Mohon tunggu...
Frederica Nancy
Frederica Nancy Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

Hi! Salam kenal dari saya yang tengah belajar dan menari dalam dunia komunikasi massa-digital!

Selanjutnya

Tutup

Film

Bisikan Kemerdekaan John Keating, Empunya Dead Poets Society

14 Oktober 2020   22:55 Diperbarui: 3 April 2021   23:02 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://thepigeonpress.org/wp-content/uploads/2017/11/Dead-Poets-Society.png

Konon katanya, kemerdekaan mendapat perhatian dalam HAM dan hukum mana pun. Ah, sepertinya agak klise sebab Dead Poets Society melihat konsep ini dengan cara yang menarik. Jaminan kemerdekaan itu ada pada diri masing-masing individu. Bentuk paling sederhananya ada pada kata maupun gagasan.

Untuk memahami kemerdekaan itu, saya akan mengurainya dalam analisis teks maupun interteks film dengan bintang utama Robin Williams ini.

Analisis Interteks

Saya akan mulai dengan mengajak Anda memahami kuatnya kata-kata. Mari lihat kaitan 'panasnya' bumi pertiwi beberapa hari terakhir dengan film yang rilis 31 tahun lalu ini.

"Words and ideas can change the world."

Kutipan di atas menjadi ungkapan John Keating, seorang guru di Akademi Welton usai meminta para murid merobek "cara berpikir" J. Evans Pritchard. Baginya, kata-kata, bahasa, dan gagasan bukanlah konsep abstrak yang tak berarti. Susunan kata yang menjadi teks dapat menciptakan beragam makna. Pembentukan makna disiapkan oleh pembuat pesan, namun tiap individu penerimanya dapat mengartikannya secara beragam.

Pada demo 6-8 Oktober lalu, Anda tahu pemicu turunnya rakyat ke jalan--di lebih dari 10 daerah  --bukan karena korupsi, terorisme, atau kejahatan genosida. Apinya ada pada aturan yang tersusun dari rangkaian kata-kata dan gagasan, bernama Omnibus Law.

Analisis Teks

Puisi dan Manusia

Bagi Keating, selain dapat "mengubah dunia," kata-kata dan gagasan perlu "dirasakan," contohnya puisi. 

"Terdengar manis" bukan menjadi alasan kita mengenal puisi, namun karena kita adalah umat manusia. Manusia yang identik dengan gairah dan punya keinginannya sendiri. Salah satu kutipan terfavorit saya dalam film ini adalah,

 

"Medicine, law, business, engineering, these are all noble pursuits, and necessary to sustain life. But poetry, beauty, romance, love, these are what we stay alive for."

Ada hal-hal sederhana dalam hidup yang sebenarnya begitu bernilai.  Keating ingin mendorong murid-muridnya-- dan kita semua-- untuk tak lupa menemukan kecintaan kita sendiri. Baginya, "merayakan" passion adalah cara agar menjadi manusia yang "hidup" dan merdeka.

 

Sihir "Carpe diem"

Di lingkungan Akademi Welton, para murid didoktrin untuk selalu menjunjung nilai tradisi, kehormatan, kedisiplinan, dan keunggulan. Alhasil, mereka diharapkan selalu bekerja keras dan mengikuti aturan agar mampu menemukan pekerjaan yang hebat.

Namun bagi Keating, tiap murid punya mimpi mereka sendiri. Entah apa hasilnya nanti, Keating tahu pasti satu hal bahwa pada akhirnya mereka akan mati. Namun hingga saat itu, akankah para murid terus menunggu mimpi itu yang menghampiri mereka?

"Carpe diem. Seize the day,... Make your lives extraordinary."

Oleh sebab itu, para murid diminta untuk mulai melangkah sesuai mimpinya sejak "hari ini" sebab mungkin saja tak akan ada hari esok.

 

Melihat dari Sisi yang Berbeda

Bila sudah menonton filmnya, Anda pasti ingat adegan ikonik yang satu ini. Terlihat konyol? Mungkin. Berdampak gak untuk Neil dkk? YAWP.

https://thepigeonpress.org/wp-content/uploads/2017/11/Dead-Poets-Society.png
https://thepigeonpress.org/wp-content/uploads/2017/11/Dead-Poets-Society.png
 

Keating mengajarkan para murid untuk melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Menurutnya, penting untuk mau memahami perspektif yang beragam dan menjadi open minded. Tujuannya agar mereka mampu melihat sesuatu secara lebih lengkap dan komprehensif. 

Penentuan yang Mandiri

Rasanya sangat mudah bagi kita mengikuti apa yang banyak orang suarakan, meskipun kita belum tentu paham dan mengamininya. Sementara itu, sangat sulit rasanya untuk mempertahankan nilai dan kepercayaan kita apalagi menyuarakannya. Keating secara konsisten mengingatkan para muridnya untuk menemukan suara dan jalan mereka sendiri. 

"Boys, you must strive to find your own voice. Because the longer you wait to begin, the less likely you are to find it at all."

Di akhir film, Anda akan berdecak pada adegan sederhana ini. Pasalnya, para murid yang selama ini "terkungkung" akhirnya berani untuk bersuara dan bersikap atas apa yang mereka yakini benar.

https://images.theconversation.com/files/276832/original/file-20190528-42571-4qws1z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1200&h=900.0&fit=crop
https://images.theconversation.com/files/276832/original/file-20190528-42571-4qws1z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1200&h=900.0&fit=crop
 

Memahami Kebijaksanaan dari Kemerdekaan

Dari sekian banyak pemaparan di atas, mungkin Anda merasa film ini begitu pro liberal. Akan tetapi, kutipan di bawah ini boleh jadi pertimbangan asumsi itu.

"Sucking the marrow out of life doesn't mean choking on the bone. Sure there's a time for daring and there's a time for caution, and a wise man understands which is called for."

Keating ingin mengingatkan bahwa kemerdekaan semata-mata bukan tampil membabi buta. Ia layaknya sihir yang hadir tepat pada waktunya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun