Mohon tunggu...
Ruziqna
Ruziqna Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Halo. Akun ini akan digunakan untuk berbagi konten seputar parenting. Enjoy!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Promosi Kesehatan Mental Keluarga melalui Kegiatan Makan Bersama

12 Desember 2022   07:31 Diperbarui: 12 Desember 2022   08:22 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bermain media sosial mengurangi intensitas makan bersama keluarga (Foto diambil dari https://www.pexels.com/@kseverin/)

Oleh Ruziqna

Kebiasaan bermakna yang saya dirindukan ketika merantau jauh dari keluarga adalah makan bersama. Keluarga saya memiliki rutinitas makan bersama di rumah. 

Kebiasaan itu sudah dimulai mungkin ketika orangtua saya baru menikah, lalu punya anak, mulai dari saya kecil, hingga saya dewasa. 

Setiap pagi saya membantu ibu untuk menghidangkan makanan untuk sarapan bersama. Mulai dari menyiapkan nasi, lauk, 5 piring dan 5 gelas. Semua makanan akan saya susun di lantai. Saya dan keluarga memang makan bersama dengan duduk di lantai. 

Kami tidak menggunakan meja makan untuk makan bersama, meja tersebut hanya digunakan untuk meletakkan tudung saji yang menutupi makanan saja. Setelah makanan selesai dihidangkan, saya akan memanggil ayah dan kedua adik saya untuk makan. Ibu saya juga bersiap dari dapur untuk makan. 

Biasanya adik saya menyetel acara di tv sambil makan. Kami makan sambil bercerita apa saja. Mulai dari menanyakan kegiatan yang akan dilakukan di sekolah nanti, membahas rasa makanan, membahas kegiatan yang sudah berlalu, menanyakan uang untuk biaya tambahan di sekolah, dan lain sebagainya. Selesai makan, piring kotor akan langsung dibawa ke dapur untuk dicuci. Kami pun melanjutkan kegiatan persiapan ke sekolah atau bekerja.

Hal yang tidak jauh berbeda juga akan saya alami saat makan malam. Saya dan keluarga kembali makan malam bersama dengan hidangan makanan yang sudah saya sediakan. 

Hal yang berbeda adalah biasanya setelah makan malam kami semua akan duduk lagi berkumpul untuk nonton bersama sambil makan cemilan. Kegiatan tersebut juga akan diisi dengan obrolan ringan tentang aktivitas yang sudah dilakukan seharian, bercanda, dan menceritakan apapun yang ingin diceritakan. 

Kami akan saling menanggapi cerita satu sama lain. Setelah kira-kira satu jam berlalu, kami melanjutkan aktivitas lainnya, seperti mengerjakan tugas, dan bersiap untuk istirahat. 

Pada hari senin sampai jumat, kami biasanya akan makan siang sendiri-sendiri. Misalnya, orangtua saya akan makan siang di sekolah karena jam mengajarnya sampai sore. 

Saya dan adik-adik saya juga akan makan siang di sekolah karena akan pulang sore. Kecuali hari sabtu dan minggu, kami biasanya libur dan akan makan siang bersama di rumah. Begitulah kira-kira momen makan bersama keluarga di rumah. Bagi saya momen ini sangat berkesan. 

Hal ini karena pada momen ini saya dan keluarga mempunyai ruang untuk menjalin ikatan keluarga lebih intim. Komunikasi yang terjadi sangat hangat, dipenuhi dengan candaan dan tawa. Masing-masing dari kami akan merespon cerita yang lain. 

Cerita saya mungkin akan berkaitan dengan pembaca yang juga pernah merasakan hangatnya momen makan bersama keluarga. Saya pun juga merasakan hal yang sama. 

Saya turut mempertanyakan, dampak apa yang sebenarnya saya rasakan dari momen makan bersama sehingga saya merasa momen ini sangat berkesan? Untuk menjawab rasa penasaran ini, saya mencoba mencari beberapa penelitian ilmiah yang mungkin dapat memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. 

Momen makan bersama keluarga (Foto diambil dari https://www.pexels.com/@august-de-richelieu/)
Momen makan bersama keluarga (Foto diambil dari https://www.pexels.com/@august-de-richelieu/)

Studi psikologi menyebut kegiatan makan bersama keluarga dengan istilah family meals. Makan bersama keluarga cukup banyak menjadi topik penelitian di bidang psikologi. 

Makan bersama keluarga secara sederhana berarti frekuensi atau seberapa sering makan bersama anggota keluarga (Kameyama, dkk., 2021). Disebutkan bahwa kegiatan makan bersama keluarga salah satu upaya mempromosikan kesehatan mental kepada anggota keluarga. Hal ini karena makan bersama keluarga dapat menjadi suatu peristiwa yang simbolis. 

Makan bersama keluarga biasanya sangat bernilai, membawa rasa kesatuan keluarga. Makan bersama keluarga adalah suatu momen ketika keluarga dapat melepaskan tugas lain yang dianggap prioritas dengan menghabiskan waktu bersama keluarga (Middleton, dkk., 2022). 

Momen makan bersama keluarga ditemukan berdampak positif bagi remaja. Armstrong-Carter dan Telzer (2020) melalui laporan harian remaja menemukan bahwa remaja merasakan kesenangan yang meningkat pada hari mereka makan bersama keluarga. 

Hal ini terjadi salah satunya karena makan bersama  memberikan anggota keluarga kesempatan untuk berinteraksi dengan sesama. Makan bersama keluarga turut menjadi wadah bagi orangtua menyampaikan pesan, nasehat, mendengarkan dan memperhatikan anaknya (Suksatan, dkk., 2021). 

Melalui makan bersama, orangtua dapat mencontohkan cara makan yang benar dan mengajak anggota keluarga untuk makan makanan yang sehat, seperti sayur dan buah (Knobl, dkk., 2022).

Berdasarkan hal tersebut, saya jadi mengingat banyak hal lain yang saya dapatkan saat makan bersama keluarga. Misalnya, kali pertama saya makan teri goreng sambal adalah saat makan bersama keluarga. 

Ayah saya yang menawarkan untuk pertama kali kepada saya. Di beberapa momen, ayah saya juga menawarkan untuk mencicipi ikan gulai asam saat makan bersama. Di awal mencoba, saya langsung tidak suka. 

Ayah saya selalu menawarkan ikan gulai asam kepada saya setiap kali dihidangkan makanan tersebut. Pada akhirnya, saya menyadari ikan gulai asam ternyata sangat enak, dan hal itu terjadi karena tawaran ayah yang tidak tahu untuk keberapa kali, kira-kira momen saya suka ikan gulai asam adalah ketika saya kuliah. Misalnya lagi, sejak kecil saya tidak suka makan sayur. 

Setiap kali dihidangkan sayur, saya jarang mengambilnya. Namun ayah dan ibu saya terus menawarkan untuk makan sayur, walaupun saya bilang tidak suka. Sampai pada akhirnya, saya suka setiap sayur yang dimasak ibu sejak SMA. 

Sebuah studi literatur yang dilakukan oleh Middleton, dkk (2020) merangkum alasan orangtua mengajak anggota keluarga untuk makan bersama di rumah. Pertama, orangtua merasa bahwa makan bersama memberikan kesempatan kepada anggota keluarga untuk berkomunikasi dan menjalin ikatan kekeluargaan yang lebih intim. 

Kedua, makan bersama dianggap sebagai suatu pengalaman positif, sehat, dapat melindungi anak-anak, momen untuk mengajarkan sesuatu ke anak, dan kesempatan untuk anak dapat mencontoh perilaku yang baik dari orangtua. Alasan lain adalah orangtua ingin memastikan setiap anggota keluarga makan dengan cukup sehingga tidak merasa kelaparan. 

Saya ingat salah satu momen makan bersama keluarga yang membahas tentang pembelian kursi untuk ruang tamu rumah saya. Di saat momen makan bersama tersebut, ayah saya sembari menyampaikan keinginannya untuk membeli kursi. Beliau meminta pendapat saya dan kedua adik saya terkait apakah perlu membeli kursi, jika iya kursi jenis apa yang bagus untuk ruang tamu kami. 

Di lain momen, giliran anak-anak yang menyampaikan keinginan untuk meminta izin keluar bersama teman atau meminta izin untuk membeli barang. Melalui makan bersama keluarga, saya juga mempelajari cara yang dilakukan ibu saya terkait mengambil makanan yang sopan, menyimpan makanan agar tidak mudah basi, mendahulukan orangtua untuk mengambil makanan, makan dengan tenang, dan tidak berebutan makanan saat makan. 

Bermain media sosial mengurangi intensitas makan bersama keluarga (Foto diambil dari https://www.pexels.com/@kseverin/)
Bermain media sosial mengurangi intensitas makan bersama keluarga (Foto diambil dari https://www.pexels.com/@kseverin/)

Makan bersama keluarga ternyata memiliki hubungan positif dengan berbagai aspek dalam kehidupan keluarga. Pastinya hal ini menjadi salah satu alasan untuk mempraktekkan kembali atau terus mempertahankan kebiasaan ini di rumah. 

Meskipun banyak hal-hal yang dapat menurunkan kebiasaan makan bersama keluarga. Jones (2018) merangkum beberapa hal yang berkaitan dengan kebiasan ini. 

Misalnya, kesibukan terhadap jadwal sekolah atau jadwal kerja membuat anggota keluarga kekurangan waktu untuk melakukan makan bersama. Hal ini dapat menyebabkan orangtua memilih untuk menyediakan makanan cepat saji, frozen, atau siap saji untuk keluarga. 

Selain itu, berbagai kegiatan yang dilakukan membuat anggota keluarga menghabiskan waktu makan sendirian sesuai dengan waktu istirahat mereka sendiri. Orangtua yang sibuk bekerja biasanya tidak memiliki waktu untuk menyediakan makanan, sehingga mereka lebih memilih untuk memesan makanan cepat saji. 

Waktu kerja yang lama biasanya akan menghilangkan kebiasaan makan bersama keluarga di rumah. Selain itu, perkembangan teknologi turut menjadi salah satu penghambat kebiasaan makan bersama keluarga. 

Misalnya makan sambil melihat media sosial dengan gawai telepon, bermain game, atau menonton TV. Penggunaan telepon atau TV dapat membuat anggota keluarga menunda untuk makan bersama, atau makan tergesa-gesa agar dapat segera kembali melihat telepon atau bermain games. Hal ini lambat laun akan berdampak pada semakin berkurangnya hubungan yang sehat pada anggota keluarga. 

Kesadaran akan pentingnya kebiasaan makan bersama anggota keluarga perlu dipertimbangkan. Saya menyadari bahwa makan bersama keluarga dapat menjadi salah satu momen kebersamaan, penyatuan, keintiman dengan orangtua, anak, atau saudara. 

Berdasarkan manfaat yang saya rasakan melalui kebiasaan makan bersama keluarga, maka saya akan tetap mempertahankan kebiasaan ini di keluarga saya. Kesibukan pekerjaan memang menjadi salah satu faktor yang menghambat kebiasaan ini. 

Misalnya, saat ini saya dan keluarga tidak dapat melakukannya setiap sarapan pagi di hari kerja, namun saya akan mengajak anggota keluarga untuk makan bersama di malam hari dan di akhir pekan. Selain itu, saat turut akan mempraktekkan hal tersebut ketika saya telah memiliki keluarga kecil nanti.  Melalui sharing tulisan ini, semoga menjadi pengetahuan, pengingat, dan inspirasi bagi pembaca. 

Referensi

Armstrong-Carter, E., & Telzer, E. H. (2020). Family meals buffer the daily emotional risk associated with family conflict. Developmental Psychology, 56(11). https://doi.org/10.1037/dev0001111

Jones, B. L. (2018). Making time for family meals: Parental influences, home eating environments, barriers and protective factors. Physiology and Behavior, 193. https://doi.org/10.1016/j.physbeh.2018.03.035

Kameyama, N., Morimoto, Y., Hashimoto, A., Inoue, H., Nagaya, I., Nakamura, K., & Kuwano, T. (2021). The relationship between family meals and mental health problems in japanese elementary school children: A cross-sectional study. International Journal of Environmental Research and Public Health, 18(17). https://doi.org/10.3390/ijerph18179281

Knobl, V., Dallacker, M., Hertwig, R., & Mata, J. (2022). Happy and healthy: How family mealtime routines relate to child nutritional health. Appetite, 171. https://doi.org/10.1016/j.appet.2022.105939

Middleton, G., Golley, R. K., Patterson, K. A., & Coveney, J. (2022). The Family Meal Framework: A grounded theory study conceptualising the work that underpins the family meal. Appetite, 175(March), 106071. https://doi.org/10.1016/j.appet.2022.106071

Middleton, G., Golley, R., Patterson, K., Le Moal, F., & Coveney, J. (2020). What can families gain from the family meal? A mixed-papers systematic review. Appetite, 153(November 2019), 104725. https://doi.org/10.1016/j.appet.2020.104725

Suksatan, W., Choompunuch, B., & Posai, V. (2021). Family Meals Experiences Families with Adolescents: A Descriptive of Literature Review. Indian Journal of Forensic Medicine & Toxicology, March. https://doi.org/10.37506/ijfmt.v15i2.14920

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun