Bertolak dari keprihatinan
“Makin sedikit atau bahkan tidak ada pemimpin negara, birokrat, dan politisi yang rela mengorbankan kepentingan pribadi demi kepentingan rakyat. Kejujuran, rasa malu, dan rasa bersalah absen kendati kebijakannya mengkhianati publik. Kesejahteraan rakyat dirampok dan kekuasaan untuk sebesar-besarnya kemakmuran penguasa.”[1]
Tulisan ini hanya sekedar tulisan iseng. Iseng dikala jengah menonton drama berbabak-babak di panggung politik Indonesia raya ini. Drama yang pemainnya (kadang) tak tahu malu memertontonkan urat kemaluannya. Drama yang seolah tak ada rasa salah ketika kata bisa menciderai hati. Tulisan ini hanya sekedar "bagi hati, olah budi sempit", bahwa kepemimpinan itu senantiasa berrelasi dengan kesejahteraan-kemakmuran rakyat yang dipimpinnya.
Maka, jika Anda mau melanjutkan – membaca - tulisan ini, Anda tidak boleh 'portes'....eh protes. Protes terhadap saya, apalagi protes terhadap keberadaan tulisan saya, proteslah kepada Admin yang menongolkan tulisan saya (jangan marah bung Admin). Lebih dari itu, tulisan ini semata-mata sebagai "kaca benggala" diri saya, kaca untuk bercermin diri dalam memraktikkan kepemimpinan.
Tak berkumis
Lo, apa hubungannya antara kumis dan tak berkumis dengan pilekkada? Ah…, mudah saja dihubungkan. Manusia yang tak berkumis (tak menyukai kumis), biasanya ia tipe manusia pembersih. Minimal dua hari sekali ia akan cukur kumis. Kalau rambut (kumis) itu tak dicukur dalam waktu dua hari saja, pastilah kumis itu sudah nyrodok – nyamplang - ke sana-kemari. Korelasi antara kebersihan wajah dan kerapian wajah selalu seiring sejalan. Intinya, jika ingin wajah bersih tanpa kumis; ya...harus rajin cukur-cukur, cukur rambut kumis, maksudnya.
Harapannya, semoga dengan tampilan Jokowi yang sebersih itu, Jokowi (kalau jadi gubernur) juga mampu "bersih-bersih" yang kotor, jembreg (jorok)....dan lain sebagainya.
Kurus
Setahu saya Jokowi itu kurus (atau yah….”sedang-sedang saja”). Orang yang kurus biasanya karena prihatin (entah prihatin karena situasi dan kondisi - sakit, ataupun dibuat prihatin [matiraga], bisa pula dikondisikan prihatin karena memikirkan yang lain). Dalam keadaan seperti itu, saya sangat mendukung (mendukung kurus – keprihatinan Jokowi).
Pemikiran saya berbanding terbalik, untuk apa menjadi orang yang gemuk tapi cuma GEMUK MEMIKIRKAN DIRI SENDIRI? Orang gemuk biasanya lamban, ngos-ngosan jika diajak berlari mengejar layangan (layang-layang). Layang-layang itu adalah cita-cita. Cita-cita yang harus dipancangkan, dikendalikan....tak dibiarkan. Layang-layang yang perlu “ditantangkan arus angin” agar ia mampu naik mengangkasa.Warga Jakarta ibarat layang-layang yang harus dikendalikan, dinaikkan – dimuliakan martabat kehidupannya.Pemuliaan warga Jakarta sebagai manusia sebagaipublik, itu bisa berarti menghargai hidup mereka, membangun martabat mereka; tak hanya sekedarganjal, gebuk, dan gusur, yang berujung pada hancur.
Kekurusan Jokowi adalah prototipe manusia prihatin! Prihatin karena mau me--ngejar--kan (kejar) dan me--ngerja--kan (kerja) kesejahteraan bagi yang lain. Pasti kita tahu beda KEJAR dengan KERJA!
Kekurusan – keprihatinan Jokowi saya yakin juga karena beliau tipe manusia pembelajar.Ia belajar mengenal rakyat yang dipimpinnya, belajar mengenal rekan kerja, dan bisa jadi beliau memegang prinsip seperti yang dipaparkan Ken Blanchard, “jika Anda berhenti belajar, Anda berhenti tumbuh”[2]
Bukan penduduk Jakarta, apalagi Solo
“Loe, bukan penduduk Jakarta apalagi Solo, ngapain menulis, singung-singgung,dukung-dukung Jokowi?”[3] kata sahabatku. Justru karena saya bukan penduduk di dua kota tersebut, maka saya mempunyai kebebasan dalam cara pandang.
Harap maklum, jaman sekarang ini dikit-dikit sentimen hidup itu selalu ada. Entah sentimen agama, sentiment ras, sentimen budaya dll. Jika saya penduduk di salah satu kota tersebut, hm….bisa-bisa ramai, lalu apa kata dunia?Kalau saya orang Solo, nanti dikomentari “Halah…padune mung arep njaluk ‘roti lan kursi’ je…” (hanya ingin minta jatah “roti dan kursi” – kekuasaan – pun). Kalau saya orang Jakarta, "Emang Loe mau minta graatisan nge-Transjakarta ya?"
Saya mengibaratkan diri sebagai tukang pandang, dalam kapasitas tulisan ini. Kita pasti juga mengerti, pemandangan di lereng gunung (mis. gunung Merbabu, Singgalang) itu jauh lebih indah, lebih menarik jika dilihat dari jauh.Begitu kita mendaki gunung tersebut, mendakinya, wow…ada banyak duri, kerikil, bahkan jurangpun ada. Memandang Solo dan Jakarta, akan"lebih syahdu" jika saya "mengambil jarak" daripadanya. Tak melekat namun tak juga tak berfusi. Itulah yang saya maksudkan sebagai tukang pandang.
Menulis yang perlu (perubahan)
So, apa salahnya saya menulis apa yang perlu saya tulis? Toh, tulisan saya ini tidak terus-langsung mengubah situasi - kondisi yang dipaparkan oleh Paulinus Yan Olla, bahwa:
“Makin sedikit atau bahkan tidak ada pemimpin negara, birokrat, dan politisi yang rela mengorbankan kepentingan pribadi demi kepentingan rakyat. Kejujuran, rasa malu, dan rasa bersalah absen kendati kebijakannya mengkhianati publik. Kesejahteraan rakyat dirampok dan kekuasaan untuk sebesar-besarnya kemakmuran penguasa.”
Andaikan perubahan itu terjadi ya….wallahu a’lam bissawab, sejatine Allah sing mahapirsa, sebenarnya Allah yang mahatahu. Itulah yang kita harapkan.
[1] Paulinus Yan Olla MSF, “Membangun Keutamaan Publik”, dalam KOMPAS, Senin, 3 September2012, hal. 6.
[2]Ken Blanchard, 2001, Hati Seorang Pemimpin (The Heart of A Leader), Batam: Interaksara, hal. 18.
[3]Email seorang sahabat yang sangat baik, tanggal 3 September 2012.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H