Malam yang datang begitu cepat membawa hawa dinginnya mengisi kota dengan begitu cepat. Aku yang sedari sore tadi duduk di tepian ini terus menatap garis pantai yang juga perlahan direbut oleh air pasang yang perlahan naik mencium kening pantai.
Tatapan kosong dan penuh harap untuk esok hari yang harus kembali dilalui dengan perih. Sebuah pesan singkat masuk dari salah seorang ghost writer favorite-ku.
"Apakah berada diluar tersas lebih baik?" tulisnya.
"Ku rasa cukup untuk saat ini meskipun hanya mengobati sebagian lukaku" balasku.
"Hanya sebagian? Wow, kupikir seluruhnya? udah ikhlasin aja." tulisnya.
"Ikhlasin? Dia yang selalu datang dan pergi di ingatan, dia juga mengisi tempat terbaik dihatiku, suaranya begitu dekat denganku, aku menyesal pernah mencintainya dengan hatiku, aku pernah mencintainya dalam garis-garis doaku, aku menjaganya dalam waktuku yang lima, lalu kemudian aku dipukul oleh sebuah kenyataan yang telah Allah tetapkan." tulisku.
"Lalu, Masihkah kau mencintainya hingga detik ini?" tulisnya.
"Aku masih mencintainya sesuai dengan Allah ciptakan tempat terbaik 'tuknya di hatiku. Tapi sayangnya aku mencintainya dalam diam meskipun ragaku bisa sangat dekat dengannya, hingga saat dimana aku duduk terpaku di bumi melihatnya pergi dengan yang Allah pilihkan. Hal terberat kian kurasakan, dalam sujud aku mengingatnya, dalam pujianku aku ingin memujinya, dalam aksaraku aku menuliskan puisi untuknya. Ia merenggut banyak hal istimewa di sepanjang hayatku, perlahan aku merasa terhenti, berjalan ditempat, bertopeng bahagia dengan jiwa tersiksa," balasku dengan mata yang mencoba teruss menahan agar tak berair mata.
"Ia hanya sementara, tak bisakah kau berucap untuk mengikhlaskannya?" tulisnya.
"Aku harus apa, cara yang mana agar aku tahu itu proses pengikhlasan?" tulisku yang semakin bermuram diterpa angin laut yang begitu berisik.
"Kau bisa menuliskannya dalam sanubariku, kau bisa menyuarakanya melalui senaraiku, aku bisa melukiskannya dengan tinta-tinta emasku, kau bisa menumbuhkannya dengan kaktus-kaktusku. Kau bisa apapun denganku." balasnya.
"Jika aku mampu, aku akan lakukan semuanya tapi aku tidak. Aku hanya bisa menangis dalam kegelapan dan kehujanan, aku hanya bisa bermonolog dalam metafora dan diksi, aku hanya bisa terus bernafas untuk merasakan kehangatan, kedekatan, kelembutan meski setelahnya aku akan dihujani kesakitan." tulisku yang semakin terisak tangis dan deburan ombak menutupi eranganku pada kesakitan ini.
"Dia masih mencintaimu?" tulisnya.
"Entahlah, meskipun dia tak lagi namun aku masih dan selamanya. Bagaimanapun hari akhirku hanya akan ada dia. Aku ingin mengucapkan ini padanya: Ki, maaf aku lancing biasaya aku memanggilmu dengan awalan kak. Sebuah pengakuanku, Aku mencintaimu ketika Allah mengizinkanku mengenalimu, hingga saat dimana orang lain ingin aku mengikhlaskan mu dan membiarkanmu hidup bahagia dengan makhluk yang Allah pilihkan." balasku saat air mata mengering dan aku masih menangis.
"Apakah kau? yang mampu bertahan hingga kini dengan luka dihatimu, beban hidup di pundakmu, kekejaman dunia di kaki mu." tulisnya.
"Apkah aku? Manusia yang pernah bersayap indah lalu diriku sendiri yang memotong sayap tersebut. Seakan terbang bersama bukanlah sesuatu yang indah. Itu." tulisku bergetar bahkan berdiri saja ku tak mampu.
"Jangan bertanya lagi, karena aku ingin pulang dan kembali bersujud pada-Nya. Akan terasa sangatlah murah harapan-harapanku jika aku harus melewatkan sepertiga malamku." aku bergumam sembari memegangi dadaku yang terasa sesak menjejal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H