Mohon tunggu...
Flutterdust
Flutterdust Mohon Tunggu... Mahasiswa - Muhammad Fa'iq Rusydi - Mahasiswa Sejarah dan Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Kecil Bergerak

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ngaleut di Kelenteng Satya Budhi Kota Bandung

1 November 2022   13:45 Diperbarui: 21 April 2023   04:54 1277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masih di bagian dalam kelenteng, pada tembok sisi Timur terdapat prasasti dengan huruf Mandarin, sedangkan di sisi Barat terdapat prasasti Pemerintah Kota Bandung yang menyebut pembangunan kelenteng diarsitekturi oleh Chui Tzu Tse, diresmikan pada tahun 1865 dengan nama Hiap Thian Kiong yang berarti Istana Para Dewa. Material yang digunakan kebanyakan didatangkan dari Tiongkok, sedangkan perubahan nama menjadi Satya Budhi, disebabkan oleh adanya larangan penggunaan nama Cina oleh pemerintah Indonesia pada masa Orde Baru. Tanto menuturkan bila istilah Cina masih cukup sensitif bagi sebagian orang-orang Tionghoa, khususnya yang mengalami berbagai peristiwa masa lalu kurang menyenangkan.

Dalam hal ini, perlu kiranya mengetahui peristiwa Chinezenmoord yang disebut Khoirul Anam dalam (Giri Kedaton: Kuasa Agama dan Politik, hal. 36-37), suatu peristiwa ketika pemerintah kolonial Belanda membantai sekitar 10.000 orang Tionghoa di Batavia pada bulan Oktober 1740, karena adanya kekuatan Tionghoa-Jawa yang memberontak. Pasca peristiwa itu, kebijakan passenstelsel ditetapkan untuk mengontrol kegiatan orang-orang Tionghoa, termasuk pembauranya dengan penduduk pribumi. Mereka digiring supaya tinggal di getho-getho dan pacinan. Kebijakan itulah hemat Anam pada giliranya menghasilkan perasaan in-group dan out-group dalam sejarah Indonesia modern.

Pendapat tersebut dapat dipertimbangkan, mengingat keberadaan orang-orang Tionghoa di Nusantara terbilang sudah sangat lama. Bahkan ada pendapat sejak Zaman Purba berdasarkan temuan arkeologis berupa nekara, tembikar dan kapak batu. Yang jelas sekitar tahun 400 M menurut beberapa catatan sejarah, hubungan Tionghoa-Jawa telah ada. Semakin berkembang antara tahun 900 hingga 1600-an M berdasarkan kebudayaan Dong-Song yang tersebar di Jawa. Bila dikaitkan dengan pertanyaan "Kenapa orang-orang Jawa sebagaimana yang terlihat sekarang memiliki bentuk, kulit bahkan wajah yang berbeda? Ada yang mirip orang Tionghoa, India, Timur Tengah dan seterusnya.. dan seterusnya.."

Penulis kira jawaban untuk pertanyaan tersebut tidak akan jauh dari "Keberadaan daerah pesisir sebagai tempat pelayaran dan perdagangan lintas daratan pada masa lampau." Oke, kembali lagi di dalam kelenteng. Semua tiang-tiang saka menggunakan umpak batu. Tiang-tiang saka yang ada di bagian depan menggunakan umpak berbentuk persegi, sedangkan tiang-tiang saka yang ada di bagian belakang, dekat dengan altar pemujaan, menggunakan umpak berbentuk bulat. Bentuk umpak tersebut mengandung filosofi tersendiri berkaitan dengan semakin sakralnya tempat tersebut. Tanto lalu menunjukkan salah satu alat persembahyangan yang disebut sebagai swee-pwee/siao poe.

Swee-pwee/siao poe adalah dua benda yang memiliki dua sisi (koin juga termasuk benda dengan dua sisi, sehingga bisa dipakai untuk penggantinya) yang digunakan sebagai alat komunikasi dengan Dewa dan merupakan salah satu alat yang digunakan dalam ciam si. Di altar pemujaan ada beberapa Dewa Pendamping dan Dewa Utama. Menurut beberapa literatur, penentuan Dewa-Dewa Utama biasanya tergantung tempat geografis dan profesi masyarakat pendukungnya. Satu lagi dan hampir lupa dituliskan di sini, bangunan kelenteng layaknya bangunan rumah-rumah tradisional di Tiongkok, yaitu dibangun semakin ke belakang dan dengan bentuk yang sama. Oleh sebab itu Kelenteng Satya Budhi tidak dibangun bertingkat, namun ke belakang.

Pukul 09:41 WIB sembari berkeliling mulai dari sisi Barat hingga sisi Timur, diterangkan perwujudan beberapa Dewa yang ada di Kelenteng Satya Budhi. Pukul 10:00 WIB melalui gapura sisi Barat kelenteng, kemudian berteduh di bawah pohon bodhi. Pukul 10:06 WIB selanjutnya masuk ke dalam gedung tempat keberadaan arca perwujudan Buddha Gautama yang persis ada di sisi Barat kelenteng. Gedung tersebut merupakan sebuah vihara bernama Vihara Buddha Gaya yang beraliran Buddha Mahayana. Tanto menuturkan, terdapat berbagai aliran yang ada dalam agama Buddha, namun ada tiga besar aliran Buddha yang ada di Indonesia; pertama Buddha Terawadha, kedua Buddha Mahayana dan ketiga Buddha Tantrayana atau Wajrayana.

Begitu kurang lebih, cukup banyak pengetahuan-pengetahuan disampaikan Tanto tentang Kelenteng Satya Budhi pada sesi ngaleut ini. Sesi ini dapat disebut menjadi bagian bentuk dari apresiasi wisata-sejarah. Setelah sesi ngaleut selesai, berikutnya dilanjut dengan sesi sharing session yang dipimpin Koordinator Komunitas Aleut, Deuis Raniarti. Pada sesi ini peserta secara keseleruhuan berjumlah 19 orang, berbicara dan bercerita tentang apa yang telah mereka dapatkan, sekaligus mengutarakan pendapat dan pengetahuanya yang berkaitan dengan agenda dan objek ngaleut kali ini.

Tidak ada yang merasa kecewa, justru merasa semakin kagum dan bangga atas ragam tinggalan budaya bernilai sejarah. Karena ngaleut dilaksanakan hari Sabtu, dengan peserta terbatas dan kedatangan orang-orang Tionghoa yang melaksanakan ibadah terhitung jari, maka kondisi kenyamanan dan keamanan di dalam kelenteng dapat terjaga. Kegiatan diakhiri dengan sesi foto bersama di depan kelenteng pukul 11:11 WIB. Demikian barangkali yang dapat diterangkan tentang apa itu ngaleut dan bagaimana Ngaleut Klenteng Satya Budhi. Sementara itu, di daerah Penulis biasanya disebut dengan istilah blusukan. Sekian, semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun