"Kau bisa menuliskannya dalam sanubariku, kau bisa menyuarakanya melalui senaraiku, aku bisa melukiskannya dengan tinta-tinta emasku, kau bisa menumbuhkannya dengan kaktus-kaktusku. Kau bisa apapun denganku." balasnya.
"Jika aku mampu, aku akan lakukan semuanya tapi aku tidak. Aku hanya bisa menangis dalam kegelapan dan kehujanan, aku hanya bisa bermonolog dalam metafora dan diksi, aku hanya bisa terus bernafas untuk merasakan kehangatan, kedekatan, kelembutan meski setelahnya aku akan dihujani kesakitan." tulisku yang semakin terisak tangis dan deburan ombak menutupi eranganku pada kesakitan ini.
"Dia masih mencintaimu?" tulisnya.
"Entahlah, meskipun dia tak lagi namun aku masih dan selamanya. Bagaimanapun hari akhirku hanya akan ada dia. Aku ingin mengucapkan ini padanya: Ki, maaf aku lancing biasaya aku memanggilmu dengan awalan kak. Sebuah pengakuanku, Aku mencintaimu ketika Allah mengizinkanku mengenalimu, hingga saat dimana orang lain ingin aku mengikhlaskan mu dan membiarkanmu hidup bahagia dengan makhluk yang Allah pilihkan." balasku saat air mata mengering dan aku masih menangis.
"Apakah kau? yang mampu bertahan hingga kini dengan luka dihatimu, beban hidup di pundakmu, kekejaman dunia di kaki mu." tulisnya.
"Apkah aku? Manusia yang pernah bersayap indah lalu diriku sendiri yang memotong sayap tersebut. Seakan terbang bersama bukanlah sesuatu yang indah. Itu." tulisku bergetar bahkan berdiri saja ku tak mampu.
"Jangan bertanya lagi, karena aku ingin pulang dan kembali bersujud pada-Nya. Akan terasa sangatlah murah harapan-harapanku jika aku harus melewatkan sepertiga malamku." aku bergumam sembari memegangi dadaku yang terasa sesak menjejal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H