Mohon tunggu...
Formas Juitan
Formas Juitan Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Ilmu Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menyoal Demonstrasi Mahasiswa: Krisis Identitas?

4 Januari 2012   07:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:21 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Seperti yang dipesan oleh Sutan Syahrir kepada Subadio Sastrosatomo di penjara Madiun (1963) bahwa penyelesaian revolusi Indonesia adalah di tangan kaum muda kita. Mereka adalah yang menentukan hari depan bangsa dan tanah air. Karena itu engkau jangan meremehkan mereka bimbinglah mereka ke jalan yang benar ialah jalan pembaharuan menuju masyarakat adil dan makmur tanpa penghisapan dan penindasan.

Namun perlu juga diketahui, kita harus belajar dari “cara belajar” para pemimpin pergerakan terutama pada periode pra-kemerdekaan, bahwa mereka tetap tekun belajar sendiri atau bersama-sama mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan sekaligus terus mendalami dan mempertajam pengertian terhadap realitas masalah masyarakatnya secara keseluruhan, yang kemudian melahirkan sikap dan tindakan yang tepat dan tegas disertai keteguhan watak yang menggairahkan masyarakat umum. Ketiga unsur ini merupakan komponen dari idealism, nasionalisme dan patriotism yang harus dimiliki oleh generasi muda.

Saya kira, apa yang dipesankan oleh Sutan Syahrir ini masih pantas untuk kita sematkan dalam relung hati sebagai generasi muda masa depan, yang memiliki kegelisahan akan nasib bangsa. Akan tidak berlebihan jika kiranya saya mengingat tahun-tahun gemilangnya para pemuda dahulu, generasi Soekarno dengan dunia yang penuh perjuangan merebut kemerdekaan di tangan para penjajah, generasi Soeharto dengan dunia yang terkoptasi oleh retorika pembangunan dan generasi reformasi dengan dunia yang menumbangkan sang diktator otoriter. Namun generasi demokrasi saat ini sepatutnya lebih baik dari generasi sebelumnya.

Beberapa pekan lalu, sejumlah mahasiswa yang mengaku sebagai kaum aktivis melakukan protes besar-besar di depan sebuah kampus di Jakarta Timur. Isu yang diangkat pun adalah menurunkan RI1 dan RI2 yang tak lain SBY-Boediono. Mereka menuntut SBY-Boediono karena dinilai gagal dalam menjalankan roda pemerintahan dan maraknya kasus korupsi yang tak kunjung diselesaikan.

Dalam semangat anti korupsi yang pekat, kaum aktivis yang tergabung dalam kelompok anti pemerintah korup ini dengan retorika dan dramatisasi menyuarakan hujatan kepada SBY-Boediono. Mereka menyerukan segala kesalahan dan penyelewengan yang dilakukan oleh pemerintah dan merasa mereka adalah orang yang paling bersih dan paling peduli dengan penderitaan rakyat. Hanya ide dan gagasan mereka saja yang murni untuk kemajuan bangsa.

Sepintas, tidak ada yang salah terhadap apa yang mereka suarakan. Berdemonstrasi adalah salah satu ekspresi dalam negara yang menganut demokrasi. Namun saya kira, generasi sekarang, dunianya bukan lagi tentang bambu runcing atau melempar molotof dan bedi membedil atau sekedar membakar ban, tetapi pertarungan ide dan gagasan yang murni dengan tindakan nyata. Jika mahasiswa menggugat dan melihat adanya kebobrokan maka suarakan dengan solusi yang konkret. Tawarkan konsep-konsep yang nyata atas kesewenang-wenangan sebagaimana yang dituntut.

Saya kira sangat tidak etis jika hanya melihat dari sekelumit isu yang dilontarkan oleh media massa atau isu titipan, tetapi perlu pengkajian yang mendalam secara intelektual sebagaimana kaum akademisi berpikir secara kritis. Bukan menjadi masa yang dimobilisasi hanya dengan iming-iming nasionalisme sejati.

Bagaimana pun kebenaran tidak hanya diinginkan satu pihak saja, tetapi setiap kita yang menjadi bagian dari republik ini menginginkan kebenaran dan kesejahteraan itu. Seperti kata Isaiah Berlin yang dikutip Rizal Mallarangeng dalam bukunya “Dari Langit”, karena dalam dunia nyata ada banyak kebenaran yang masing-masing mungkin saling bertentangan karena itu kita harus mencari cara damai dan terlembaga untuk bernegosiasi dan mengambil keputusan yang mengatasnamakan semua.

Krisis identitas yang membelenggu

Dahulu mahasiswa sangat disegani dan diakui, ia menjadi tumpuan harapan bagi masyarakat untuk menyuarakan segala kesewenang-wenangan dari penguasa zaman itu. Mahasiswa yang dianggap lebih mapan dalam berpikir dan mengkritisi sehingga ia mendapat prioritas tinggi dalam tatanan masyarakat.

Seymour M Lipset mencatat dalam bukunya “student and politics in comparative perspective” (1987) menggambarkan keberhasilan gerakan mahasiswa Indonesia tahun 1966 dalam menggulingkan Soekarno, sejajar dengan kesuksesan mahasiswa Argentina menggulingkan Juan Peron (1955) dan juga mahasiswa Venezuela yang menumbangkan Presiden Peres Jimenes (1958).

Sekarang ini demonstrasi mahasiswa bukan bertindak untuk melindungi dan memperjuangkan kepentingan rakyat, tatkala aksi demonstrasi malah merugikan rakyat dengan pengrusakan terhadap fasilitas umum, kemacetan lalu lintas, dan lain sebagainya. Kesadaran kritis yang seharusnya dimiliki oleh para mahasiswa yang menyebut diri mereka sebagai kaum aktivis ini pun terdegradasi. Krisis identitas pun terjadi. Jika daya kritis mahasiswa tumpul maka apa arti perjuangan itu? Apa makna demonstrasi itu? Atau hanya sekedar teriakan-teriakan kosong belaka?

Menurut hemat saya, mahasiswa yang mengaku dirinya sebagai kaum aktivis saat ini kurang memahami apa yang sebenarnya ia perjuangkan. Seharusnya perlu disadari bahwa gerakan mahasiswa yang berwujud dalam demonstrasi tidak semata-mata perjuangan moral tetapi saat ini sudah menjelma menjadi perjuangan politik. Pemahaman yang kurang ini didasari pula lemahnya daya kritis dan kurangnya wawasan dalam melihat realitas yang sebenarnya.

Kepentingan politik terselubung juga tak kalah menyudutkan identitas mahasiswa sebagai seorang yang idealis. Sudah menjadi rahasia umum, bisa dihitung demonstrasi yang benar-benar murni dari gagasan mahasiswa bukan sekedar isu titipan yang dimobilisasi oleh partai-partai politik.

Demonstrasi mahasiswa perlu dikoreksi

Memang benar dalam sejarah perubahan rezim, peran mahasiswa tidak diragukan. Ia menjadi motor penggerak arah perubahan yang cita-citakan untuk menyejahterakan rakyat. Walaupun begitu, aksi atau demonstrasi mahasiswa tersebut masih harus dikoreksi. Bukan tidak terdapat kekurangan dan kegagalan yang pernah dirintis oleh para pendahulu. Mereka juga banyak membuat kesalahan. Seperti yang ditulis oleh Denny J.A,  gerekan mahasiswa era 80-an yang mengalami kegagalan karena tidak menyadari bahwa gerakan mahasiswa pertama-tama adalah gerakan politik.

Pramoedya Ananta Toer pernah mengatakan bahwa keberanian mengoreksi segala kekurangan dan kekeliruan yang mencolok menjadi modal utama bagi generasi muda sekarang. Bisa saja dibuat daftar kekurangan atau kekeliruan angakatan-angkatan terdahulu yang kalian perlu koreksi. Tanpa keberanian mengoreksi, kalian hanya akan diperlakukan sebagai ternak belaka: dibohongi, digiring kesana kemari atau bisa saja digiring ke pembantaian.


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun