Sukhoi Super Jet 100, Sumber Berita
Sejak pesawat Sukhoi Super Jet 100 (SSJ 100) jatuh, berita di beberapa media tentang hal tersebut, makin hari semakin ramai. Ramai orang membahas - menuliskan kejatuhan pesawat SSJ 100 itu dari berbagai sisi.
Di satu sisi, ada yang membahas pilotnya, ada yang membahas para penumpangnya, bahkan ada yang membahas barang bawaan para penumpang. Pertanyaan dalam hati saya, apa iya; mereka yang menuliskan itu, mereka yang mereportasekan peristiwa itu "sungguh-sungguh paham dan tahu duduk perkaranya". Apakah mereka sungguh tahu seluk beluk yang mereka tuliskan?
Sumber beritanya jelas, namun kadang cara menuliskannya tidak jelas. Karena ketidakjelasan itu maka jadilah berita yang salang surup - simpang siur. Saking simpang siurnya, sampai-sampai ada gambar 'nggak jelas'-pun ikut bertandang- ria di media massa.
Di lain sisi, saya cuma merasa "geli - sekaligus nggak dong" ketika saya tahu seorang wartawan menanyai kerabat korban, "Bagaimana perasaan bapak, ketika bapak mendengar ada pesawat jatuh di gunung Salak, dan salah satu penumpangnya adalah kerabat bapak?" [Bayangkan, perasaan kok ditanyakan! Sementara kondisi pesawat yang jatuh sudah jelas memprihatinkan, menyedihkan. Pesawatnya hancur]. Luar biasa...! [Luar biasa nggak dong saya].
Saya juga merasa nggak ngeh, ketika ada pejabat yang berbicara tentang pesawat jatuh (SSJ 100), seraya beliau - dengan 'sedikit miring' - memosisikan salah si ini, membenarkan si itu.....[ealah....]
"Mengadili"Â Sumber Berita
Pesawat SSJ 100 sudah jatuh, nggak usah "diadili", kondisinya sudah jelas. Mari kita angkat bangkai pesawatnya. Kenapa pesawat sudah jatuh masih disalahkan? Pilot juga sudah menjadi korban, mengapa masih pula dipertanyakan ini - itunya? Busyet dah ....! Saya pikir, menuliskan berita yang diketahui - detail, itu penting. Namun apa yang perlu diketahui pembaca - serta tindakan lebih lanjut, hal tersebut jauh lebih penting. Sangat tidak mulia, dalam kondisi prihatin, dalam kondisi duka; masih ada saja manusia yang menuliskan dan menyalahkan apa dan siapa dibalik berita (peristiwa). Siapa sih yang mau dengan enak disalahkan?
Membicarakan sesuatu, menuliskan sesuatu, dengan landasan pikir yang jernih, sangatlah baik. Landasan pikir yang jernih bisa dimungkinkan kalau sang reportan, sang penulis - menuliskan apa yang ia tahu, dengan cara menggali sumber tulisannya. Mencari tahu secara detail sumber tulisannya, dan mencoba menuliskan sumber itu dengan akal sehat. Menuliskan dengan baik - runut dan "tak berat sebelah", serta menuliskannya secara akurat.
Ketika sumber berita telah dipaparkan ulang dalam bentuk tulisan, dan paparan itu ditambahi dengan "bumbu penyedap" yang namanya provokasi tanpa empati, maka musnahlah keotentikan sebuah berita. Ketika sebuah berita visual ditulis ulang dalam bentuk gramatikal, belum tentu yang visual itu terwakilkan dengan kata - kata - gramatikal. Mungkinkah bangsa ini telah terbiasa dengan "tradisi berkata-kata". Tradisi pamer kata, seperti yang ditayangkan di tivi-tivi, dengan bumbu air mata; sehingga bangsa ini kehilangan makna "mengulas tanpa culas?"
Saya pikir kita tak mau disamakan dengan badak. Badak yang bercula lancip di kepala bagian depan, sementara di belakang cula ada kepala yang rata. Ketika cula badak menancap di badan, orang baru berpikir kemudian.  Orang bisa menyakiti akal sehat, baru berpikir kritis kemudian. Ketika tulisan "menggigit nurani melukai hati", orang baru tersadar, bahwa yang ditulis nggak benar.  Lain lo, antara berpikir sambil menulis dan menulis setelah berpikir!
Menuliskan apa yang sungguh diketahui, memang tidaklah mudah. Penulisan seperti itu membutuhkan daya juang untuk mencari hal yang benar, mencari hal yang penting. Menuliskan yang diketahui tak sama dengan sekedar menuliskan - apalagi asal tulis. Menuliskan bla....bla.....bla, dapat honor, dapat pamor....selesai.
Kemampuan reportan menuliskan ulang sebuah peristiwa, mestinya kemampuan tersebut dibarengi - disertai akal sehatnya. Lebih dari itu,  seorang repotan perlu menulis dan memihak pada cita rasa kebenaran yang - otentik - atas peristiwa yang terjadi.
Sekedar Mengurai Asa
SSJ 100 sudah jatuh. Namun, tak harus peristiwa pesawat jatuh itu menjadi peristiwa kejatuhan dalam "tata tulis, dan tata laku". Tata tulis dan tata laku, mestinya sudah dipelajari, dipahami (dipraktikkan) dengan baik oleh mereka "yang merasa bisa menjadi reportan - penulis canggih". Jika orang hanya bisa sekedar menulis, jika orang hanya bisa sekedar menampilkan gambar (apalagi gambar tragis - palsu), ngapain menghamburkan kata muspra di hadapan banyak orang, ngapain pamer gambar dihadapan banyak orang?
Saya pikir, saya tak butuh orang pamer-pamer, bual-bual kata. Saya membutuhkan kata yang pas untuk menuliskan jatuhnya SSJ 100. Saya membutuhkan kata yang pas untuk menuliskan, "Mari kita tolong mereka yang menderita, mari kita cari korban SSJ 100 .... ". Andai tak mampu berbuat banyak, berdoalah yang banyak untuk yang menderita. Andai tak mampu menuliskan dengan baik peristiwa jatuhnya SSJ 100 secara detail, ya tulislah apa yang dilihat - secara jelas pandang mata. Orang bisa berkata-kata, orang bisa bertulis ria atas peristiwa, namun kenyataan yang ada bisa jadi beda. Karena kenyataan yang beda itulah kita membutuhkan "tata tulis dan tata laku" tersendiri, nggak asal tulis....lis. Nggak asal papar gambar...mbar!!!
Akan lebih baik, kalau warga bangsa ini menyabarkan diri. Menyabarkan diri dan menunggu hasil temuan - penyelidikan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), tentang kecelakaan SSJ 100. Pastilah KNKT yang dibantu Kopassus, Basarnas dan lain-lain, bekerja dengan baik. Seluruh warga Indonesia raya ini menginginkan agar tragedi SSJ 100 tak terulang lagi. Mereka bekerja, saya yakin semua demi - dan atas - nama kemanusiaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H