Mohon tunggu...
Florensius Marsudi
Florensius Marsudi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Manusia biasa, sedang belajar untuk hidup.

Penyuka humaniora - perenda kata.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Antara Mak Silam Dan Mak Diyah

19 Februari 2011   16:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:27 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua perempuan cantik. Sudah bersuami. Keduanya hampir bersamaan ketika menikah, cuma selang beberapa minggu.

Sekalipun begitu, mak Silam lebih dulu hamil (mungkin karena 'prosesnya' kenceng siang - malam lembur terus). Sementara mak Diyah belum ada tanda-tanda berbadan dua.  Setahun, dua tahun, tiga tahun...bahkan sampai tahun yang kelima, mak Diyah belum ada tanda-tanda hamil. Tahun kelima mak Diyah yang belum hamil, malah mak Silam sudah punya anak tiga.

"Diyah, apa kau ini nggak pernah dikangkangi sama suamimu ya. Kok tak ada tanda-tanda perutmu nggelembung". Setengah mengejek, mak Silam menanyakan perihal situasi perut mak Diyah.

"Oe, jeng....jeng Silam. La ... mbok daripada kongkang-kengkeng brot..... kongkang-kengkeng brot..... cobalah kasih jarak kelahiran anakmu. Kayak tikus saja...ndrindil".  Kata mak Diyah agak sengit.

"Biarlah, yang penting ini anak sah. Anak benar-benar keturunan bapaknya. Bukan karena hasil perselingkuhan terbatas. Anakku lahir normal dari lubang kemaluanku...". Mak Silam tak mau kalah.

Memasuki bulan ketujuh, tahun keenam pernikahan mak Diyah; ia dinyatakan hamil. Kegembiraan tersediri baginya.  Hari berganti. Minggu bergulir bulan. Genaplah dan sampailah saatnya mak Diyah harus melahirkan.  Ia harus operasi caesar. Membedah perut untuk mengangkat sang bayi.....

"Oe Diyah. Kau ini aneh. Masak perempuan nggak bisa nglairkan melalui lubang lairan. Perempuan apaan tuh... Anakmu tuh sesat nggak tahu jalan. Jangan-jangan kau ini juga wanita sesat...."

Panas telinga mak Diyah mendengar "kotbah" mak Silam. Ia menyanggah....

"Jeng Silam, kuakui anakku lahir tak semestinya. Ia tidak melewati lubang untuk melahirkan. Cuma satu yang terpenting, bahwa  anakku lahir, ia bisa melihat terang hidup. Menikmati hidup. Tak usah mentang-mentang anakmu brojol  lewat jalan semestinya lalu kau menghinaku, bahkan menghujatku.  Kita ini sama-sama ciptaan. Kok kau merasa paling benar...paling lurus, tidak sesat...?"

"Lo...kenyataannya begitu 'kan? Kau mempunyai anak,  tapi "tak melahirkan" anak 'kan. Kau dioperasi caesar kan?"

"Mak Silam, perkara jalan kelahiran sebenarnya nggak terlalu penting. Yang penting anakku dah lahir. Dan aku ingin membesarkannya, biar menjadi anak yang saleh.   Kudoakan, anak-anak yang telah kau lahirkan beradab,  tidak biadab. Kudoakan, anak-anak yang telah kau lahirkan tidak bejat, bukan tukang hujat....."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun