"Kami bekerja dalam kegelapan untuk melayani cahaya". Kata Machiavelli yang saya tidak tahu apa betul ini kata-katanya karena hanya didapat dari internet.
Saya tergugah untuk menulis unek-unek ini karena kesemsem saja sama Abigail Limuria. Latar belakangnya begini: di satu waktu si Abigail Limuria menghadiri acara KTT Pemuda ASEAN, seseorang bertanya kepadanya tentang banyaknya pemuda yang fokus di dunia aktivisme tapi akhirnya menyerah di tengah jalan karena kehabisan tenaga. Terus Abigail menjawabnya, kira-kira begini: "Mereka membohongi diri mereka sendiri tentang motivasi (menjadi aktivis). Kadang-kadang itu bukalah motivasi yang murni. Kadang-kadang motivasinya adalah ketenaran, kadang-kadang soal cuan." Karena berbohong mengenai motivasi dalam aktivisme jadinya pupus di tengah jalan, kehabisan tenaga. Makanya, menurutnya, jujuran saja apa niatmu menjadi aktivis gerakan sosial. Meski dia menggunakan kata "sometimes" agar bisa menghindari pukulan. Anda bisa intip di sini videonya.Â
Singkatnya, bagi Abigail, tak seharusnya aktivisme dilepaskan dari motivasi uang dan ketenaran.Â
Tidak apa bicara begitu. Mungkin ada teman-temannya sesama kelas menengah yang memilih jalan "aktivisme" karena ingin tenar dan uang lalu berhenti di tengah jalan karena memang aktivisme, apalagi mengorganisir rakyat, adalah pekerjaan panjang, sunyi, dan miskin. Tanpa pamrih, tanpa nama, tanpa gold, glory, gospel -- saya ingin fokus ke kaula muda yang baru memulai niatnya di dunia aktivis, atau yang sementara menjalani hari-harinya sebagai aktivis kelompok pendesak, khususnya yang berhubungan dengan pengorganisiran rakyat akar rumput.
Jika ada segelintir kelompok aktivis yang kesibukannya mendulang emas dan kejayaan di tengah kesusahan rakyat, masih ada jutaan orang yang sibuk menjadi diam dalam aktivismenya. Semacam relawan yang rela-relaan. Ada ratusan orang yang memilih tidak disorot dan menguburkan diri di dalam organisasi rakyat sambil-sambil terus berupaya tiap hari mencari jalan yang paling mungkin untuk perubahan. Jikapun disorot dan diramaikan oleh media itu karena media masih peduli dengan hal-hal yang murni dan serius.
Penting untuk sekadar memberi catatan ke Abigail mengingat dia ini sudah dihitung sebagai "publik figur" -- awalnya saya ingin menulis "intelektual publik", tapi diganti saja biar berasa.Â
Abigail adalah Co-Founder What is Up, Indonesia? Serta pemrakarsa Bijak Memilih. Saya pernah melihatnya di acara Malaka Project. Mata Nazwa juga ikut-ikut membawa dia di acaranya. Tidak sulit menemukan wajah Abigail di mesin pencarian Google atau video-videonya di YouTube. Banyak pengikutnya, banyak juga yang ingin seperti dirinya: cantik, pintar, kritis, dan hal-hal yang dianggap tidak lazim bagi gadis cantik dan belia ini, utamanya di masyarakat patriarki dan rezim kecantikan.Â
Ada banyak teman-teman saya sampai dipukuli polisi, dipersekusi, saat sedang mengorganisir rakyat. Tapi memang layar kamera selalu melihat sisi lain yang bisa dikomersilkan. Begitulah budaya layar, sibuk melayani hasrat dan membentuk tradisi konsumsi.
Tapi apa benar aktivisme itu mesti selalu muncul di televisi atau layar gawai, sibuk pindah dari panggung satu ke panggung lain, dari hotel mewah ke hotel mewah lainnya, dengan kilauan cahaya dan tepuk tangan meriah tanpa harus repot-repot turun ke akar rumput dan berbaur dengan masyarakat yang lagi sengsara dengan hari-harinya karena sulit cari makan? Atau sedang mempertahankan tanahnya? Sometimes bicara sampai berkeringat tidak terlalu lelah dibanding berkeringat di medan pertempuran.
Terus kita tidak boleh bicara, gituh, terhadap masalah warga? Harus! Yang bikin tidak habis pikir adalah pengkerdilan kemewahan aktivisme -- saya mesti tegaskan barang mewah ini! Aktivisme bukan soal bicara banyak atau tidak. Mondar-mandir di WhatsApp Story dan Instastory dengan banyak inventaris kata-kata atau tidak. Yang dipertaruhkan adalah sanggup tidak memikul beban yang sama sampai titik keringat penghabisan bersama orang-orang yang diperjuangkan?
Tidak ada istilah meninggalkan dalam tajuk aktivisme. Jika ada, masalahlah yang meninggal. Atau warga yang meninggalkan pengorganisir. Dan tidak apa-apa. Di tahap tertentu mesti begitu. Jika mau melulu dianggap, jadi saja pacar yang baik.
Setahu saya, dan mungkin pengetahuan saya pendek, aktivisme adalah ikhtiar panjang dengan terus berusaha menceburkan diri menjadi "korban", berbaur lalu hidup bersama rakyat yang sedang mempertaruhkan harapan. Dari situ gagasan dan rasa lahir lalu tertuang dalam bentuk program-program jangka panjang. Penceburan ini tidak lain niatan untuk "perasaan merasa", menjadi bagian dari "suara yang tidak bersuara", belajar mempertahankan dan mengorganisir harapan. Biasanya keadilan terdefinisikan dari situ.Â
Pilihan untuk berbaur adalah pilihan "suluk", atau bunuh diri kelas. Tidak perlu dilapor-laporkan ke publik. Kalau ada yang ingin dilaporkan ke publik hanyalah sekadar informasi tahapan masalah. Hanya sampai di situ. Tidak perlu ditambahkan drama kolosal. Jika sudah ada drama-drama, dari sini bibit-bibit tenar.
Jika ada kemegahan dalam aktivisme, terutama mengorganisir rakyat, adalah pilihan untuk tenggelam dalam cerita warga, menjauh dari panggung dan ketenaran, ikhlas beramal. Plus menjadi miskin! Itu sudah konsekuensi alam dari aktivisme. Maka, jika memilih menjadi aktivisme untuk tenar dan uang, sambil berkata "jujur saja jangan membohongi diri" sudah salah sejak awal dalam mendefinisikan apa itu aktivisme di alam pikiran. Ini hanya akan membentuk kecurigaan pada orang-orang yang ingin sungguh-sungguh menempuh jalan curam aktivisme.Â
Kenapa mesti bawa-bawa nama warga? Dikarenakan wargalah yang menjadi legitimasi dari aktivisme.Â
Tidak ada yang kamu panen dalam gerakan sosial selain susah payah, capek, dan habis anggaran sendiri untuk mondar-mandir menghadiri rapat. Jika ada yang plus-plus hanyalah kebanggaan membendung ego diri menjadi massa yang solid dan penuh tawa, sambil-sambil berbagi derita. Atau memenangkan sengketa harapan warga.Â
"Mengorganisir bukanlah 'kerja cari makan'." Tulis Jo Hann Tan dan RoemTopatimasang dalam buku bertajuk Pengorganisiran Rakyat (pengalaman penulis dalam mengorganisir isu akar rumput di Asia Tenggara) yang sebenarnya sungkan untuk mereka tulis dikarenakan keyakinan bahwa mengorganisir rakyat adalah kerja nyata, diam, dan tidak perlu banyak traktat-traktat teori politik.
 "Mengorganisir rakyat bukanlah suatu pekerjaan yang akan membawa keberuntungan kebendaan atau kemasyhuran nama yang akan menjadikan anda seorang pahlawan. Sebaliknya, seorang pengorganisir rakyat baru dapat dianggap berhasil jika sang pahlawan adalah rakyat itu sendiri dan bukannya sang pengorganisir." - Jo Hann Tan dan Roem Topatimasang
Aktivisme itu tidak butuh orang yang payah dengan pikiran yang keropos dan semangat yang timbul-tenggelam. Yang dihadapi betul-betul realitas material penuh kontradiksi serta tidak karuan. Mengorganisir pikiran sendiri saja teramat sulit, apa pula mengorganisir keragaman pikiran, kepentingan, emosi, serta pendapat warga. Di situ ada pilihan-pilihan yang sulit untuk diambil, diputuskan, dan disistematisasi. Kecuali Anda pintar membuat preambul. Dari situ saja sudah sulit dibayangkan. Sometimes itulah yang membuat gerakan jadi lemah sahwat dan habis tenaga.Â
Ekspresi kelas menengah memang kadang-kadang ngehe. Maklum saja mereka ini kelas yang dirugikan rezim, terombang-ambing tanpa sentuhan kebijaksanaan pemerintah. Makanya ada juga kepentingan aneh yang menyelinap di tengah massa rakyat yang sengsara. Anda boleh baca tulisan Geger Riyanto soal Abigail dan kelas menengah serta punggawa relawan aktivis sepuh yang melayang-layang di atas perjuangan warga. Geger menegaskan bahwa "ranah aktivisme, ranah yang dibangun di atas nilai-nilai kesetaraan, dalah ranah yang sarat ketimpangan."Â
Saya cerita sedikit mengenai pengalaman rapat bersama Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Sulawesi Utara. Kala itu kami membahas Hari Disabilitas Internasional (HDI) 3 Desember 2023. Kira-kira akan dirayakan dengan cara bagaimana HDI tahun ini. Pertuni memang sementara mengawal Perda Disabilitas Sulut sejak tahun 2022 yang akan diperjuangkan lagi di Peraturan Gubernur. Maka, "dalam rangka Refleksi HDI baiknya kita membuat Aksi Damai di Kantor Gubernur Sulut," kata salah seorang Pengurus Pertuni. Yang lain tidak sependapat dengan Aksi Damai dan lebih memilih jalur diplomasi.Â
Saat terjadi perdebatan panjang yang menyebabkan tidak enakan hati satu dengan yang lain, dan berhari-hari ribut pendapat sampai di grup WhatsApp, mereka meminta pendapat kepada saya selaku Mitra Bakti. Di sini dilema muncul karena harus memilih satu pendapat dibanding yang lainnya, kendati saya bilang "dua-duanya bagus dan bisa sekali jalan" tetap saja hanya ada dua pilihan dengan satu yang mesti diambil. Mengambil sikap berarti memilih salah satu, dan secara otomatis disimpulkan memihak kepada salah satu. Akhirnya saya yang tidak enakan.Â
Itu hanyalah sepenggal problem yang terjadi dalam rapat-rapat organisasi massa. Apalagi jika pilihan yang diambil menyangkut kepemilikan lahan, status pekerjaan, program-program, UU, dan lain-lain. Kalau mau mendulang emas dan ketenaran, Anda mungkin hanya salah kamar saja.
Sebenarnya saya tidak mau menyebut aktivisme sebagai pilihan. Bagi saya, aktivisme itu hanyalah konsekuensi logis dari pikiran sadar.Â
Sekali lagi, aktivisme itu adalah jalan panjang yang sunyi, sesak, penuh ranjau, syarat capek dan putus-asah, dan bartaburan nada sumbang dari pihak eksternal.Â
Lalu apa yang didapat dari aktivisme? Bertambahnya teman di WhatsApp.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H