Mohon tunggu...
Florensius Marsudi
Florensius Marsudi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Manusia biasa, sedang belajar untuk hidup.

Penyuka humaniora - perenda kata.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menu Istimewa

11 September 2010   14:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:18 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

"Mas, Lebaran ke rumah. Kami tunggu".

"Iya, Mbok". Kataku.

"Serius lho.......". Mbok Minah, menegaskan.

"Iya, Mbok. Aku kerumah".

Mbok Minah, janda umur 60 tahun. Ia hidup dengan anaknya semata wayang, Gigih namanya. Mbok Minah bekerja srabutan, kadang jualan pisang goreng, tahu isi, ataupun jualan tempe mendoan. Hasilnya ia bagi dua dengan "bos" yang memodalinya. Ia hidup di pinggir kali. Kadang, jika kali itu "muntah", tak jarang rumah mbok Minah jadi langganan "muntahan" air kali  itu.

Rumah mbok Minah, jauh dari kata layak.  Selain bolong-bolong, juga hanya berdinding kardus (bagian dalam) dan bagian luar dari anyaman bambu. Jari-jari anak kecil bisa masuk dilubang anyaman bambu.

Jam 10 pagi. Tiger 2000 itu kutrabaskan di jalanan kota yang macet. Kuda besi 200 CC rasanya cukup mengerti keinginanku, liak-liuk kekiri-kekanan. Sesampai di rumah mbok Minah, kuda besi itu kuparkir di tanggul kali, kunci shock berbentuk U, melintang di ban depan.

"Assalamualaikum". Sapaku.....

"Alaikum salam". Jawab seorang Ibu dari dalam rumah.

"Maaf lahir batin, Mbok". Kupeluk Ibu tua itu. Ia membalas memelukku erat. Ah...rasanya damai hatiku. Selesai bersalaman dengan sang ibu, kupeluk putranya semata wayang.

"Maaf lahir batin, Dik". Kataku.

"Sama-sama, Mas". Jawab Gigih.

Setelah dipersilahkan duduk, aku disuguhi krecek ubi. Krecek ubi terbuat dari ubi yang direbus, dipotong-potong, diiris tipis-tipis, dijemur, kering baru digoreng. Ada rasa asin, manis dan kadang agak pedas dikit. Segelas teh manis menemani krecek itu. Mbok Minah juga menyediakan air putih dingin, yang tersimpan dalam kendi.

Aku, Mbok Minah dan Gigih, ngobrol kesana-kemari. Kuteringat sekian tahun lalu, ketika aku kesulitan mencari tempat menginap (dalam rangka studi - penelitian). Dirumah inilah aku menginap. Tangan mereka sangat terbuka untuk hidupku.

"Mas, simbok sudah siapkan oseng-oseng kacang panjang campur ikan teri, kesukaanmu. Ditambah krupuk, makan yuk". Mbok Min, menuntun tanganku kedapur. Sementara Gigih mendorongku dari belakang. Aku tak kuasa menolak.

Siang itu aku makan sayur oseng-oseng kacang panjang campur teri. Amat nikmat, apalagi bunyi kriuknya krupuk. Wah...wah....

Allah subhanahu wa taala, telah memberiku menu istimewa, Lebaran tahun ini. Menu istimewa pertama, keramahtamahan dan kesederhanaan seorang Minah. Seorang Simbok yang senantiasa mengajariku hidup sederhana dalam keprihatinan yang mendalam. Mendalam dalam  kekurangan, tapi mbok Minah tak menganggapnya kekurangan sebagai manusia makhluk mulia. Kedua, menu makanan yang sungguh-sungguh istimewa bagiku, dan mungkin tidak istimewa bagi orang mampu (secara materi, finansial).

_____________________________________
*) lidah dan hati mempunyai cita rasa tersendiri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun