Sihir dan dunia sulap lekat dengan kejutan. Saya ingat betul masa-masa menonton aksi Pesulap Bertopeng, yang memukau dengan trik menghilangkan dan memunculkan kembali objek sulapnya. Namun, hal itu tidak terjadi dalam Abracadabra (2020).
Film yang dibintangi Reza Rahadian ini menampilkan kisah Lukman yang hendak menunjukkan sulap terakhirnya. Usai sukses menghilangkan relawan sulapnya, Lukman harus mengembalikan orang itu bukan?
Namun, bagaimana jika ia tak berhasil mengembalikan relawan sulapnya sendiri?
Entahlah, sebab bukan itu yang jadi persoalan film ini.
Kebingungan yang muncul di benak penonton lah yang justru menjadi daya tarik film arahan Faozan Rizal ini.
Lukman dibuat bingung oleh kotak sulapnya sendiri dan sebagai penonton saya juga sempat dibuat bingung dengan jalan cerita film ini.
Daya Tarik Abracadabra
Lantas, jika semuanya bingung apa makna film ini dong?
Setiap orang dapat mempunyai persepsinya sendiri tentang film ini. Merasa bosan, terkejut, keheranan? Bisa jadi.
Namun terlepas dari perasaan apa pun yang kamu rasakan setelah menonton film ini, ingatlah bagaimana sifat sulap itu sendiri. Yap, penuh kejutan dan ‘keajaiban’. Setidaknya, begitulah saya memahami film ini.
“Sulap di atas panggung adalah keajaiban, dan itu yang ingin kalian lihat, bukan?”—Barnas (Abracadabra, 2020).
Sama seperti ucapan Barnas, kita sering merasa ‘tertarik’ dengan kebingungan kita sendiri saat melihat sebuah sulap. Meski kita tahu bahwa setiap pesulap sama seperti Pesulap Bertopeng, selalu punya rahasianya sendiri, kita seolah tersihir untuk ‘masuk’ dalam kejutan dan ‘keajaiban’ sulap.
Saat kita masuk dan kebingungan dengan sulap maupun jalan cerita film ini, hadirlah konsep strukturasi secara tidak langsung.
Vincent Mosco dalam sebuah wawancara menjelaskan bahwa strukturasi adalah konsep yang muncul saat orang membuat ‘sejarah’ (wacana) bukan atas kehendaknya sendiri. Hal itu terjadi sebab ada pihak lain yang disebutnya sebagai agen sebuah struktur.
Jika dilihat dari relasi film dengan penonton, kita dapat memahami bahwa ada wacana ‘keajaiban’ dan kebingungan yang muncul.
Dalam sebuah wawancara, sutradara Faozan melihat bahwa sulap itu sama dengan dunia sinema.
“Dunia magis dan dunia sinema adalah dua dunia yang bisa membuat saya hidup dalam dunia imajinasi saya sendiri. Walaupun penuh kebingungan, tapi intinya bagaimana kita harus percaya. Jadi mari kita rayakan kebingungan ini,” jelas Faozan pada Berita Satu.
Dengan demikian, agen strukturasinya adalah film yang berkisah dunia sulap sebagai ‘pembuat keajaiban’ dan kebingungan. Sementara itu, penonton film menjadi orang yang ‘dibingungkan’ dengan jalan cerita.
Namun, pada intinya film ini menampilkan dunia sulap yang diibaratkan sutradara sama dengan dunia sinema. Pada titik ini, film Abracadabra melanggengkan wacana bahwa sama seperti sulap, film juga mampu jadi wadah imajinasi pembuatnya. Imajinasi itu menyebabkan pembuat film dapat berkreasi sesuai gayanya dan penonton dibebaskan menerka jalan cerita film.
Sulap dan Sinema
Sama seperti saat kita menonton sulap yang sulit dicerna logika namun dinikmati, begitu pula saran saya jika kamu kebingungan dengan film ini.
Tak lupa, nikmati juga permainan visual film Abracadabra. Pasalnya, kamu akan diajak melihat segar dan uniknya gaya berpakaian para tokoh, permainan warna nan apik, hingga shot cerita yang juga memanjakan mata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H