Dua perempuan cantik. Sudah bersuami. Keduanya hampir bersamaan ketika menikah, cuma selang beberapa minggu.
Sekalipun begitu, mak Silam lebih dulu hamil (mungkin karena 'prosesnya' kenceng siang - malam lembur terus). Sementara mak Diyah belum ada tanda-tanda berbadan dua. Setahun, dua tahun, tiga tahun...bahkan sampai tahun yang kelima, mak Diyah belum ada tanda-tanda hamil. Tahun kelima mak Diyah yang belum hamil, malah mak Silam sudah punya anak tiga.
"Diyah, apa kau ini nggak pernah dikangkangi sama suamimu ya. Kok tak ada tanda-tanda perutmu nggelembung". Setengah mengejek, mak Silam menanyakan perihal situasi perut mak Diyah.
"Oe, jeng....jeng Silam. La ... mbok daripada kongkang-kengkeng brot..... kongkang-kengkeng brot..... cobalah kasih jarak kelahiran anakmu. Kayak tikus saja...ndrindil". Kata mak Diyah agak sengit.
"Biarlah, yang penting ini anak sah. Anak benar-benar keturunan bapaknya. Bukan karena hasil perselingkuhan terbatas. Anakku lahir normal dari lubang kemaluanku...". Mak Silam tak mau kalah.
Memasuki bulan ketujuh, tahun keenam pernikahan mak Diyah; ia dinyatakan hamil. Kegembiraan tersediri baginya. Hari berganti. Minggu bergulir bulan. Genaplah dan sampailah saatnya mak Diyah harus melahirkan. Ia harus operasi caesar. Membedah perut untuk mengangkat sang bayi.....
"Oe Diyah. Kau ini aneh. Masak perempuan nggak bisa nglairkan melalui lubang lairan. Perempuan apaan tuh... Anakmu tuh sesat nggak tahu jalan. Jangan-jangan kau ini juga wanita sesat...."
Panas telinga mak Diyah mendengar "kotbah" mak Silam. Ia menyanggah....
"Jeng Silam, kuakui anakku lahir tak semestinya. Ia tidak melewati lubang untuk melahirkan. Cuma satu yang terpenting, bahwa anakku lahir, ia bisa melihat terang hidup. Menikmati hidup. Tak usah mentang-mentang anakmu brojol lewat jalan semestinya lalu kau menghinaku, bahkan menghujatku. Kita ini sama-sama ciptaan. Kok kau merasa paling benar...paling lurus, tidak sesat...?"
"Lo...kenyataannya begitu 'kan? Kau mempunyai anak, tapi "tak melahirkan" anak 'kan. Kau dioperasi caesar kan?"
"Mak Silam, perkara jalan kelahiran sebenarnya nggak terlalu penting. Yang penting anakku dah lahir. Dan aku ingin membesarkannya, biar menjadi anak yang saleh.  Kudoakan, anak-anak yang telah kau lahirkan beradab, tidak biadab. Kudoakan, anak-anak yang telah kau lahirkan tidak bejat, bukan tukang hujat....."
Suasana sepi. Tapi hal itu tak seberapa lama, karena dari jauh terdengar orang-orang yang berteriak-teriak,
"Ayo bunuh saja. Bunuh saja....mereka itu orang sesat, berkitab sesat. Tidak taat ibadat.....". Rupanya salah seorang yang berteriak - teriak itu adalah suami mak Silam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H