Mohon tunggu...
Florensius Marsudi
Florensius Marsudi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Manusia biasa, sedang belajar untuk hidup.

Penyuka humaniora - perenda kata.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Guruku Ngojek...

24 Mei 2010   09:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:00 9680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

"Badhe tindak pundi Mas?" (mau kemana Mas) tanya seorang tukang ojek.

"Condong Catur, Pak.  Pinten ongkosipun," (ke Condong Catur, berapa ongkosnya) tanyaku.

"Lha nggih manut mawon....Mase badhe maringi pinten?" (turut - ikut saja , Mas mau memberi ongkos berapa) jawab tukang ojek itu. Mendengar jawaban tukang ojek, aku cuma bisa garuk-garuk kepala.

Siang itu, pergilah aku ke Condong Catur, ngojek. Di perjalanan, bapak tukang ojek ini termasuk penyabar. Tak pernah ngebut, apalagi berinisiatif  mendahului kendaraan yang lain. No way.

"Medhak pundi Mas," (turun dimana, Mas) tukang ojek menanyaiku.

"Oh...medhak mriki mawon Pak,"  (disini saja, Pak) jawabku.

Uang selembar puluhan ribu kuberikan kepadanya.

"Wah, cekap gangsal ewu kemawon,"  (cukup lima ribu saja) bapak itu mau mengembalikan uang lima ribuan seraya membuka helmnya. Aku agak terperanjat, sepertinya aku mengenal Bapak ini.

"Nyuwun pangapunten, Pak.  Punapa Bapak punika pak Is,  guru kula rikala SMP," (mohon maaf, apakah Anda pak Is, guru saya sewaktu SMP) tanyaku.

"Lo, panjenengan punika sinten nggih, kula kok supen," (anda siapa, saya kok lupa).

"Kula riyin murid Bapak. Kula Marsudi, Florensius Marsudi," (saya dulu murid Bapak. Saya Marsudi, Florensius Marsudi)

"Oalah Mas...Mas. La kok brengose nepleng..." (yang ini tak usah diterjemahkan....ha...ha)

Tiba-tiba pak Is (tukang ojek itu) memelukku. Kurang lebih 25 tahun, aku tak pernah berjumpa dengan beliau. Di warung pinggir jalan itu, pak Is kuajak duduk. Kami ditemani dua botol teh dingin. Camilan ala kadarnya. Beliau masih ingat ketika memlintir telingaku sampai merah menyala (ngaku ne....nakal). Dua hari sakitnya belum hilang. Ampun nian.

Pak Is bercerita tentang suka dukanya menjadi guru, apalagi sekarang sudah pensiun. Untuk menyambung hidup ia ngojek, sementara satu anaknya masih kuliah. Anaknya yang kuliah juga membuka usaha tambal ban di pinggir jalan.

"Mas Marsudi, dados tukang ojek punika hasilipun alit. Ingkang penting halal," (menjadi pengojek berpenghasilan kecil, yang penting halal) kata pak Is menutup perjumpaan kami.

Ah, pak Is....pak Is. Terpujilah engkau pak Is. Guruku.

----------------------------------------
Aku bangga punya guru pak Is. Dan aku juga bangga pernah Sekolah Pendidikan Guru. Terpujilah para GURU.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun