Mohon tunggu...
Flutterdust
Flutterdust Mohon Tunggu... Mahasiswa - Muhammad Fa'iq Rusydi - Mahasiswa Sejarah dan Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Kecil Bergerak

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ngaleut di Kelenteng Satya Budhi Kota Bandung

1 November 2022   13:45 Diperbarui: 21 April 2023   04:54 1277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ngaleut berasal dari bahasa Sunda dengan akar kata aleut yang artinya berjalan beriringan. Begitu kira-kira mula prasangka maksud kegiatan bertajuk Ngaleut Klenteng Satya Budhi yang diinisiasi oleh Komunitas Aleut di Kelenteng Satya Budhi, Jalan Kelenteng No. 10/23a, Ciroyom, Kec. Andir, Kota Bandung pada Sabtu (29/10/2022). Namun nyatanya setelah mengikuti kegiatan tersebut, bukan demikian. Yang dimaksud dengan ngaleut bukan sekedar berjalan beriringan, tetapi berjalan bersama menyisiri dan mengkaji objek-objek bersejarah di sekitar.

Kegiatan ini dibuka untuk umum dan terbatas. Setidaknya ada tiga sesi dalam kegiatan ini; pertama persiapan sekaligus perkenalan, kedua ngaleut dan ketiga sharing session. Kegiatan dibuka pukul 07:30 WIB, namun sayangnya Penulis baru datang pukul 08:15 WIB karena terlambat. Pukul 08:18 WIB para peserta termasuk anggota Komunitas Aleut ternyata sudah berada di halaman depan sisi barat kelenteng, artinya waktu ini telah masuk pada sesi kedua yaitu ngaleut. Sesi ini dipimpin oleh anggota Komunitas Aleut sekaligus pengurus di Kelenteng Satya Budhi, Kristanto Kurniawan.

Sebelum menghampiri teman-teman peserta, Penulis sempat terpesona setelah melewati gapura dan sampai pada halaman pertama. Bentuk kelenteng terlihat kalah tinggi dan besar dengan beberapa gedung di belakangnya, namun tak kalah indah dan megah. Halaman kelenteng terbilang panjang dan cukup luas, di ujungnya terdapat patung seorang tokoh yang memegang senjata sambil mengendarai kuda. Di belakang patung tersebut, ada tempat untuk menaruh dupa berbentuk bulat dan beratap yang disebut sebagai hiolo. Di belakang hiolo tersebut barulah kelenteng. Baik gapura, patung maupun kelenteng, kesemuanya menghadap Selatan.

Teman-teman peserta ternyata masih dan sedang melihat lukisan-lukisan yang ada di dinding kelenteng, dimulai dari dinding bagian depan sisi Barat hingga dinding bagian samping sisi Timur. The Kristanto Kurniawan yang akrab dipanggil Tanto, menerangkan satu per satu lukisan tersebut, sementara Penulis langsung mengambil ancang-ancang foto menggunakan kamera depan hp–sambil merasa menyesal karena dua hal; pertama lupa tidak membawa meteran untuk mengetahui diameter-diameter objek atau benda-benda budaya dan kedua kamera belakang masih rusak sehingga sudah muncul dugaan foto yang akan dihasilkan pasti carut-marut tidak karuan.

Setelah dari sisi Timur, dilanjut menuju dua patung singa penjaga di depan teras kelenteng yang menghadap ke Selatan. Diterangkan bahwa singa tersebut berkelamin jantan dan betina, dapat diidentifikasi melalui bentuk kelamin dan apa yang sedang dipegangnya. Namun diingatkan pula di sini, bahwa tidak semua bangunan yang terdapat sepasang patung singa penjaga dapat diidentifikasi melalui hal tersebut, paling umum adalah dari apa yang dipegang. Pada Kelenteng Satya Budhi, singa yang jantan berada di sebelah Timur, memiliki 'kelamin yang menonjol' dan memegang tongkat kayu. Sedangkan singa yang betina berada di sebelah Barat, tidak memiliki 'kelamin yang menonjol' dan sedang menggendong sang anak.

Selanjutnya penyesalan yang sempat disinggung sebelumnya, semakin membuncah tatkala kaki menapak teras kelenteng. Pasalnya di teras kelenteng, bukan hanya terdapat lukisan-lukisan yang indah, namun juga arsitektur dan ornamen-ornamen yang halus, unik, menarik, khas dan meriah. Di antaranya ada naga batu yang melilit tiang saka, relief-relief halus pada dinding batu, kuncian-kuncian dan ornamen-ornamen flora serta relief-relief manusia pada tiang saka. Begitu sangat disayangkan bila dilewatkan. Kuncian-kuncian dan ornamen-ornamen tiang saka terutama yang menarik perhatian, langgamnya mirip dengan yang ada di rumah tradisional Jawa, terutama Jawa Tengah dan Pesisiran.

