Mohon tunggu...
fahmi karim
fahmi karim Mohon Tunggu... Teknisi - Suka jalan-jalan

Another world is possible

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Film "Sobat Ambyar", Bagaimana Musik Membuatmu Lebih Rapuh

15 Februari 2021   15:29 Diperbarui: 4 April 2021   14:03 861
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Satu dialog dalam film Sobat Ambyar (kincir.com)

"Kesedihan itu, mau kamu pakai atau mau kamu lepaskan, itu terserah kamu sendiri. Mungkin dengan cara itu kamu bisa menghargai dirimu sendiri."

"Bagaimana cara melepaskan kesedihan itu, Pak De?"

"Patah hati? Ayo dijogetin (dengan musik)."

***

Satu dialog mendiang Lord Didi Kempot, sang Godfather of Broken Heart, dengan Jatmiko (Bhisma Mulia) di akhir-akhir film Sobat Ambyar. Film yang disutradarai oleh Charles Gozali dan Bagus Bramanti.

Selain sebagai pemeran dalam film, Lord Didi pun menjadi sutradara. Film ini diangkat dari perspektif penggemar campursari The Godfather of Broken Heart, Sobat Ambyar.

Itu dulu sebagai pengantar umum film. Ini bukan review film, hanya sekelumit percakapan. Jadi Anda bisa membacanya sebelum menonton filmnya. Namun biar lebih ambyar, baiknya kamu nonton, apalagi bagi yang sedang patah hati, siap-siap hatimu tambah remuk.

Sebagai dialog penutup, adalah juga sebagai simpulan film Sobat Ambyar: bagaimana musik juga bisa berperan dalam mengubah perasaan batin kita yang terdalam; apakah berusaha untuk tetap tercabik-cabik atau disusun kembali isi hati kita, setelah itu tergantung pendengar.

Terkadang saat patah hati lagu yang mendayu-dayu ikut membantu menghancurkan seluruh semesta kenangan bersamanya. "Ini lagu sangat-sangat mewakili perasaanku," kata seorang teman yang sedang ambyar.

Di posisi patah hati, lagu yang didengar seakan adalah penggambaran keseluruhan perasaan kita--seolah-olah lagu yang diciptakan diperuntukkan untuk dia yang sedang remuk hatinya. Kenapa bisa demikian?

Karena kita bisa terhubung ke situ oleh keadaan dan pengalaman kita: yang menghubungkan antara kita dengan seni adalah pengalaman.

Inilah yang menjadi awal kecenderungan estetikawan Romantik (dan mungkin sampai sekarang), yaitu seni sebagai perkara semesta perasaan individu. Misalnya ekspresivisme. 

Seni adalah satu gejolak perasaan individu yang dihidupkan seniman pada orang lain sehingga gejolak itu juga dapat pula dihidupi oleh orang lain. Musik dengan kata lain adalah untuk membangkitkan persaudaraan batin paling dalam seluruh pemirsa. 

Dengan kata lain, simpati menjadi jantungnya: seni tidak bisa dilepaskan dari problem eksistensi manusia--terutama hubungan kamu dengannya yang terhenti di rambu lalu lintas persimpangan jalan. Heuuheu....

Tapi apa benar bahwa musik itu dibuat karena benar-benar gejolak batin sang pencipta karya musik? Benar bahwa dia mengalami kejadian itu? Atau justru hanyalah suatu susunan-susunan kata demi kata menjadi kalimat dengan harapan pendengar akan bergejolak batinya?--Jadi itu lagu bukan untukmu, Wahai Yang Sedang Patah Hati.

Bagi Eduard Hanslick (seorang estetikawan musik pasca Romantik), musik bukanlah suatu cara untuk membangkitkan perasaan pemirsa, dengan artian tujuannya bukan perasaan pendengar. Musik memiliki keindahan tersendiri, sekalipun tidak membangkitkan perasaan.

Baginya, musik tak dapat merepresentasikan perasaan. Representasi itu muncul justru setelah musik sampai ke telinga pendengar. Musik haruslah indah pada dirinya sendiri. Perasaan baginya adalah penafsiran subjektif atas suatu kesan yang hadir. 

Yang lebih cocok menurut pengertian Hanslick adalah sensasi, yaitu suatu kesan indrawi yang hadir melalui penangkapan panca indera. Musik baginya bertujuan untuk menghadirkan suatu sensasi. Setelah itu, urusan Anda.

Musik berfungsi (jika bisa dibilang demikian) untuk menghadirkan suatu sensasi sehingga dapat mengambil suatu kontemplasi sebagai keindahan oleh imajinasi. Jadi, kalau remuk jantungmu setelah mendengar musik, itu masalahmu.

Satu dialog dalam film Sobat Ambyar (kincir.com)
Satu dialog dalam film Sobat Ambyar (kincir.com)

Saat mendengar dialog Lord Didi, saya langsung teringat dengan salah satu pemikir era Romantik, Arthur Schopenhauer, sang pesimisme metafisis.

Baginya, "kehendak" (der wille) kita yang membuat manusia hanya bisa terus berharap tanpa kita tahu bahwa harapan itu tak akan pernah terpenuhi, bahwa hidup dengan suatu kehendak adalah kesia-siaan. Kehendaklah yang menjadikan manusia selalu di ambang kehancuran.

Bagaimana menghilangkan kehendak itu? Musik adalah adalah salah satunya. Apa yang disebutnya sebagai suatu jalan estetis.

Tapi apakah kehendak itu akan hilang seluruhnya? Tidak juga. Sekalipun mungkin Anda mendengarkan lagu seharian tanpa bosan, kehendak itu akan timbul kembali.

Maksudnya, musik hanyalah suatu alternatif menunda kehendak kita, suatu kesementaraan--tapi musik yang dimaksud oleh Schopenhauer bukanlah musik yang kita pahami sekarang, dengan bunga-bunga katanya.

Jika musik adalah yang kita pahami sekarang justru musik tidak menghilangkan kehendak, malah menambah kehendak kita untuk terus memilikinya, terus meratapi kepergiannya bersama kenangan yang melekat sampai di tempat duduk ruang tamu.

Dengan kata lain, musik membikin Anda tenggelam di lautan harapan dan keputusasaan sambil melupakan dirimu yang gagah berani, Sobat.

Ada juga jalan etis, yaitu menghilangkan sesuatu yang menyebabkan kehendak itu hadir, yaitu tubuh sebagai satu sebab kehendak. Atau dengan kata lain, memusnahkan kehendak untuk hidup. Karena kehidupan tubuh bersama kehendaknya yang membuat kita menjadi manusia paling hina yang hari-hari hanya bisa terus meratapi kepedihan hidup, terus menjadi manusia rapuh tak berdaya dan terus diolok-olok oleh kenyataan.

Jadi Sobat, kira-kira menurut Schopenhauer mati saja Engkau supaya dirimu tidak melulu menjalani kutukan hidup yang sia-sia ini; suatu kutukan hidup sengsara. Dengan kata lain, lenyaplah dari muka bumi ini.

Ngeri? Jangan takut, Schopenhauer akhirnya memberi kesimpulan bahwa kehendak untuk mati juga merupakan suatu "kehendak".

Jadi, baik kehendak untuk mati dan kehendak untuk hidup sama-sama sebuah kehendak, kehendak yang membuat kita sengsara.

Terus bagaimana? Yasudah, dijogetin aja; menikmati kenyataan yang telah lain sambil mengolok-oloknya, tidak mengolok dirimu yang gagah itu.

Tunduk tertindas atau bangkit melawan, karena diam adalah bagian paling inti dari cara menghina hidupmu yang sudah payah, Sobat Ambyar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun