Saya mandi, karena setelah itu kami (sekeluarga) akan berkunjung - silaturahmi ke tetangga-tetangga saya.
Selesai mandi, saya lebih terkejut (lagi), karena di meja dapur ada setumpuk rantang yang lain.
"Dari siapa, Ma?" tanyaku.
"Dari nenek, Mas. Tadi cucu nenek yang paling besar ke sini. Antar rantang ini."
Nenek (begitulah dipanggil), seorang ibu yang bercucu enam. Nenek itu telah menganggap kami sebagai anaknya. Nenek, seorang wanita asli tanah Sumatra Selatan. Beliaulah yang momong Prima, (ketika Prima belum sekolah) karena kami harus bekerja.
Anda bisa membayangkan, rumah nenek (pengasuh Prima putriku), dengan rumah kami berjarak lebih - kurang enam kilometer. Dibela-belain cucu nenek itudatang ke rumah kami membawa rantang. Cucu itu disuruh nenek mengantar rantang, supaya kami "serantangan", supaya kami sehidangan dengan nenek. Hm....siapalah kami ini.
Saya dan mamanya Prima cuma bisa terduduk di dapur, membayangkan orang-orang yang mulia hatinya. Mereka memberi perhatian pada kami dalam kesederhanaan dan ketulusan hatinya.
Belajar memerhatikan dan belajar memberi
Kita masih perlu belajar memerhatikan dan memberi untuk yang lain. Saya merasa, bahwa kisruh "dunia" manusia (manusia korup, amoral, miskomunikasi, manusia serakah) ini terjadi, karena salah satu penyebabnya, manusia tak bisa (atau belum bisa) memerhatikan yang lain. Manusia belum bisa membagi perhatian untuk kehidupan orang lain. Perhatian yang paling sederhana itu terjadi, ketika manusia menyadari bahwa yang lain itu berbeda. Dan perbedaan itu perlu diterima - disadari. Menurut saya penerimaan itu sudah merupakan pemerhatian tersendiri.
Sama halnya dengan memberi, orang juga perlu belajar memberi. Jika ada anggapan, bahwa orang memberi supaya dapat menerima, pemberian semacam ini adalah pemberian berpamrih. Kita mungkin perlu belajar pada Mahatma Gandhi, muder Theresa dari Kalkuta, kita mungkin juga perlu belajar pada Ki Hajar Dewantara. Ya...mereka contoh orang-orang mulia, yang bisa memerhatikan dan memberikan dirinya demi kemajuan bangsa. Mereka adalah contoh tokoh yang mengangkat manusia, agar manusia berderajat. Mereka contoh tokoh yang memikirkan kemuliaan manusia dalam berbangsa, semartabat - sederajat - seperjalanan dalam hidup.
Pemerhatian dan pemberian (diri) adalah dua hal, yang kadang terlupakan. Memaknai Lebaran, bagi saya pribadi adalah memaknai "kelahiran pribadi" - kembali ke FITRAH - secara baru. Baru dalam arti cara pandang terhadap hidup dan konsekuensinya, dan baru dalam arti cara menghayati hidup. Pembaruan dalam cara pandang dan penghayatannya, pembaruan yang tak hanya sebatas - sehangat "usia" perayaan (Lebaran). Suasana itulah yang saya nikmati di tengah saudara-saudara saya yang ber-Idul Fitri.