Ngaleut berasal dari bahasa Sunda dengan akar kata aleut yang artinya berjalan beriringan. Begitu kira-kira mula prasangka maksud kegiatan bertajuk Ngaleut Klenteng Satya Budhi yang diinisiasi oleh Komunitas Aleut di Kelenteng Satya Budhi, Jalan Kelenteng No. 10/23a, Ciroyom, Kec. Andir, Kota Bandung pada Sabtu (29/10/2022). Namun nyatanya setelah mengikuti kegiatan tersebut, bukan demikian. Yang dimaksud dengan ngaleut bukan sekedar berjalan beriringan, tetapi berjalan bersama menyisiri dan mengkaji objek-objek bersejarah di sekitar.
Kegiatan ini dibuka untuk umum dan terbatas. Setidaknya ada tiga sesi dalam kegiatan ini; pertama persiapan sekaligus perkenalan, kedua ngaleut dan ketiga sharing session. Kegiatan dibuka pukul 07:30 WIB, namun sayangnya Penulis baru datang pukul 08:15 WIB karena terlambat. Pukul 08:18 WIB para peserta termasuk anggota Komunitas Aleut ternyata sudah berada di halaman depan sisi barat kelenteng, artinya waktu ini telah masuk pada sesi kedua yaitu ngaleut. Sesi ini dipimpin oleh anggota Komunitas Aleut sekaligus pengurus di Kelenteng Satya Budhi, Kristanto Kurniawan.
Sebelum menghampiri teman-teman peserta, Penulis sempat terpesona setelah melewati gapura dan sampai pada halaman pertama. Bentuk kelenteng terlihat kalah tinggi dan besar dengan beberapa gedung di belakangnya, namun tak kalah indah dan megah. Halaman kelenteng terbilang panjang dan cukup luas, di ujungnya terdapat patung seorang tokoh yang memegang senjata sambil mengendarai kuda. Di belakang patung tersebut, ada tempat untuk menaruh dupa berbentuk bulat dan beratap yang disebut sebagai hiolo. Di belakang hiolo tersebut barulah kelenteng. Baik gapura, patung maupun kelenteng, kesemuanya menghadap Selatan.
Teman-teman peserta ternyata masih dan sedang melihat lukisan-lukisan yang ada di dinding kelenteng, dimulai dari dinding bagian depan sisi Barat hingga dinding bagian samping sisi Timur. The Kristanto Kurniawan yang akrab dipanggil Tanto, menerangkan satu per satu lukisan tersebut, sementara Penulis langsung mengambil ancang-ancang foto menggunakan kamera depan hp–sambil merasa menyesal karena dua hal; pertama lupa tidak membawa meteran untuk mengetahui diameter-diameter objek atau benda-benda budaya dan kedua kamera belakang masih rusak sehingga sudah muncul dugaan foto yang akan dihasilkan pasti carut-marut tidak karuan.
Setelah dari sisi Timur, dilanjut menuju dua patung singa penjaga di depan teras kelenteng yang menghadap ke Selatan. Diterangkan bahwa singa tersebut berkelamin jantan dan betina, dapat diidentifikasi melalui bentuk kelamin dan apa yang sedang dipegangnya. Namun diingatkan pula di sini, bahwa tidak semua bangunan yang terdapat sepasang patung singa penjaga dapat diidentifikasi melalui hal tersebut, paling umum adalah dari apa yang dipegang. Pada Kelenteng Satya Budhi, singa yang jantan berada di sebelah Timur, memiliki 'kelamin yang menonjol' dan memegang tongkat kayu. Sedangkan singa yang betina berada di sebelah Barat, tidak memiliki 'kelamin yang menonjol' dan sedang menggendong sang anak.
Selanjutnya penyesalan yang sempat disinggung sebelumnya, semakin membuncah tatkala kaki menapak teras kelenteng. Pasalnya di teras kelenteng, bukan hanya terdapat lukisan-lukisan yang indah, namun juga arsitektur dan ornamen-ornamen yang halus, unik, menarik, khas dan meriah. Di antaranya ada naga batu yang melilit tiang saka, relief-relief halus pada dinding batu, kuncian-kuncian dan ornamen-ornamen flora serta relief-relief manusia pada tiang saka. Begitu sangat disayangkan bila dilewatkan. Kuncian-kuncian dan ornamen-ornamen tiang saka terutama yang menarik perhatian, langgamnya mirip dengan yang ada di rumah tradisional Jawa, terutama Jawa Tengah dan Pesisiran.
Bangunan kelenteng yang berada di Indonesia sendiri secara umumnya, dibangun berdasarkan arsitektur dari Tiongkok Selatan. Selanjutnya, diterangkan bahwa Kelenteng Satya Budhi dibangun dekat dengan sumber air, membujur Timur-Barat, menghadap ke Selatan dan dekat dengan keramaian atau pasar. Sedangkan keberadaan kelenteng di dekat keramaian dikaitkan dengan kebutuhan masyarakat untuk beribadah pada saat itu. Lebih lanjut diterangkan, konsep bangunan yang dipakai kelenteng ini adalah kelenteng tiga pintu.
Pada bangunan yang menggunakan konsep kelenteng tiga pintu, pintu yang tengah tidak ditujukan sebagai pintu masuk dan pintu keluar karena memiliki makna sebagai 'pintunya Dewa'. Pintu yang ditujukan sebagai pintu masuk terdapat di kiri tuan rumah (kiri tempat klenteng menghadap), sebaliknya, pintu keluar terdapat di kanan tuan rumah (kanan tempat klenteng menghadap). Tuan rumah adalah penyebutan bagi dewa utama dari sebuah kelenteng.
Setelah masuk melalui pintu kanan pukul 08.55 WIB, terdapat semacam loker dari kayu setinggi dada orang dewasa, di atasnya terdapat dupa yang disediakan bagi pengunjung yang ingin berdoa atau beribadah. Loker tersebut digunakan untuk menaruh lembaran kertas yang berisikan syair-syair tertentu, ada juga di sisi lain loker yang saat ini kosong, namun kata Tanto, dahulu terdapat lembaran kertas yang berisikan resep herbal. Biasanya hal yang perlu sebelum kita dapat mengambil lembaran kertas tersebut, kita harus melakukan sebuah tata cara yang dikenal dengan istilah ciam si. Ciam si sendiri merupakan tata cara yang digunakan oleh orang Tionghoa untuk mendapatkan nasihat dari permasalahan hidup atau zaman dahulu bisa juga digunakan sebagai sarana pengobatan dari tuan rumah sebuah kelenteng. Namun perlu diingat, ciam si hanya dapat dilakukan untuk masalah urgent saja, bukan untuk main-main.
Di dalam kelenteng ini tepatnya di belakang 'pintu yang bergambarkan Dewa Pintu', terdapat hoiolo lagi tetapi tidak beratap, samping kanan-kirinya ada hiasan muka mirip Kala. Di dekat pintu masuk terdapat lonceng cukup besar dan di dekat pintu keluar terdapat bedug yang tidak terlalu besar. Tepat di bagian tengah kelenteng, yakni utara hiolo, tidak ada pelindung atau atap. Di bawahnya terdapat cekungan persegi semacam kolam namun memiliki selokan untuk mengalirkan air keluar. Tanto membenarkan bahwa tempat tersebut ditujukan untuk pembuangan air hujan dan cahaya matahari, yang mana tempat tersebut merupakan tempat yang dianggap menghubungkan langit dan bumi. Jalan menuju altar pemujaan pun berada di sisi kanan dan kiri cekungan tersebut.