Buah bisa beracun, 'tamu' mati mengenaskan, hingga perempuan yang membunuh tanpa rasa berdosa.
Kira-kira begitu saya akan mengingat film ini secara singkat. Tapi kalau Anda belum pernah menonton namun sudah ngeri mendengarnya, jangan buru-buru kabur, ya. Pasalnya film ini punya maksud yang lebih dari sekadar 'membunuh secara fisik' dan punya pesan yang menarik.
Cara-cara Mouly Surya menyampaikan dan menyusun  pesan film ini menunjukkan kritiknya atas realitas sosial yang ada di masyarakat, atau paling tidak dalam lingkup masyarakat Indonesia. Seperti judulnya, saya menangkap 4 pesan yang ingin disampaikan lewat film ini.
1. Kritik terhadap budaya patriarkhiÂ
Sedari awal film hingga sepuluh menit selanjutnya, saya sudah melihat adanya representasi nilai-nilai budaya patriarkhi. Budaya yang cenderung menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa sentral dan tunggal (Sakina, 2017).
"Sa ni tamu" dan "...kalau ada waktu tidur bertujuh," merupakan dua dari sekian banyak dialog Markus yang menunjukkan upaya sang sutradara merepresentasikan budaya patriarkhi ini.
Tapi, apa iya akan semudah itu kita bersikap demikian? Apalagi kalau tuan rumahnya tinggal sendiri, jauh dari tetangga, perempuan, janda pula. Hal ini berkaitan dengan poin selanjutnya...
2. Kritik Soal Stereotip tentang Perempuan
Konon katanya perempuan tidak boleh sangar, apalagi kalau sudah jadi janda. Jujur saja, kita akrab dengan pandangan seperti ini, bukan? Kalau boleh tahu apa pendapat Anda tentang hal ini? Siapa pun Anda boleh lho tinggalkan pendapat soal ini di kolom komentar.
Perempuan gak boleh sangar menjadi satu dari sekian banyak fenomena stereotip tentang perempuan yang disajikan film ini. Stereotip ini juga masih sangat mudah diterima sebagai representasi eksisnya stereotip tentang perempuan di masyarakat modern.
Hal ini ternyata berkaitan dengan poin sebelumnya, yakni patriarkhi. Budaya ini dapat menyebabkan adanya ketidakadilan dan kesenjangan gender yang berpengaruh hingga ke berbagai aspek kehidupan manusia.
Dalam konsep menguasai, pasti ada pihak yang dikuasai. Kita dapat melihat bahwa keluarga, termasuk perempuan menjadi pihak yang paling rentan.
"It affects many aspects of life, from political leadership, business management, religious institutions, economic systems and property ownership, right down to the family home where men are considered to be the head of the household."---Liz Chondros (2017).
Sebagian dari Anda mungkin tidak merasa ini adalah suatu masalah atau bahkan akan menentang pesan kritik dari film ini. Namun, terlepas Anda setuju atau tidak, kita sama-sama tahu bahwa masih ada banyak perempuan yang terdampak akibat adanya budaya dan stereotip yang sudah mengakar lama ini.
Ada riset yang membahas topik ini dan telah menunjukkan bahwa hal ini bukan masalah sepele. Meskipun terlihat hampir tak jelas eksistensinya di masyarakat modern, Anda tahu bahwa stereotip dan dominasi hirarki ini tak  jarang menyulitkan Anda dalam banyak hal.Â
Namun di balik semua itu, Anda tentu dapat melihat bagaimana perempuan ditampilkan tidak lagi sebagai sosok yang lemah dan harus pasrah terhadap kenormalan yang seringkali melukai.
Dalam keindahan sabana Sumba, sosok perempuan penjelajah sekaligus 'pembunuh' ditampilkan dalam film ini.
Anda mungkin familiar atau paling tidak pernah sekali mendengar sosok yang lugu dan minim pengetahuan itu adalah penduduk desa atau digambarkan dalam tontonan sehari-hari. Hal ini yang setidaknya berusaha juga dikritik pembuat film.
Tanpa melibatkan kemampuan akademik atau pun skill hebat masyarakat modern, film ini menampilkan sosok yang kuat atau paling tidak mampu menentukan nasib mereka sendiri untuk bertahan hidup. Dua tokoh utama perempuan digambarkan paham artinya woman supports woman yang bahasanya cenderung digunakan masyarakat modern.
Film ini juga menempatkan perempuan dengan latar yang sangat tak mendukung. Tinggal sendiri, janda, dan berada jauh dari pemukiman penduduk.
Namun, itu yang justru ingin dikritik oleh penggarap film. Latar belakang Marlina menjadi kekuatan perempuan ini. Ia bersama rekannya justru hadir untuk saling menguatkan satu sama lain dan 'membunuh tamu' yang 'melemahkan' mereka untuk hidup.
Kalau Anda penduduk kota harus urbanisasi dan tinggal sendiri layaknya Marlina, bagaimana Anda akan membayangkan diri Anda saat dikunjungi tamu macam Markus dan kawan-kawannya?
4. Kritik Terhadap Pelayanan Publik
Pada poin terakhir ini, Anda pasti dengan gamblang pernah mendengar atau melihat rumitnya proses hukum, apalagi bagi masyarakat desa. Penyelesaian kasus hukum sebenarnya hanya satu dari sekian banyak fakta masih rendahnya upaya pelayan publik dalam menjalankan pekerjaannya.
Sederhananya, paradigma menjadi sekumpulan cara pandang yang biasanya digunakan oleh komunitas ilmuwan untuk menelaah atau pun mengkaji fenomena sosial yang berusaha diangkat oleh pembuat film tersebut ke dalam karyanya. Paradigma yang nampak jelas dalam film ini ialah paradigma kritis.
Menurut Sophia A. McClennen dalam bukunya Globalization and Latin America Cinema: Toward a New Critical Paradigm, cara pandang yang satu ini akan membantu kita dalam memahami fenomena dominasi budaya, relasi kekuasaan yang ada, hingga dekonstruksi budaya dominan itu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI