Saat Bird Box (2018) mengajak kita melihat dunia Malorie yang menegangkan, saya akan mengajak Anda untuk melihat film ini lebih dalam dan luas dari berbagai kacamata. Yuk!
Kacamata Penyuka Meme
Usai tayang seminggu—sejak 21 Desember 2018—dan berhasil meraih 45 juta akun penonton Netflix, meme Bird Box berhasil menjadi fenomena di media sosial.
Buktinya adalah masyarakat kian antusias dan tertarik pada dunia meme hingga ada yang menonton film ini hanya untuk menikmati meme Bird Box.
Kritik dari Kacamata Penonton
Sementara itu, Bird Box sempat menuai kritik dari berbagai kalangan masyarakat. Menurut Robert Stam dalam bukunya berjudul Film Theory: An Introduction (2000), hal ini membuktikan bahwa penonton kian dipandang lebih aktif dan kritis.
Kritik itu berkaitan dengan cara penggambaran film ini tentang orang-orang dengan penyakit mental. Karakter mereka muncul sebagai “orang yang pernah mendekam di penjara dan selalu berakhir gila,” misalnya tokoh Gary dan petugas toko grosir.
Di dalam film, orang-orang ini yang kemudian menjadi “literal agents of evil, obsessed with carrying out the monster’s mission to humanity (Joho,2019).” Melansir Daily Dot, Gavia Baker-Whitelaw (2020) seorang kritikus film memaparkan kekecewaannya dengan tulisan, “…we learn that “criminally insane” people are immune to the monster’s powers, and want to expose other survivors and force them to kill themselves. What a sensitive depiction of mental illness!”
Shainna Ali Ph.D., LMHC (2018), seorang psikolog pun berpendapat bahwa penggunaan trigger warnings dalam film ini justru berpotensi menyebabkan perasaan cemas, trauma, perilaku menyakiti diri sendiri, hingga bunuh diri.
Selain itu, muncul pula beberapa komentar yang menyayangkan penggambaran ini melalui media sosial, seperti Twitter.
Netflix dalam laman resminya menyebut delapan genre untuk film Bird Box. Hal itu menunjukkan adanya tumpang tindih genre dalam sebuah film (Reich, 2017). Di antara kategori yang beragam itu, Bird Box termasuk ke dalam genre sci-fi.
Dari sisi cerita, genre ini menunjukkan dunia fiksi yang berurusan dengan dampak aktual atau imajiner sains bagi masyarakat (The Merriam-Webster Dictionary dalam Reich, 2017).
Bird Box menggambarkan serangan dan teror makhluk asing yang mengancam eksistensi umat manusia. Meski belum tentu masuk akal secara ilmiah, selama unsur imajiner film cukup familiar bagi penonton, ia masih dapat dikategorikan sci-fi (Cateridge, 2015). Film Bird Box menyajikan prediksi fenomena di masa depan dengan unsur post-apocalyptic-nya.
“…tackle a growing cultural awareness that humanity is stumbling, deaf and blind, toward a global climate collapse that many of us feel completely out of our depth to handle.”—Romano (Vox, 2019).
Hal ini yang sejalan dengan tujuan konsep sci-fi menurut James Cateridge dalam bukunya Film Studies for Dummies (2015) yakni, “to satisfy human curiosity about the world and people themselves.” Selanjutnya, ada tiga poin dalam Bird Box, yang menurut filmsite.org berperan menunjang karakteristik film bergenre sci-fi. Film ini dilengkapi unsur penjahat bayangan, makhluk dengan kekuatan yang tidak diketahui asal usulnya, hingga menampilkan dystopia yang menakutkan.
Kacamata Paradigma
Dalam cara pandang film Bird Box, para pemain mengedepankan penggunaan panca indera mereka saat dihadapkan pada suatu kejadian. Segala bentuk upaya Malorie untuk bertahan hidup dari kejaran makhluk asing didasarkan pada pengalaman dan pengetahuan yang ia miliki sebelumnya.
Malorie selalu menjaga dan membawa tiga burung yang ia peroleh dari sebuah toko. Hal itu ia lakukan setelah mengamati kemampuan para burung mendeteksi kedatangan makhluk asing tersebut.
Sejak seluruh tokoh manusia tahu bahwa dengan melihat makhluk asing itu mereka akan “tersihir” untuk bunuh diri, siapa pun yang ingin selamat wajib menutup mata mereka dengan cara apapun.
Malorie belajar menggunakan pengalaman inderawinya untuk memperoleh pengetahuan saat harus beraktivitas di luar ruangan. Ia dan “keluarganya” belajar mengenal jarak sumber bunyi dan menggunakan “tali” sebagai penghubung antar lokasi.
Kacamata Teori Formalisme
Selanjutnya, pernahkah Anda memikirkan mengapa sosok makhluk asing dalam film ini tak pernah terlihat wujudnya secara langsung?
Untuk mengetahui itu, kita dapat menggunakan teori formalisme Rusia. Teori ini mengharuskan sebuah film untuk dinilai dari "kegunaan artistik"-nya. Hal ini penting agar film menjadi seni sejati yang memiliki esensinya sendiri (Arnheim dalam Ernesto, 2011).
Untuk menampilkan kekhasan dalam bentuk (formal) film itu, kita mengenal konsep fabula dan sjuzet. Sederhananya, fabula adalah bahan mentah yang harus diolah pengarang. Ia merupakan sebuah “cerita” atau penggambaran rangkaian kejadian dalam tatanan urut dan relasi kausal.
Sementara itu, sjuzet adalah “plot” yang merupakan cara penyajian materi (makna) dalam film dengan unsur artistik. Inilah sisi “kesastraan” (“literariness”) sebuah karya. Sjuzet-lah yang berperan membuat istilah “defamiliarisasi” muncul. Konsep ini akan menghadirkan kekhasan bentuk film lewat keanehan dan keganjilan yang dimiliki.
Dalam film Bird Box, ketidak hadirannya makhluk asing itu secara kasat mata merepresentasikan bentuk artistik dari film ini. Dalang penyebab semua kekacauan dalam film Bird Box hanya tersirat dalam bentuk rumput atau daun-daun yang melayang di udara. Selain itu, kehadiran makhluk asingnya juga ditandai dengan sosok bayangan hitam dan besar.
Marcus Taormina, pengawas efek visual film Bird Box (Failes, 2019), mengaku sempat kesulitan mewujudkan sosok makhluk asing itu sebelum akhirnya harus berkreasi saat pengambilan gambar di lokasi. Selain itu, tim efek visual juga menggunakan Computer Generated untuk membuat hutan digital, dedaunan, dan pohon-pohon "mengamuk."
------------------------
DAFTAR PUSTAKA
Ali, S. (2018, Desember 29). Is ‘Bird Box’ About Mental Health? Psychology Today [Online]. Diakses pada 18 Oktober 2020 dari psychologytoday.com
Cateridge, J. (2015). Film Studies for Dummies. West Sussex: John Wiley & Sons, Ltd.
Ernesto, A. (2011, Februari 17). Memetakan Kompleksitas Kajian dan Teori Film, Bagian 1. Cinema Poetica [Online]. Diakses pada 19 Oktober 2020 dari cinemapoetica.com
Failes, I. (2019, Februari 26). Inside The Bird Box of Effects. VFX Voice [Online]. Diakses pada 19 Oktober 2020 dari vfxvoice.com
Joho, J. (2018, Desember 28). Netflix’s ‘Bird Box’ is Blind to The Issue oof Stigmatizing Mental Illnes. Mashable [Online]. Diakses pada 18 Oktober 2020 dari mashable.com
Manshur, F. M. (2019). Kajian Teori Formalisme dan Strukturalisme. SASDAYA: Gajah Mada Journal of Humanities, 3(1), 82. Diakses pada 19 Oktober 2020 dari jurnal.ugm.ac.id
Reich, J. (2017). Exploring Movie Construction and Production. Genesee Community College: Open SUNY. Diakses pada 18 Oktober dari milnepublishing.geneseo.edu
Rokhmansyah, A. (2017). Orde Baru sebagai Landasan Fabula dalam Novel Entrok Karya Okky Madasari: Kajian Formalisme Rusia. CaLLs (Journal of Culture, Arts, Literature, and Linguistics), 1(1), 39-51. Diakses pada 19 Oktober 2020 dari e-journals.unmul.ac.id
Romano, A. (2019, Januari 4). Why are Bird Box Memes So Popular? It’s Complicated. Vox [Online]. Diakses pada 19 Oktober 2020 dari vox.com
Stam, R. (2000). Film Theory: An Introduction. USA: Blackwell Publishing.
Whitelaw, G.B. (2020, Juni 30). Netflix’s ‘Bird Box’ is A Disappointingly Unoriginal Survival Thriller. Daily Dot [Online]. Diakses pada 18 Oktober 2020 dari dailydot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H