimbangan komposisi yang selaras membuat lukisan ini tampak harmonis.
Komposisi penempatan dibagai menjadi tiga babak dan disusun simetris. Di depan dengan objek utama anak kecil atau si Pertiwi, di tengah dengan kekeosan pulau dan belakang adalah  perbandingan pulau yang kontras. Seniman menunjukkan kontradiktif-kontradiktif objek yang seimbang, pemilihan objek melalui sebuah pertimbangan panjang kemudian disaring oleh seniman untuk korelasi antara konteks karya dengan objek metafora visual yang ditampilkan.
Seniman menggambarkan sosok Pertiwi yang diperankan oleh seorang anak kecil yang terlihat enggan menyaksikan pertunjukan opera dengan posisi membelakangi opera itu dan menunjukkan ekspresi menangis, tak mampu menahan gejolak rasa sedih hingga mengeluarkan ari mata ketika melihat keosnya dunia dalam opera itu, dan tampak terluka pada tangan kanannya. Di tengah sebuah Busana indah melekat di tubuh mungilnya, bercorak bunga-bunga kecil berwarna-warni dikelilingi berbagai jenis bunga hingga menarik burung kolibri seakan bunga itu benar-benar menghasilkan madu, berbaring santai di depan tirai merah di atas singgah sana yang terbuat dari emas, di selimuti helaian kain merah, sehingga terlihat sangat elegan, dari semua itu yang seharusnya menyenangkan hati seorang anak.
Seniman menunjukan  sebab tangisan sang Pertiwi tadi ke dalam kisah drama di balik tirai merah. Drama dalam Opera ini mengisahkan keadaan yang sedang dialami saat ini oleh tempat yang senantiasa mengasuh seniman dari lahir tepatnya 23 Mei 1992, Negara Kepulauan Indonesia yang di cintainya. Seniman menghadirkan sebuah gambaran situasi-situasi yang irasional, diperankan oleh objek-objek metavoris untuk melakukan adegan penyampaian sebuah realita saat ini.
Bersetting di suatu pulau yang memiliki berbagai keadaan lingkungan yang semrawut dan miris, seperti aktifitas pabrik dan kebakaran hutan yang menghasilkan asap hitam hingga meneduhkan langit tanpa cahaya matahari dan mengeruhkan lautan, peperangan juga terjadi di atas tanah gersang itu, Â tanda tanda ini menunjukan sebuah penyebab rusaknya alam Indonesia akibat ulah manusia. Sangat berbanding terbalik dengan Pulau alam yang damai nan hijau yang berada tepat di seberangnya. Â Karena memang sangat jelas sekarang ini hanya sedikit kealamian yang masih dimiliki indonesia, dan itu jarang dijamah oleh rakyatnya.
Tampak kuda kurus yang memakan burung, bagaikan tak ada sehelai rumput pun yang iya temukan, yang seharusnya dia herbivor beralih menjadi omnivor hanya untuk bertahan hidup di pulau yang rusak itu. Cacing yang keluar dari tanah karena tanahnya tak segar lagi, bahkan peran cacing yang seharusnya menyuburkan tanah, ia bahkan memutuskan untuk meninggalkan tempat hidupnya, keluar dari sesuatu yang seharusnya jadi tanggung jawabnya. Ikan yang keluar dari air dan berenang tanpa air di udara, keruhnya air membuat ikan berpaling dari air dan berpindah melayang di udara. Itu semua adalah situasi yang irasional bak menggambarkan sebuah perubahan ekosistem akibat kerusakan alam yang di lakukan oleh manusia di pulau itu -- Indonesia.
Perubahan ekosistem alam juga berpengaruh terhadap kelangsungan hidup para hewan, seperti yang tertanda oleh adanya objek tupai yang mati di atas bekas tebangan pohon berisi daging. Demi menggemukan daging manusia, mereka menebang pohon yang merupakan habitat asli para tupai.
Kerusakan alam yang di lakukan manusia tidak hanya berdampak terhadap ekosistem alam saja, bahkan memusnahkan makhluk hidup lain yang ada di sekelilingnya, malah akan mengancam kehidupan sepesiasnya sendiri, dan bisa mengakibatkan sebuah kematian juga. Terlihat dari tiga metafor ini yang melambangkan kematian, yaitu poci yang mengalirkan / menumpahkan darah ke sebuah cangkir, peti mati, burung gagak. Dari berbagai cara kerusakan alam yang dilakukan manusia, mereka juga melakukan pengrusakan terhadap dirinya sendiri, Â jelas tersirat dalam peranan objek tengkorak manusia di bawah botol bir, botol berlogo spet (waru hitam) simbol racun.
Maha Besar Tuhan menciptakan sebuah keagungan sang Pertiwi atau negara Indonesia.  Di bawah kepemimpinan negara yang agung ini, seluruh kekayaan alam Indonesia yang di anugrahkan kepadanya, termasuk spesies flora dan fauna yang hidup dalam naungannya, seharusnya dikuasai erat dalam genggamanya. Namun kayanya alam yang melimpah ini, Indonesia gagal dalam mengolah sumber daya manusianya dengan meningkatkan kondisi moral mereka untuk senantiasa setia menjaga dan melestarikan alam Indonesia. Kegagalan ini mengakibatkan hal yang buruk, banyak sekali permasalahan perebutan kekuasaan sumber daya alam yang di lakukan oleh rakyatnya sendiri, bahkan dari dunia luar banyak juga yang tergiur akan kekayaan alam di atas pangkuan sang Pertiwi. Dengan seenaknya mereka melakukan segala cara hingga berdampak buruk bagi ekosistem dan mengganggu keseimbangan alam, hanya untuk memenuhi rasa ingin memiliki dan jiwa keserakahan -kekayaan materi- dengan alasan demi kemaslahatan hidup manusia itu sendiri. Oleh karena itu kesedihan pertiwi tak bisa terbendung, dari  tanggungjawab yang begitu besar untuk pemanfaatan berlimpahnya anugrah alam yang diberikan kepadanya, seolah dipikulnya seorang diri sehingga menjadi beban berat untuk sang Pertiwi.
Karya Bayu Adi Pujo Asmoro ini mengingatkan kembali di benak kita bahwasanya melihat realita di Indonesia memang banyak sekali permasalahan lingkungan yang terjadi akibat keserakahan manusia terhadap melimpahnya lahan di indonesia. Seperti contoh kasus yang terjadi berturut-turu di tahun-tahun sebelumnya, kebakaran hutan di Indonesia, tepatnya di hampir seluruh Provinsi Sumatra  Utara Indonesia.  Bencana alam akibat ulah manusia ini berdampak sangat serius terhadap lingkungan, dari pencemaran udara yang akhirnya akan berdampak pada aktifitas manusia di indonesia, dan juga menerima kerugian yang besar bukan hanya kerugian materi, namun juga kesehatan bahkan hidup manusia itu sendiri.
 Yang menjadi latar belakang kebakaran hutan adalah kesalahan kebijakan pemerintah  dan praktik manusia yang semena-mena tanpa pandang bulu seenaknya membuka lahan dengan cara membakar hutan karena lebih cepat, praktis, murah, dan juga bisa menyuburkan tanah, sehingga irit pupuk.