Kita selalu punya cara untuk, katakanlah, mencari tahu titik parah diri. Rasa penasaran, atau ragu, tidak cuma ke luar diri. Cermin perlu juga disangsikan. Orang-orang lebih suka menyebutnya introspeksi. Saya lebih suka menyebutnya interupsi.
Harari meramal saat manusia telah bertemu dengan zaman banjir informasi, pengetahuan telah terdistribusi melalui teknologi secara merata, tanpa kelas. Sambung Harari, manusia akan lebih bijaksana, apalagi saat mengambil keputusan. Kelebihan informasi berarti kelebihan pilihan. Kita memasuki era itu: desentralisasi informasi, masyarakat tanpa kelas informasi.
Hukum pasar berdiri di atas ketaksamaan. Bukan alamiah. Ini lebih karena perbedaan informasi yang digenggam. Tidak adanya informasi yang setara membuat harga pasar kejar-kejaran di antara pemasok, monopoli distributor, dan para pembeli yang kurang informasi. Ekonom mainstream menyebutnya invisible hand, sebuah nature dari pasar. Stiglitz menyebutnya asimetris informasi.
Lalu apa yang tayang sekarang di sebuah dunia yang terlipat ini? Kebijaksanaan dan kearifan hampir masuk museum. Sekarang di tahap masuk ruang diskusi dan ruang sekolah: cuma jadi bahan penelitian!
Kita perlu ingat, informasi juga bisa dimonopoli. Di masa Orde Baru, sumber-sumber bacaan dipilih tidak acak untuk dihanguskan, kalau perlu pakai sepatu, pentungan, atau senjata. Semua kanal untuk mendapatkan informasi digunting dan dibuat sambungan baru yang terhubung langsung dengan saluran rezim.
Kita mesti yakin bahwa banjir informasi yang datang di gawai dari buka mata sampai tutup mata telah lebih dulu dicuci seleranya. Bisa pemilik, bisa pendonor, bisa oleh pintu kebijakan negara. Tugas dari mereka hanyalah membentuk selera. Setelahnya terus dikejar dan dilayani sehingga kita semakin akrab, mesra, dan tidak mau lepas dari telepon genggam pintar dan sejawatnya. "Jadilah diri sendiri." Mungkin maksudnya, "Jadilah diri sendiri menurut selera orang."
Untuk itu, kita tidak kunjung menemukan kebijaksanaan dan kearifan di tengah orang-orang yang kebanjiran informasi. Sekian banyak telah bisa mengakses informasi dari mana saja justru semakin sedikit kita menemukannya dalam masyarakat; sudah jadi barang langka. Masyarakat semakin kacau. Coba saja lima menit main-main di media sosial, kekacauan-kekacauan sepele dan remeh berantrian.
Dulu kita menginginkan sebuah gagasan internasionalisme. Tiba satu patahan sejarah dimana satu kelompok kebudayaan ingin mendorong bangsa menjadi ide pokok negara. Kemerdekaan di negara-negara kecil pelan-pelan bangkit menjadi nation state. Semakin kesini, kelompok menjadi acuan pertarungan, sampai di level individu.
Di tengah-tengah keragaman masyarakat, berbagai kelompok saling rampas pengaruh. Anda boleh menyebutnya partai, boleh juga menyebutnya organisasi. Tentu saja, pengaruh ini menghasilkan power yang akan dipanen dalam bentuk dominasi ekonomi-politik. Di level atas terjadi perebutan yang bukan miliknya. Level bawah memperebutkan remah-remah sumber.
Hidup kita berada dalam suasana demikian. Tidak punya aturan namun tertata dalam keos algoritma sosial tertentu. Â Di tengah hal-hal yang berantakan, tetap saja ada satu dua orang dan grup yang menolak patuh pada arus dengan terus menjaga agar pikiran tetap dalam kondisi prima.
Kami menyebutnya Mabes Padepokan, tepatnya berada di Kampung Arab, jadi oase di tengah kehidupan yang sudah saling acuh pada apa saja: kepada sesama, kepada ketulusan terus tahu-diri. Berada di kota kecil tepi laut yang sebentar lagi digantikan dengan gedung dan kepentingan bisnis. Warna kota ini lebih banyak dari kota-kota lain namun perlahan mau dibuat satu dimensi.
Sebenarnya rumah itu merupakan kediaman dari Imam Besar Padepokan Puisi Amato Assagaf. Mabes Padepokan bagi kami tempat untuk terapi hidup. Di saat kita mulai percaya dengan kebenaran yang kita jalani, mulai ikut arus kerumunan dengan alasan-alasan kolot, Mabes adalah tempat untuk kita melakukan interupsi pada apa yang kita sebut sebagai hidup apa adanya: hidup tidak apa adanya, hidup tentang apa yang seharusnya ada.
Tapi malam itu kabar duka datang lebih awal.
Â
Kematian itu berwarna biru
Lurus, ringkas, tapi bukan untukku. -- Amato
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H