Mohon tunggu...
Florensius Marsudi
Florensius Marsudi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Manusia biasa, sedang belajar untuk hidup.

Penyuka humaniora - perenda kata.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Sekali Tidak, Tetap Tidak!

1 April 2013   12:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:54 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kursi empuk memang enak untuk duduk. Namun, terlalu lama duduk di kursi empuk; menjadikan orang MALAS. Malas berpikir, malas ber-ZIKIR!

--------------------------------------------------------------------------------------------------------

"Tidak..."

Pulang. Cuaca siang  ini agak terik. Setelah membuka pagar, masuk garasi. Aku kemudian ke kamar. Ganti baju, celana dan langsung ke dapur, hendak cuci tangan. Kulihat Prima, putriku di ruang tamu sedang asyik bermain sendirian.

"Ima...," panggilku.

"Ya Pa...," Prima mendekat.

"Prima sudah makan, sayang?"  tanyaku.

"Sudah, Pa."

"Makan apa, tadi?"

"Makan nasi, sayur ...tlus kuning telul, pake kuah..." Ima mencoba menjawab secara runut.

"Ayo makan lagi bareng Papa?" pintaku.

"Tidaklah. Ima masih kenyang... nanti sakit pelut kalau makan lagi..."

Aku mengambil piring. Kulap piring itu. Kulihat pengasuh Prima sedang menyeterika baju di ruang belakang.

"Ima, makan bareng Papa yuk..."

"Ih, Papa nih... Ima bilang tidak ya...tidak. Ima masih ke....nyang," kata Ima sambil bibirnya manyun....

"Cukup..."

Sahabat Kompasiana, percakapanku dengan putriku siang ini, percakapan itu menjadi inspirasi tulisanku. Dan  berita "terheboh" salah satu partai di Indonesia yang raya ini, juga menjadi daya dukung kedua di penulisanku, itulah kenyataannya.

Sangat menarik saat anakku mengatakan "tidak" untuk diajak makan bersama orang tuanya. Ia tidak mau makan lagi, ia sudah kenyang. Artinya, anakku cukup tahu diri mengukur seberapa besar "volume" - daya tampung - perutnya.  Ia tidak akan tambah makan. Ia cukup dengan apa yang telah ia terima, telah makan!

Dalam arti tertentu, jika seseorang memimpin partai, menjadi presiden, menjadi petinggi, atau apapun sebutannya orang itu, sebenarnya ia juga sedang "makan" dengan "cara" yang berbeda.  Jika ia sedang menjadi presiden, ia sedang menyerap - memakan - aspirasi rakyat, yang telah memilihnya, memercayainya. Mestinya ia mencukupkan diri dengan "makan" di wilayah kerja kepresidenannya itu. Memokuskannya. Andaikan ada tawaran kedudukan yang lain (entah partai, atau "partai-partai") memintanya menjadi pemimpin, menjadi ketua ini...itu, mestinya dengan besar hati ia akan menolaknya.

Andai ada seorang menteri, ia sebenarnya juga sedang dan harus "makan olahan" yang tersedia  di kementriannya. Ia mestinya fokus dengan bidang kerjanya. Kalau sang menteri merangkap tugas ini, tugas itu...kapan ia akan konsentrasi kerja membantu melancarkan tugas presiden?

Kenyataannya bagaimana? Rangkap tugas, rangkap kerja; itu biasa. Merangkap jabatan, merangkap tugas, bisa dipastikan akan terjadi pepatah gagak ngemut cagak.  Cagak = tonggak, tempat bertengger burung gagak. Jika tempat bertengger sendiri sudah di- emut - dimakan, dimanakah pijakannya kemudian? Jika orang sudah "menduakan hatinya", orang tak akan fokus dengan tempat - wilayah kerjanya, sepandai - sesahih - apapun orang! Itulah sebabnya, secara badani, Sang Pencipta cuma menciptakan kepala manusia cuma satu. Supaya manusia cuma mempunyai satu pikiran, fokus dengan dunianya (kerja, jabatan, fungsinya), tidak mencla-mencle, plin-plan, dan tidak ragu. Orang ragu, plin-plan, mencla-mencle; karena ia menganggap kepalanya ada dua.

Butuh penghargaan

Manusia memang butuh dihargai, dari sisi jabatan, nama baik, peran dan seterusnya. Namun jika penghargaan itu amat dicari, apalagi dipaksakan; penghargaan - bahkan pengakuan untuk dihargai, dihormati - itu tak akan lestari. Pengakuan itu akan lekang ditelan jaman. Orang tak akan mengingatnya lagi. Justru orang yang mencari-cari 'pengakuan diri', 'merasa berjasa', 'merasa kuat' akan dikenang sebagai orang yang haus akan kedudukan.

Orang bisa saja membela diri dengan perkataan, "(Jabatan) ini demi kebaikan bersama." Pertanyaan dalam hati saya, kebersamaan yang mana, kebersamaan siapa? Kebersamaan yang hanya segelintir manusiakah, bisa jadi iya.

Akhirnya, seberapa berat dan susahkah orang mau mengatakan "saya cukup dengan kedudukan ini saja", "saya cukup dengan 'kursi' ini", "silakan Anda berkarya...!" Hal-hal tersebut hanya mungkin terkatakan, teraktualkan jika orang menyadari 'batas diri', orang menyadari 'kemampuan diri', orang menyadari 'delegasi diri'. Putriku berani mengatakan "tidak makan (lagi)," karena ia merasa kenyang. Dalam arti tertentu, putriku 'mendelegasikan' perutnya kepada perutku!

Kursi empuk memang enak untuk duduk. Namun, terlalu lama duduk di kursi empuk, akan menjadikan orang MALAS. Malas berpikir, malas ber-ZIKIR!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun