Karena kita bisa terhubung ke situ oleh keadaan dan pengalaman kita: yang menghubungkan antara kita dengan seni adalah pengalaman.
Inilah yang menjadi awal kecenderungan estetikawan Romantik (dan mungkin sampai sekarang), yaitu seni sebagai perkara semesta perasaan individu. Misalnya ekspresivisme.Â
Seni adalah satu gejolak perasaan individu yang dihidupkan seniman pada orang lain sehingga gejolak itu juga dapat pula dihidupi oleh orang lain. Musik dengan kata lain adalah untuk membangkitkan persaudaraan batin paling dalam seluruh pemirsa.Â
Dengan kata lain, simpati menjadi jantungnya: seni tidak bisa dilepaskan dari problem eksistensi manusia--terutama hubungan kamu dengannya yang terhenti di rambu lalu lintas persimpangan jalan. Heuuheu....
Tapi apa benar bahwa musik itu dibuat karena benar-benar gejolak batin sang pencipta karya musik? Benar bahwa dia mengalami kejadian itu? Atau justru hanyalah suatu susunan-susunan kata demi kata menjadi kalimat dengan harapan pendengar akan bergejolak batinya?--Jadi itu lagu bukan untukmu, Wahai Yang Sedang Patah Hati.
Bagi Eduard Hanslick (seorang estetikawan musik pasca Romantik), musik bukanlah suatu cara untuk membangkitkan perasaan pemirsa, dengan artian tujuannya bukan perasaan pendengar. Musik memiliki keindahan tersendiri, sekalipun tidak membangkitkan perasaan.
Baginya, musik tak dapat merepresentasikan perasaan. Representasi itu muncul justru setelah musik sampai ke telinga pendengar. Musik haruslah indah pada dirinya sendiri. Perasaan baginya adalah penafsiran subjektif atas suatu kesan yang hadir.Â
Yang lebih cocok menurut pengertian Hanslick adalah sensasi, yaitu suatu kesan indrawi yang hadir melalui penangkapan panca indera. Musik baginya bertujuan untuk menghadirkan suatu sensasi. Setelah itu, urusan Anda.
Musik berfungsi (jika bisa dibilang demikian) untuk menghadirkan suatu sensasi sehingga dapat mengambil suatu kontemplasi sebagai keindahan oleh imajinasi. Jadi, kalau remuk jantungmu setelah mendengar musik, itu masalahmu.
Saat mendengar dialog Lord Didi, saya langsung teringat dengan salah satu pemikir era Romantik, Arthur Schopenhauer, sang pesimisme metafisis.