Bangunan kelenteng yang berada di Indonesia sendiri secara umumnya, dibangun berdasarkan arsitektur dari Tiongkok Selatan. Selanjutnya, diterangkan bahwa Kelenteng Satya Budhi dibangun dekat dengan sumber air, membujur Timur-Barat, menghadap ke Selatan dan dekat dengan keramaian atau pasar. Sedangkan keberadaan kelenteng di dekat keramaian dikaitkan dengan kebutuhan masyarakat untuk beribadah pada saat itu. Lebih lanjut diterangkan, konsep bangunan yang dipakai kelenteng ini adalah kelenteng tiga pintu.

Pada bangunan yang menggunakan konsep kelenteng tiga pintu, pintu yang tengah tidak ditujukan sebagai pintu masuk dan pintu keluar karena memiliki makna sebagai 'pintunya Dewa'. Pintu yang ditujukan sebagai pintu masuk terdapat di kiri tuan rumah (kiri tempat klenteng menghadap), sebaliknya, pintu keluar terdapat di kanan tuan rumah (kanan tempat klenteng menghadap). Tuan rumah adalah penyebutan bagi dewa utama dari sebuah kelenteng.

Setelah masuk melalui pintu kanan pukul 08.55 WIB, terdapat semacam loker dari kayu setinggi dada orang dewasa, di atasnya terdapat dupa yang disediakan bagi pengunjung yang ingin berdoa atau beribadah. Loker tersebut digunakan untuk menaruh lembaran kertas yang berisikan syair-syair tertentu, ada juga di sisi lain loker yang saat ini kosong, namun kata Tanto, dahulu terdapat lembaran kertas yang berisikan resep herbal. Biasanya hal yang perlu sebelum kita dapat mengambil lembaran kertas tersebut, kita harus melakukan sebuah tata cara yang dikenal dengan istilah ciam si. Ciam si sendiri merupakan tata cara yang digunakan oleh orang Tionghoa untuk mendapatkan nasihat dari permasalahan hidup atau zaman dahulu bisa juga digunakan sebagai sarana pengobatan dari tuan rumah sebuah kelenteng. Namun perlu diingat, ciam si hanya dapat dilakukan untuk masalah urgent saja, bukan untuk main-main.

Di dalam kelenteng ini tepatnya di belakang 'pintu yang bergambarkan Dewa Pintu', terdapat hoiolo lagi tetapi tidak beratap, samping kanan-kirinya ada hiasan muka mirip Kala. Di dekat pintu masuk terdapat lonceng cukup besar dan di dekat pintu keluar terdapat bedug yang tidak terlalu besar. Tepat di bagian tengah kelenteng, yakni utara hiolo, tidak ada pelindung atau atap. Di bawahnya terdapat cekungan persegi semacam kolam namun memiliki selokan untuk mengalirkan air keluar. Tanto membenarkan bahwa tempat tersebut ditujukan untuk pembuangan air hujan dan cahaya matahari, yang mana tempat tersebut merupakan tempat yang dianggap menghubungkan langit dan bumi. Jalan menuju altar pemujaan pun berada di sisi kanan dan kiri cekungan tersebut.

Masih di bagian dalam kelenteng, pada tembok sisi Timur terdapat prasasti dengan huruf Mandarin, sedangkan di sisi Barat terdapat prasasti Pemerintah Kota Bandung yang menyebut pembangunan kelenteng diarsitekturi oleh Chui Tzu Tse, diresmikan pada tahun 1865 dengan nama Hiap Thian Kiong yang berarti Istana Para Dewa. Material yang digunakan kebanyakan didatangkan dari Tiongkok, sedangkan perubahan nama menjadi Satya Budhi, disebabkan oleh adanya larangan penggunaan nama Cina oleh pemerintah Indonesia pada masa Orde Baru. Tanto menuturkan bila istilah Cina masih cukup sensitif bagi sebagian orang-orang Tionghoa, khususnya yang mengalami berbagai peristiwa masa lalu kurang menyenangkan.

Dalam hal ini, perlu kiranya mengetahui peristiwa Chinezenmoord yang disebut Khoirul Anam dalam (Giri Kedaton: Kuasa Agama dan Politik, hal. 36-37), suatu peristiwa ketika pemerintah kolonial Belanda membantai sekitar 10.000 orang Tionghoa di Batavia pada bulan Oktober 1740, karena adanya kekuatan Tionghoa-Jawa yang memberontak. Pasca peristiwa itu, kebijakan passenstelsel ditetapkan untuk mengontrol kegiatan orang-orang Tionghoa, termasuk pembauranya dengan penduduk pribumi. Mereka digiring supaya tinggal di getho-getho dan pacinan. Kebijakan itulah hemat Anam pada giliranya menghasilkan perasaan in-group dan out-group dalam sejarah Indonesia modern.

Pendapat tersebut dapat dipertimbangkan, mengingat keberadaan orang-orang Tionghoa di Nusantara terbilang sudah sangat lama. Bahkan ada pendapat sejak Zaman Purba berdasarkan temuan arkeologis berupa nekara, tembikar dan kapak batu. Yang jelas sekitar tahun 400 M menurut beberapa catatan sejarah, hubungan Tionghoa-Jawa telah ada. Semakin berkembang antara tahun 900 hingga 1600-an M berdasarkan kebudayaan Dong-Song yang tersebar di Jawa. Bila dikaitkan dengan pertanyaan "Kenapa orang-orang Jawa sebagaimana yang terlihat sekarang memiliki bentuk, kulit bahkan wajah yang berbeda? Ada yang mirip orang Tionghoa, India, Timur Tengah dan seterusnya.. dan seterusnya.."

Penulis kira jawaban untuk pertanyaan tersebut tidak akan jauh dari "Keberadaan daerah pesisir sebagai tempat pelayaran dan perdagangan lintas daratan pada masa lampau." Oke, kembali lagi di dalam kelenteng. Semua tiang-tiang saka menggunakan umpak batu. Tiang-tiang saka yang ada di bagian depan menggunakan umpak berbentuk persegi, sedangkan tiang-tiang saka yang ada di bagian belakang, dekat dengan altar pemujaan, menggunakan umpak berbentuk bulat. Bentuk umpak tersebut mengandung filosofi tersendiri berkaitan dengan semakin sakralnya tempat tersebut. Tanto lalu menunjukkan salah satu alat persembahyangan yang disebut sebagai swee-pwee/siao poe.

Swee-pwee/siao poe adalah dua benda yang memiliki dua sisi (koin juga termasuk benda dengan dua sisi, sehingga bisa dipakai untuk penggantinya) yang digunakan sebagai alat komunikasi dengan Dewa dan merupakan salah satu alat yang digunakan dalam ciam si. Di altar pemujaan ada beberapa Dewa Pendamping dan Dewa Utama. Menurut beberapa literatur, penentuan Dewa-Dewa Utama biasanya tergantung tempat geografis dan profesi masyarakat pendukungnya. Satu lagi dan hampir lupa dituliskan di sini, bangunan kelenteng layaknya bangunan rumah-rumah tradisional di Tiongkok, yaitu dibangun semakin ke belakang dan dengan bentuk yang sama. Oleh sebab itu Kelenteng Satya Budhi tidak dibangun bertingkat, namun ke belakang.

Pukul 09:41 WIB sembari berkeliling mulai dari sisi Barat hingga sisi Timur, diterangkan perwujudan beberapa Dewa yang ada di Kelenteng Satya Budhi. Pukul 10:00 WIB melalui gapura sisi Barat kelenteng, kemudian berteduh di bawah pohon bodhi. Pukul 10:06 WIB selanjutnya masuk ke dalam gedung tempat keberadaan arca perwujudan Buddha Gautama yang persis ada di sisi Barat kelenteng. Gedung tersebut merupakan sebuah vihara bernama Vihara Buddha Gaya yang beraliran Buddha Mahayana. Tanto menuturkan, terdapat berbagai aliran yang ada dalam agama Buddha, namun ada tiga besar aliran Buddha yang ada di Indonesia; pertama Buddha Terawadha, kedua Buddha Mahayana dan ketiga Buddha Tantrayana atau Wajrayana.

Begitu kurang lebih, cukup banyak pengetahuan-pengetahuan disampaikan Tanto tentang Kelenteng Satya Budhi pada sesi ngaleut ini. Sesi ini dapat disebut menjadi bagian bentuk dari apresiasi wisata-sejarah. Setelah sesi ngaleut selesai, berikutnya dilanjut dengan sesi sharing session yang dipimpin Koordinator Komunitas Aleut, Deuis Raniarti. Pada sesi ini peserta secara keseleruhuan berjumlah 19 orang, berbicara dan bercerita tentang apa yang telah mereka dapatkan, sekaligus mengutarakan pendapat dan pengetahuanya yang berkaitan dengan agenda dan objek ngaleut kali ini.

Tidak ada yang merasa kecewa, justru merasa semakin kagum dan bangga atas ragam tinggalan budaya bernilai sejarah. Karena ngaleut dilaksanakan hari Sabtu, dengan peserta terbatas dan kedatangan orang-orang Tionghoa yang melaksanakan ibadah terhitung jari, maka kondisi kenyamanan dan keamanan di dalam kelenteng dapat terjaga. Kegiatan diakhiri dengan sesi foto bersama di depan kelenteng pukul 11:11 WIB. Demikian barangkali yang dapat diterangkan tentang apa itu ngaleut dan bagaimana Ngaleut Klenteng Satya Budhi. Sementara itu, di daerah Penulis biasanya disebut dengan istilah blusukan. Sekian, semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun