Film menjadi salah satu alat komunikasi massa yang lekat dengan sifat keterbukaannya (Wikonanda, 2017). Layaknya surat kabar, film memungkinkan kamu, keluargamu, bahkan seluruh negeri mengakses segala pesan yang tercantum di dalamnya. Selain itu, bahasa audio visual film yang mengandung unsur sinematik dan naratif dapat menunjang proses transimisi pesan (Suryanto & Amri, 2018).
Sementara itu, McQuail dalam bukunya Teori Komunikasi Massa menyebut, satu dari tiga elemen penting dalam sejarah film adalah gerakan film dokumenter. Ia cenderung mengandung elemen realisme yang kuat dan sering muncul saat ada krisis sosial.
Baik film Tanah Ibu Kami dan Semes7a, keduanya tergolong film dokumenter. Mereka masuk jenis film non fiksi yang materinya berdasarkan kenyataan, bukan rekaan. Ia dibuat dengan menyajikan fakta-fakta berdasarkan nilai yang menyangkut kehidupan, situasi nyata, dan lingkungan hidup (Utami, 2010).
Nicholas Saputra produser film Semes7a dalam wawancara dengan Tempo menyebut, dokumenter punya kekuatan lebih bila ingin membangun isu lingkungan. "Kejadian yang aktual, akurat, dan natural sehingga orang lebih bisa dekat dan percaya."
Lantas, bagaimana kedua film ini menyajikan filmnya?
Perempuan dan Lingkungan
Selama 55 menit saya duduk bersila di kamar, menyaksikan Febriana Firdaus dan perjalannya mengunjungi perempuan pelindung bumi. Perjumpaannya dengan para Kartini Kendeng, Mama Lodia, Aleta, Eva Bande, dan Wiza jadi inspirasi saya dan perempuan muda di mana pun kamu berada dalam menghadapi persoalan lingkungan.
Gerakan para perempuan ini dapat kita lihat dari perspektif feminis. Astuti (2012) menyebut usaha ini sebagai ekofeminisme, yang merespons adanya eksploitasi alam. Lebih lanjut, gerakan ini terjadi di kalangan perempuan dari berbagai daerah dan profesi untuk menyelamatkan lingkungan hidup.
"Kita pantang menyerah, harus maju karena ini untuk anak cucu kita yang akan datang. Kalau itu semua rusak, kita semua yang akan tanggung jawab," ujar Sukinah, seorang Kartini Kendeng.
Dalam tulisan yang sama, Astuti melihat bahwa gerakan perempuan pedesaan melindungi lingkungan terlihat lebih nyata. Pasalnya, merekalah yang sehari-harinya berhubungan langsung dengan alam, dan jadi yang paling terdampak bila alam tercemar, bukan masyarakat kota. Tak ayal, perjuangan mereka keras dan mempertaruhkan banyak hal.