Pemerintah juga menerapkan kebijakan berupa program pemberantasan sarang nyamuk (PSN), penyediaan abate di puskesmas, program gerakan satu rumah satu jumantik (GIRIT), pelaksanaan fogging pada daerah yang terdapat kasus DBD dengan jumlah banyak. Selain itu, Kementrian Kesehatan juga melaksanakan program pembuatan posko KLB DBD bersama dinas kesehatan setempat dan pemantauan ketersediaan obat di rumah sakit untuk kasus DBD.
Kebijakan tersebut menandakan bahwa pemerintah tidak hanya berfokus pada kasus korona tetapi juga memperhatikan berbagai penyakit endemic di Indonesia.Â
Kebijkan dari pemerintah sudah dilaksanakan tetapi kasus DBD terus mengalami peningkatan. Hal ini dapat dievaluasi dengan memperhatikan kondisi di lingkungan sekarang yang terjadi penurunan ekonomi karena banyak toko, pusat perbelanjaan, perusahaan yang tutup menyebabkan pemasukan negara berkurang, lapangan pekerjaan berkurang karena banyak perusahaan yang tutup dan terjadi PHK secara besar-besaran, sekolah dan universitas diliburkan, tempat ibadah ditutup, penjagaan yang ketat oleh kepolisian pada setiap daerah perbatasan, larangan untuk pergi ke luar kota, setiap hari media melaporkan mengenai perkembangan kasus korona dan himbauan untuk menghindari penyebaran virus covid-19.Â
Selain itu, Indonesia juga sedang memasuki musim pancaroba yang menyebabkan perubahan cuaca sehingga mempengaruhi kondisi tubuh masyarakat dan pertumbuhan vektor dari DBD yaitu nyamuk karena nyamuk cenderung menyukai tempat lembab.
Kebijakan pemerintah mengenai himbauan kurang efektif karena pemerintah hanya menyampaikan melalui media massa seperti koran dan website yang sering tertutup dengan berita dari kasus korona. Kasus DBD yang terjadi di Jawa Tengah sebagian besar disebabkan masyarakat yang tidak menyadari gejala dari DBD sehingga penanganan menjadi terlambat.Â
Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan himbauan mengenai DBD (penyebab, gejala, dan cara mengurangi resiko DBD) melalui media sosial, tokoh masyarakat, dan tokoh agama sehingga masyarakat tidak hanya fokus pada kasus korona tetapi juga memperhatikan penyakit lain yang beresiko tinggi menyebabkan kematian seperti DBD.Â
Program GIRIT dan PSN kurang efektif dalam pelaksanaan sehingga perlu ditingkatkan pemantauan dan pengawasan dari Dinas Kesehatan serta pemberian sanksi jika terdapat jumantik (juru pemantau jentik) yang tidak bekerja maksimal. Pemerintah juga perlu meningkatkan penyediaan obat seperti infus dan kesiagapan petugas medis dalam menangani penderita DBD di tengah pandemik sehingga resiko kematian dapat menurun.Â
Selain itu, program pemerintah tentang penyediaan larvasida dapat dilakukan inovasi dengan memanfaatkan tanaman yang mengandung fitokimia yang dapat membunuh telur, jentik, dan nyamuk Aedes aedgytpi seperti ekstrak dari tanaman sereh, lavender, daun sirih, tanaman srikaya.Â
Program fogging dari pemerintah kurang efektif untuk penurunan kasus DBD karena hanya dapat membunuh nyamuk dewasa sedangkan jentik nyamuk masih hidup dan menimbulkan beberapa dampak negative yaitu membahayakan kesehatan manusia karena cairan dari fogging dapat menempel pada makanan dan fogging juga menyebabkan meningkatkan perpindahan nyamuk dari daerah yang memiliki kasus tinggi DBD ke daerah lain di sekitarnya sehingga penyebaran kasus DBD semakin meluas.Â
Oleh karena itu, masyarakat perlu meningkatkan kesadaran akan bahaya dari DBD sehingga program dan himbauan dari pemerintah dapat dilaksanakan efektif dan kasus DDB dapat menurun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H