"Oalah Mas...Mas. La kok brengose nepleng..." (yang ini tak usah diterjemahkan....ha...ha)
Tiba-tiba pak Is (tukang ojek itu) memelukku. Kurang lebih 25 tahun, aku tak pernah berjumpa dengan beliau. Di warung pinggir jalan itu, pak Is kuajak duduk. Kami ditemani dua botol teh dingin. Camilan ala kadarnya. Beliau masih ingat ketika memlintir telingaku sampai merah menyala (ngaku ne....nakal). Dua hari sakitnya belum hilang. Ampun nian.
Pak Is bercerita tentang suka dukanya menjadi guru, apalagi sekarang sudah pensiun. Untuk menyambung hidup ia ngojek, sementara satu anaknya masih kuliah. Anaknya yang kuliah juga membuka usaha tambal ban di pinggir jalan.
"Mas Marsudi, dados tukang ojek punika hasilipun alit. Ingkang penting halal," (menjadi pengojek berpenghasilan kecil, yang penting halal) kata pak Is menutup perjumpaan kami.
Ah, pak Is....pak Is. Terpujilah engkau pak Is. Guruku.
----------------------------------------
Aku bangga punya guru pak Is. Dan aku juga bangga pernah Sekolah Pendidikan Guru. Terpujilah para GURU.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H