"Mungkin kalau begitu kamu harus mencoba bertanya sama orang"
"sudah bu, ya tapi itu tadi..."
"kamu kalo nanya tulus ndak? Kalau saya liat kamu yang harus mencoba tulus"
Aku hanya mengangguk-anggukkan dagu, gak bisa bilang apa-apa.
"Seperti saya ini" ibu dosen melanjutkan "saya dulu tinggal di asrama. saya kalau pulang kuliah gak bisa main kayak yang lain. Kami di asrama jam mainnya terbatas. Yang lain bisa main bisa kerja kelompok. Meskipun gitu, temen-temen tetep cinta sama aku..."
"kok bisa bu?"
"ya karena aku orangnya tulus. Kalau temen butuh aku, ya aku tolong, dengan tulus. Kalau ada temanku ada yang kurang duit, kalau aku ada duit, ya aku kasihlah mereka berepa... Kalau ndak ya aku bilang aku gak punya... Dan aku kalau tanya itu ya gitu, merendah, gak ada gengsi, jadi ndak nyakitin hati temannya ibu juga"
Aku merasa aku ada pada titik terendahku. Hal yang selama ini tidak aku senangi dan selalu aku hajar dengan prestise dan keaktifan pada kegiatan mahasiswa sebagai kompensasi loneliness itu berada di depan mataku. Memang, aku seorang fotografer di kampus, aku juga seorang filmmaker, aku punya bakat musik, aku gak terbilang susah banget hidupnya, aku juga ke kampus bawa mobil sendiri, tapi tetep aku sendiri. Bayangkan, aku naik mobil, tapi hanya aku sendiri, sangat jarang sekali ada temen ikut di jok samping atau belakang...sedih juga sih. Di tengah kehidupan perkuliahan yang dinamika sosialnya ketat, sarat dengan image dan gengsi, survival bisa jadi bergantung pada informasi yang ada pada budaya kolektif tersistem yang terkadang eksklusif.
"Kamu harus cari temen, yang buuaannyyaakkk...kalo ndak gitu nanti kamu susah"
"Iya bu..." hanya dia kata iya dan bu itu yang bisa keluar.
"nanti kamu ndak ada yang nolong, kayak gini terus"