Mohon tunggu...
Frederica Nancy
Frederica Nancy Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

Hi! Salam kenal dari saya yang tengah belajar dan menari dalam dunia komunikasi massa-digital!

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

[Opini] Ruang Bagi Isu 'Tabu' di Jurnalisme Digital

2 Maret 2021   18:02 Diperbarui: 3 Maret 2021   13:47 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: media sosial pribadi

Pers yang menjadi pilar demokrasi punya tugas besar untuk menjangkau keberagaman masyarakat. Itulah salah satu poin yang sering digaungkan dalam kritik media, termasuk di era digital ini.

Sayangnya, beberapa topik dalam isu keberagaman sering dianggap tabu dan jarang disentuh di ranah publik. Pertanyaan yang muncul kemudian ialah, apa kabar isu 'tabu' di ranah jurnalisme digital?

Mendengar Kisah

Sebuah kisah mengingatkan saya pada persoalan keberagaman.

Dua tahun lalu, saya berjumpa Jessica di kelas Komunikasi Massa. Seorang penyanyi dan aktivis yang berbagi kisahnya dan teman-teman transpuannya. Kisah Jessica menyadarkan saya pada satu hal.

Sumber: media sosial pribadi
Sumber: media sosial pribadi
'Kebetahan' transpuan mengamen ke sana kemari, atau pandangan yang kerap menyebut mereka terlibat dunia prostitusi, bukanlah hal utama yang dikehendaki saat berani mengekspresikan diri mereka.

Perenungan itu berbuah pada tiga hal. Satu, buah tugas yang diunggah di media sosial pribadi. Dua, pikiran bahwa tidak semua hal yang disebut 'normal' itu wajar, sebab ia punya kesempatan untuk hadir dengan pemahaman yang lebih baik. Tiga, pemahaman bahwa buah nomor dua dapat terjadi di isu-isu sosial lainnya.

Solusi atas apa yang Jessica dan rekannya alami punya jalan yang panjang. Sebagaimana sikap dan nilai seseorang yang sulit diubah, demikian pula cara masyarakat memandang isu 'tabu' semacam ini.

Namun, beberapa tahun belakang, pembahasan terkait isu-isu tabu kian ramai diperbincangkan. Isu kesetaraan gender, LGBT, aborsi, persoalan etnis dan ras, hingga kesehatan mental, misalnya, perlahan mendapat tempat di era jurnalisme yang serba digital ini.

Media yang Berkembang

Dari sudut pandang media arus utama, isu-isu yang tabu biasanya dianggap tidak menguntungkan. Sebuah tesis menyebut, adanya statistik pembaca yang menilai tren pembahasan isu atau kelompok marjinal dapat merusak tren industri.

Akan tetapi, kehadiran platform digital yang mudah diakses umum dan makin beragamnya pemilik media, memungkinkan kita menjumpai berita yang makin beragam. 

Inilah yang biasa dikenal sebagai diversity of ownership (keberagaman pemilik media) dan diversity of content (keberagaman isi konten). Belum lagi, penggunaan multimedia yang makin berkembang pesat turut memperluas cara penyebaran konten.

Sumber: Chief Executive
Sumber: Chief Executive
Media yang peduli pada isu tersebut atau kelompok masyarakat terkait, akan punya kesempatan menyuarakan topik 'tabu' secara luas. Lebih dari sekedar memberitakan, media dapat terlibat dalam pergerakan masyarakat yang masif.

Mereka yang Peduli

Di lingkup global, kamu mungkin pernah mendengar aksi #MeToo yang implikasinya turut meningkatkan kepedulian masyarakat akan isu kekerasan seksual.

The Economist ini, misalnya, menggambarkan bagaimana gerakan ini mengubah pandangan dunia tentang kasus pelecehan seksual. Pemberitaan ini pada akhirnya tidak hanya bicara soal advokasi korban dan hukuman bagi pelaku, tapi pada sesuatu yang lebih fundamental, yakni kesetaraan gender.


Selain itu, isu kesehatan mental kian mendapat tempat di ruang-ruang publik. Mulai dari sekadar menyadarkan masyarakat akan pentingnya isu ini, pemicunya, hingga penanggulangan isu kesehatan mental.

Teen Vogue pada 2019 lalu memberitakan isu kesehatan mental yang masih dianggap tabu, bahkan dalam industri budaya populer sekelas K-Pop. Namun, dalam artikel yang sama, dijelaskan bagaimana isu kesehatan mental perlahan mulai diterima di masyarakat.

Apa Diangkat Saja Cukup?

Jika konten jurnalisme perlahan mulai beragam, apakah hal itu sudah cukup? Tentu saja tidak.

Meskipun pembahasan isu 'tabu' perlahan naik ke permukaan, kompleksitas suatu isu menjadi hal yang penting diperhatikan, Pemberitaan bukan lagi soal apa isu tabu yang belum dijamah dan kemudian dibuat kontennya.

Salah satu contohnya, masih dengan isu kesehatan mental, namun dalam konteks di Indonesia. Tidak hanya berita kampanye kesehatan mental, atau pentingnya kesehatan mental, media perlu menjangkau keseluruhan aspek isu tersebut.

Sumber: NPR
Sumber: NPR
Misalnya, apakah tenaga medis atau perawat kesehatan mental, seperti psikolog dan psikiater, sudah cukup di Indonesia? Apakah ketersediaan tenaga ini sudah menjangkau seluruh daerah di Indonesia? Atau, apa yang telah pemerintah lakukan pada isu kesehatan mental di Indonesia selama pandemi COVID-19?

Media perlu membahas isu itu secara mendalam dan dari perspektif yang luas, agar masyarakat tak keliru memahaminya. Dengan demikian, awareness dan pemahaman masyarakat yang komprehensif-lah yang jadi tujuan utama penyebarluasan suatu isu.

Lebih dari sekedar berita yang representatif, kebutuhan kelompok masyarakat tersebut, juga dapat jadi bahan evaluasi bagi pengambil kebijakan terkait. Tujuannya, tak lain adalah untuk mengusahakan kesetaraan dan keadilan bagi masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun