Mohon tunggu...
Baret Mega Lanang
Baret Mega Lanang Mohon Tunggu... Seniman - Penulis

Bagai Empu Prapanca yang menulis Negarakertagama

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menakar Pemimpin Ideal di Pesta Demokrasi 2024: Nasihat Al-Ghazali untuk Masa Depan Bangsa.

14 September 2024   03:02 Diperbarui: 14 September 2024   03:16 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : Pribadi 

BRT | JOMBANG - Pesta demokrasi tahun 2024 kini sudah di depan mata. Hiruk-pikuk masyarakat menyambut Pemilu semakin terasa di berbagai sudut negeri. Namun, ada satu pertanyaan penting yang harus kita renungkan bersama: sejauh mana kesadaran masyarakat dalam memilih pemimpin benar-benar berdasarkan pertimbangan matang, bukan sekadar memilih buta atau terjebak dalam demokrasi pengkultusan? Banyak di antara kita yang dimungkinkan masih memilih tanpa mempertimbangkan rekam jejak pasangan calon (Paslon), seolah bermain "kocokan dadu."

Padahal, seorang pemimpin adalah laksana naungan Tuhan di muka bumi. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Baihaqi, bahwa memilih seorang pemimpin tidak boleh dilakukan dengan sembarang. Al-Ghazali, seorang ulama besar, dalam karyanya yang berjudul *at-Tibrul-Masbuk fi Nasihatil-Muluk*, memberikan nasihat penting mengenai kriteria pemimpin yang ideal. Nasihat-nasihat ini menjadi relevan bagi kita dalam menentukan siapa yang layak memimpin negeri ini ke depan.

Tak sewenang-wenang

Salah satu kriteria utama yang diajarkan oleh Al-Ghazali dalam memilih pemimpin ideal adalah pemimpin yang tidak sewenang-wenang dan mampu mencegah ketidakadilan. Pemimpin yang baik tidak akan membiarkan kezaliman terjadi, baik yang dilakukan oleh dirinya sendiri maupun oleh bawahannya.

Kisah tentang Sayyidina Umar bin Khattab menjadi contoh nyata bagaimana pemimpin harus bertindak. Ketika menjabat sebagai Amirul Mukminin, Sayyidina Umar sering berkeliling di malam hari untuk melihat langsung kondisi rakyatnya. Dengan cara ini, ia bisa mengetahui apa saja yang masih perlu diperbaiki dari kebijakannya atau mungkin dari implementasi kebijakan yang kurang maksimal.

Sayyidina Umar bahkan pernah berkata, “Seandainya aku melihat seekor kambing yang hidup di antara langit dan bumi berada di dekat aliran sungai namun tidak gemuk dan berlemak, sungguh aku takut hal itu akan dimintakan pertanggungjawabanku di hari kiamat.” Ini menunjukkan betapa besarnya rasa tanggung jawab Umar dalam mengurus rakyatnya, bahkan hingga hal sekecil itu.

Pemimpin ideal tidak mudah emosi

Pemimpin yang ideal harus mampu mengendalikan emosinya, tidak mudah marah atau sombong. Menurut Al-Ghazali, kemarahan yang diwujudkan dalam bentuk hukuman atau tindakan keras lainnya merupakan bagian dari kesombongan.

Dalam sebuah hikayat yang diceritakan oleh Imam Ghazali, suatu hari Amirul Mukminin Al-Manshur memerintahkan hukuman mati terhadap seseorang. Namun, seorang ulama bernama Al-Fadl mengingatkannya dengan mengatakan, “Wahai Amirul Mukminin, sebelum engkau membunuhnya dengarkanlah aku! Imam Hasan Al-Bashri meriwayatkan bahwa di hari kiamat nanti, hanya orang yang pemaaf terhadap kesalahan orang lain yang akan memiliki tempat di sisi Allah.”

Mendengar nasihat ini, Al-Manshur pun mengurungkan niatnya dan memaafkan orang tersebut. Ini adalah pelajaran penting bahwa pemimpin yang baik adalah mereka yang mampu mengendalikan amarahnya dan memberikan kesempatan pada rakyatnya untuk memperbaiki kesalahan.

Pemimpin yang open minded

Keterbukaan pikiran adalah kualitas penting yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Al-Ghazali menekankan pentingnya pemimpin untuk tidak tertutup pada satu perspektif saja. "Ketika engkau menjadi pemangku kekuasaan, posisikanlah dirimu sebagai rakyat yang terdampak pada kebijakan yang kau buat!" pesan Al-Ghazali.

Kisah Nabi Daud As. menjadi contoh nyata dari hal ini. Nabi Daud sering menyamar dan berkeliling untuk bertanya kepada rakyatnya tentang kepemimpinannya. Suatu kali, seorang rakyatnya berkata bahwa Nabi Daud adalah hamba yang saleh, tetapi hidupnya bergantung pada baitul-mal (harta negara), bukan dari hasil kerja kerasnya sendiri.

Mendengar hal ini, Nabi Daud pun merasa tersentuh dan segera memohon kepada Tuhan untuk memberinya keahlian dalam bekerja. Tuhannya mengabulkan doa tersebut dan mengajarinya membuat baju zirah, yang kemudian menjadi sumber penghidupannya.

Tidak menganggap sepele keluh-kesah orang kecil

Seorang pemimpin yang baik tidak boleh mengabaikan keluh-kesah rakyat kecil. Kisah Umar bin Abdul Aziz memberikan pelajaran tentang betapa pentingnya mendengarkan rakyat, bahkan di saat pemimpin sedang lelah.

Suatu hari, Umar bin Abdul Aziz tengah beristirahat setelah seharian bekerja melayani rakyat. Namun, putranya datang dan mengingatkan, “Apa yang membuatmu merasa aman jika engkau mati sekarang, sementara di balik pintumu masih ada orang-orang yang menunggumu untuk mendapatkan haknya?” Mendengar hal itu, Umar segera bangkit dan kembali melayani rakyatnya.

Berusaha mencintai dan dicintai rakyat

Kriteria lain dari pemimpin ideal adalah mereka yang sungguh-sungguh berusaha untuk dicintai dan diridhai oleh rakyatnya. Walaupun dalam karya lainnya, *Ihya Ulumiddin*, Al-Ghazali menyebutkan bahwa “ridho manusia adalah puncak yang tak mungkin digapai,” namun tetap penting bagi seorang pemimpin untuk meraih kepercayaan mayoritas rakyat demi stabilitas pemerintahan.

Namun, Al-Ghazali juga memperingatkan bahwa seorang pemimpin tidak boleh menghalalkan segala cara untuk mendapatkan simpati rakyat, termasuk melakukan hal-hal yang menyalahi aturan negara dan agama yang diyakini. Seorang pemimpin harus tetap berpegang pada prinsip dan nilai moral yang benar.

Demikianlah, nasihat-nasihat Al-Ghazali memberikan kita panduan yang jelas dalam memilih pemimpin yang ideal. Pemimpin yang tak hanya bijak, tetapi juga berempati dan mampu menegakkan keadilan bagi seluruh rakyatnya. Mari kita manfaatkan pesta demokrasi ini dengan bijak, memilih pemimpin yang benar-benar layak, bukan sekadar berdasarkan popularitas atau janji manis semata. Sebab, masa depan negeri ini ada di tangan pemimpin yang kita pilih.(*)

Sebagai penulis yang masih terus belajar dan berproses, saya sangat terbuka terhadap masukan, kritik, maupun interupsi yang membangun. Semoga artikel ini bisa memberikan manfaat, meski saya menyadari masih banyak kekurangan di dalamnya. Saya berharap, pembaca yang budiman dapat memberikan pandangan atau saran agar tulisan-tulisan berikutnya bisa lebih baik lagi. Terima kasih atas waktu dan perhatian yang telah diberikan.

Penulis : Baret Mega Lanang 

Refrensi : Artikel Alfika Syafa dan Minanul Fuad, Santri,alumni PP Mamba’ul Ma’arif, Denanyar Jombang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun